12. Apa Maksudnya?

13 4 0
                                    

"Setelah mendengar penuturanmu aku mencoba merakit kembali kepercayaan untukmu, tapi mengapa kamu berusaha untuk menghancurkannya?"
~Aqila Anindya
.
.
.

Setelah kemarin malam aku berdebat dengan Ajil, seharian ini aku belum mendapatkan kabar darinya dan pesan yang aku kirimkan setelah jam istirahat pertama rupanya belum dibaca. Aku mencoba untuk berpikir jernih alasan Ajil tak kunjung membalas pesanku, kemungkinan dia sedang banyak tugas dari guru atau dari organisasi dan dia hanya bisa membaca pesanku dari notifikasi.

Kelas sudah mulai sepi sedari lima belas menit yang lalu. Aku membawa setengah tumpuk buku catatan teman sekelas. Begitu juga dengan Rangga yang membawa setengahnya lagi.

Bu Rani menyuruhku dan Rangga untuk membawakan buku-buku ini ke ruangannya mengingat beliau sedang hamil tua, maka dari itu tidak boleh membawa benda yang terlalu berat.

Semilir angin sejuk menemani langkahku menyusuri koridor bersama Rangga dengan obrolan kecil yang terkadang membuatku tertawa.

"Kasihan adik kamu nyariin cemilannya. Ada-ada aja," ucapku.

Tiba-tiba saja tawaku terhenti, mataku tertuju pada dua insan yang sedang duduk santai di depan kelas sembari memainkan gawainya masing-masing, tetapi saling melempar argumen yang membuat siswi itu sesekali tertawa. Aku berhenti sejenak hingga membuat Rangga juga menghentikannya.

"Qil ...."

Aku tak memedulikan panggilan Rangga. Mungkin saja dia mau membantuku untuk segera enyah dari tempat ini. Namun, aku masih terpaku dengan pemandangan yang menjijikan itu.

Sesaat kemudian netraku bertemu dengan siswa itu. Siswa yang sampai saat ini menghuni ruang kalbuku, tetapi dia juga yang mengacak-acak isi hatiku.

Tak ada yang membuka suara baik aku ataupun dia. Hatiku merasa sesak. Aku merasa pelupuk mataku sudah membendung, dan tak bisa aku keluarkan untuk saat ini.

Aku mengalihkan pandangan pada Rangga dan tersenyum ketir padanya. Aku mengangguk seolah aku baik-baik saja.

Kulangkahkan kaki meninggalkan siswa dan siswi itu dengan senyuman palsu. Ternyata ini jawaban mengapa pesanku tak kunjung dibalas dan ini pula alasan mengapa dia tak ada kabar seharian? Rupanya dia sedang asyik dengan masa lalunya. Lantas apa gunanya dia meyakinkanku bahwa dia tidak akan kembali pada seseorang di masa lalunya?

"Qil, kamu mau mampir ke warung langganan aku enggak?" tanya Rangga.

Aku langsung menggeleng. Untuk saat ini aku ingin segera pulang. "Makasih tawarannya, Ga, tapi aku pengen cepet pulang."

"Di sana makanannya enak-enak. Kamu harus coba, deh. Aku jamin kamu akan ketagihan kalo udah makan di sana," ucap Rangga yang terus membujukku.

Aku menghela napas sejenak. "Makanan apa emangnya?"

"Masakan rumahan, sih, tapi aku ketagihan kalo makan di sana. Kamu mau coba? Kita mampir dulu di sana, ya," tuturnya.

"Oke, deh."

Aku dengan Rangga mengikis jalan dengan obrolan sederhana. Sesekali canda tawa terdengar dari mulut Rangga. Begitu setelah menaruh buku di atas meja bu Rani, aku dengannya langsung menuju parkiran sekolah.

Suasana ini terasa jelas berbeda ketika pagi hari, siang hari, dan sore hari. Kini, hanya ada semilir angin dan beberapa kicauan burung yang menemaniku ketika Rangga mengambil motornya.

"Yuk."

Aku langsung menghampiri Rangga begitu dia telah berhasil mengambil motor. Kini, aku dengannya membelah jalanan yang mulai ramai oleh pengendara motor maupun mobil mengingat sekarang adalah saat-saat di mana kebanyakan para pekerja ingin segera bertemu keluarga yang sudah menanti kepulangannya.

Twitterpated [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang