“Apakah rinai dan bumi memiliki waktu keterbatasan untuk bertemu? Jika memang iya, berapa lama batasan waktu yang akan mereka habiskan?”
~Aqila Anindya
.
.
.Sekelompok burung terbang terlihat cantik saat membuat formasi sederhana. Kicauan demi kicauan terdengar syahdu begitu sang surya telah kembali ke peraduannya. Gumpalan awan hitam kian memenuhi langit sore. Desirannya menyapu hingga membuat tubuhku terasa dingin.
Lampu-lampu yang terpasang dengan jarak satu meter menghiasi setiap sisi jalan. Beberapa pengendara sepeda motor masih berlalu lalang di samping lapangan. Lapangan kompleks. Tiada hari untuk sepi dan banyak kenangan yang tercipta. Setiap pagi dan sore selalu diramaikan oleh muda-mudi penerus bangsa untuk meregangkan otot-ototnya.
Aku terduduk di salah satu kursi panjang yang tergeletak di pinggir lapangan. Menikmati teriakan sahut-menyahut dari anak kecil yang sedang bermain bola padahal hujan akan segera tiba. Namun, mungkin itu yang mereka tunggu. Karena, yang kudengar bahwa bermain bola di bawah guyuran hujan adalah suatu hal yang menyenangkan. Entahlah aku belum pernah melakukannya, mungkin sepertinya memang benar adanya seperti itu.
“Qil,” seru Ajil, “apa kabar?”
“Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik aja,” jawabku tanpa mengalihkan perhatian padanya. Bertemu dengannya membuat hatiku merasa antara senang dan kesal. Pikiranku memiliki banyak pertanyaan lantaran Ajil tiba-tiba saja datang ke rumah setelah pulang sekolah.
“Andai waktu bisa terulang kembali. Sepertinya lebih asyik menjadi anak kecil yang hanya dibebankan oleh tugas sekolah.”
“Kita juga masih pelajar, Jil. Enggak ada bedanya sama mereka,” sahutku.
Ajil tertawa sebentar. “Bukan itu maksud aku.”
“Terus?” tanyaku.
“Entah kenapa, padahal baru sehari, tapi aku merasa hidupku ada yang kurang. Seperti aku merindukan sosok yang selalu mengisi kekosongan hatiku. Aku merasa hari ini sangat berat,” tuturnya, “apa enggak ada kesempatan kedua buat aku, Qil? Aku pengen perbaiki apa yang telah aku perbuat. Aku merasa bersalah sama kamu. Aku masih berharap kamu bisa membuka hati buat aku lagi, Qil.”
“Cukup, Jil! Jangan kamu inginkan hal itu lagi karena aku udah enggak mau. Cukup satu kali aja aku merasakan kecewa dan sakit hati. Aku enggak mau hal itu terulang kembali,” ucapku.
“Tapi bukankah seseorang berhak mendapatkan kesempatan kedua untuk menyembuhkan sakit hati orang itu? Aku pengen luka yang telah aku torehkan di hati kamu, biar aku yang merawatnya, biar aku yang menyembuhkannya.”
“Iya, tapi kamu harus ingat bukankah seseorang mempunyai hak dan kebebasan dalam memutuskan suatu tindakan? Dan aku memilih enggak mau. Aku bisa merawatnya sendiri. Aku enggak mau kembali dengan orang yang sama dan terjebak dengan permasalahan yang sama pula,” ucapku.
“Aku enggak menyangka, ternyata kamu sejahat itu. Apa perasaan kamu ke aku benar-benar sudah hilang? Kenapa? Kamu udah ada pengganti aku?”
Aku terkekeh dengan kalimat pertama yang keluar dari mulut Ajil. “Aku memang jahat dan seharusnya kamu tahu akar dari sisi kejahatanku muncul itu karena apa? Soal perasaanku ke kamu, kamu enggak perlu tahu perasaan aku sekarang gimana dan jangan coba-coba tuduh aku lagi.”
Aku menatap Ajil dengan tajam. Apakah dia berpikir kalau setelah aku bersamanya, aku akan bersama Rangga? Sehingga permintaannya aku tolak dengan tegas.
“Lalu, kenapa sekarang kamu mau berbicara sama aku? Seharusnya, setelah kamu membuka pintu dan tahu itu aku, kamu bisa langsung menutupnya lagi,” ujar Ajil.
“Aku masih punya sisi manusiawi. Aku mau berbicara sama kamu lagi bukan karena aku akan mengizinkan kamu masuk ke hati aku lagi. Aku cuma berpikir kita masih bisa jadi teman, enggak ada permusuhan setelah berakhirnya hubungan, tapi kalo kamu mau hubungan kita kayak dulu, itu enggak bisa,” jelasku.
Aku menghela napas sejenak. “Sepertinya pertemuan kita enggak perlu lama-lama. Aku harap kamu bisa jaga perasaan Kayla dan aku berpesan, jangan sampai kamu buat dia kecewa.” Aku menatap netranya lekat-lekat. Lalu, meninggalkannya yang masih membisu.
Apa yang perlu dibicarakan lagi dengannya? Semakin banyak bicara dengannya, semakin aku menyakiti diri sendiri, begitu pula aku menyakiti hati Ajil. Aku tak ingin Ajil terus-menerus mengharapkan kesempatan kedua dariku. Maka dari itu, aku yang akan bertindak untuk menjaga jarak dengannya.
***
Benar saja, tak berselang lama setelah aku pulang dari lapangan, rintik membasahi bumi hingga malam kini telah tiba ia tak kunjung reda. Sembari menaruh cup yang berisi teh hangat di atas meja belajar, aku mengusap jendela yang sudah berembun. Rinai semakin deras meluapkan kerinduannya pada tanah hingga mengeluarkan petrikor yang membuat setiap insan ketika menghirupnya akan dimabukkan oleh aromanya. Begitu pun denganku yang sangat menyukainya.
Deras hujan dengan desir angin membuat daun yang menjuntai di samping kamar melambai-lambai. Menunjukkan kelincahannya padaku.
Aku terduduk di kursi sambil menopang dagu. Siapa sangka aku tidak mengingat banyak memori di kala hujan datang. Aku hanya tersenyum ketika kenangan itu tiba-tiba muncul. Masih teringat jelas dalam anganku, di kala aku bersama Ajil terjebak hujan saat pulang sekolah dan mau tidak mau harus meneduh di halte terdekat.
Begitu banyak kenangan bersama Ajil, tetapi yang membuatku terkesan hanya itu. Dia lebih mementingkan jaket yang dikenakannya dapat kehangatan tubuhku dan merelakan tubuhnya merasakan embusan angin hujan serta mengusap-usap tanganku sembari meniupnya agar aku merasakan kehangatan. Bibirku terkunci mengukir senyuman untuknya. Aku berterima kasih pada hujan. Karenanya, aku menjadi tahu bagaimana Ajil memperlakukanku.
Aku tidak menginginkan waktu cepat bergerak, tetapi saat netra kami bertemu aku seakan menginginkan waktu bergerak sebagaimana mestinya. Tatapan itu membuat debaran hatiku menjadi kencang. Aku takut Ajil akan mendengarnya meskipun sangat mustahil karena berlomba-lomba dengan suara hujan yang kencang. Aku tertunduk untuk menutupi semburat merah di pipi yang mungkin saja telah terlihat jelas.
Ah, lamunanku membuyar ketika tanganku menyenggol cup hingga membuat mejaku menjadi kotor. Namun, ada baiknya tanganku mendukung keinginanku untuk melupakan Ajil. Jika saja tanganku tidak bergerak, aku akan semakin larut dengan kenangan manis yang pernah dilalui. Kenangan pertama kali yang telah tercipta dalam hidupku dan mungkin saja aku bisa mengenangnya sampai bertahun-tahun ke depan.
Aku bangkit dari kursi dan hendak membersihkan meja yang kotor ini. Namun, suara notifikasi dari ponsel terdengar di rungu. Aku melihat sekilas notifikasi yang muncul itu dari jendela gawai.
“Apa yang kamu rasakan ketika melihat kerinduan bumi yang telah terobati?”
Aku menjeda napas. Untuk apa Ajil mengirim pesan seperti itu padaku? Aku hanya membalasnya singkat, “Enggak ada yang aku rasakan.”
Bagiku, bukan bumi, tapi hujan yang selalu merindukan bumi. Dia selalu menghentikan aktivitas manusia agar melihat sejenak bagaimana caranya melumpuhkan rasa rindu. Namun, tak ayal jika memang pada akhirnya mereka saling merindu dan menurunkan ego masing-masing agar menjadi pertemuan.
.
.
.
Arigatou gozaimashita, Minna>_<

KAMU SEDANG MEMBACA
Twitterpated [END]
Teen FictionKonnichiwa, Minna >__< Cover by Canva Start: 3 April 2023 Finish: 30 Juni 2023 Nt: Pict dari Pinterest