14. Kenapa Begitu?

16 5 0
                                    

“Seharusnya aku menyadari apa yang akan kamu pilih, dan aku bisa menyudahi kesedihan yang selama ini menjadi teman setia di setiap harinya.”
~Aqila Anindya
.
.
.


Waktu istirahat pertama telah tiba. Suasana kelas hanya dihuni oleh beberapa siswa dan siswi yang sepertinya enggan untuk keluar kelas. Aku menyembunyikan wajah di lipatan kedua tangan. Sejenak kupejamkan mata berusaha untuk menghentikan rasa pusing di kepala. Tanpa sadar aku hanyut pada memori kemarin sore yang tiba-tiba saja melintas dalam angan. Perasaan kesal, marah, kecewa, kini menguasai diriku. Ujung hidungku terasa sakit. Aku ingin menitikkan sebulir air mata, tetapi aku menahannya karena mendengar suara seseorang yang memanggilku.

“Qil.”

Aku mendongakkan kepala setelah mendengar suara berat milik Rangga.

“Kok, wajah kamu pucat. Kamu lagi sakit?” tanya Rangga.

Aku menggeleng lemas, tetapi tanganku refleks memijat dahi.

“Kamu udah sarapan?”

Lagi-lagi aku menggeleng untuk menjawab pertanyaan dari Rangga. Suasana hatiku sedang tidak senang untuk melakukan apa pun. Aku hanya menginginkan bel pulang segera berbunyi agar aku segera berdiam di kamar sendirian dengan alunan musik yang mendukung suasana hati.

“Ke kantin, yuk.”

Dan lagi aku menggeleng, tetapi Rangga dengan cepat menarik tanganku untuk segera bangkit dari kursi. “Rangga, aku enggak lapar.”

“Aku enggak percaya, Qil. Kamu mau apa? Biar aku yang bayarin,” ucap Rangga.

Aku seperti anak kecil yang sedang diseret-seret karena susah untuk makan. Sepanjang koridor banyak pasang mata yang kini tersorot padaku dan Rangga. Aku takut hal ini akan menjadi perbincangan hangat buat mereka.

“Kamu harus jaga kesehatan, Qil. Mana tahu besok kamu sakit, tapi enggak ada orang yang tahu. 'Kan jadi susah sendiri nantinya.”

“Iya, tapi buat sekarang aku enggak lapar, Ga. Dan—”

Aku menghentikan langkah ketika melewati kelas Ajil. Kulihat Kayla semakin setia ada di sampingnya. Hatiku kembali sedih. Hari yang telah berlalu kini terulang kembali. Bahkan hari ini aku tidak mendapat notifikasi kabar dari Ajil.

Aku semakin dibuat bertanya-tanya dengan sikap Ajil. Padahal kemarin dia cemburu dan melarangku untuk dekat dengan Rangga. Namun, perlakuan yang dia berikan untuk hari ini sudah melewati batas. Saling melempar canda tawa di depan kelas tanpa tersirat rasa bersalah sedikit pun.

“Biar mata kamu sehat, lebih baik kita ke kantin aja, Qil. Kesehatan tubuh kamu lebih penting.”

Sepertinya Rangga mengerti bagaimana perasaanku setelah melihat kejadian di depan kelas yang tidak enak untuk dilihat. Aku pun langsung menuruti ucapan Rangga dan berlalu ke kantin tanpa memedulikan Ajil yang baru melihatku.

***

Sebuah mangkuk berisi mie ayam telah terpampang di depan mataku. Kuah mie ayam yang sangat menggiurkan lidah bagi siapa saja yang menciumnya, tetapi tak ada selera dalam mulutku. Aku hanya menyapa mie ayam itu dengan tatapan kosong.

“Qil. Ayo, dimakan. Urusan Ajil, ke sampingkan dulu,” ucap Rangga yang kini sudah menyantap mie ayamnya.

“Tapi aku enggak la—”

“Kamu enggak usah bohong. Kamu jangan ngeyel. Untuk kali ini turutin kata-kata aku. Aku enggak suka liat kamu kelaparan, apalagi kondisi hati kamu kayak hidup tanpa gairah.”

Twitterpated [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang