19. Ruang OSIS (2)

14 3 0
                                    

“Apa yang perlu aku ditangisi lagi? Pada kenyataannya, ucapanmu hanyalah bualan yang telah berhasil membuat hatiku tenang, sedangkan hatimu memiliki jawaban lain.”
~Aqila Anindya
.
.
.

Setelah kemarin sore aku mencoba untuk berbicara dengan kepala dingin, akhirnya hatiku menjadi tenang. Keyakinan bahwa Ajil tidak akan sejahat itu rupanya memang benar.

Kini, aku masih di dalam kelas sedang menunggu Ajil. Setelah beberapa hari hubunganku dengannya seakan termakan oleh kurangnya komunikasi, sekarang aku bisa menghabiskan waktu dengannya dan menggunakan kesempatan untuk pulang bersama.

Senandung nyanyian gembira memenuhi ruangan. Aku seperti sulit untuk menghentikan senyuman yang telah diukir. Gejolak bahagia di hati tak bisa aku bendung hanya dengan berdiam.

“Halo, Cantik.”

Aku mengalihkan atensi pada pintu yang menampakkan Ajil dengan wajah berserinya. Ukiran senyum di bibirku semakin mengembang.

“Mau pulang sekarang?” tanyanya sembari melangkah mendekatiku.

“Ayo, tapi aku enggak mau langsung pulang. Enggak apa-apa 'kan?” tanyaku.

“Enggak apa-apa. Sore-sore gini mending kita jalan-jalan dulu. Mau enggak?”

“Boleh.”

Tidak ada jawaban dari Ajil. Dia mengacak-acak rambutku sembari menampilkan sebuah senyuman lalu menggenggam tanganku.

Aku dengannya hendak melangkahkan kaki keluar dari kelas. Namun, deringan dari ponsel membuatku dan Ajil harus mengurungkan niat itu.

“Sebentar, Qil,” ucap Ajil.

Aku hanya mengangguk dan terus memerhatikkannya. Mengira-ngira siapa orang yang sedang menjadi lawan bicara Ajil di seberang sana.

“Qil, aku minta maaf. Aku harus rapat. Kalo kamu nunggu aku gimana? Atau kamu pulang duluan nanti aku pesenin ojol. Abis itu kalo udah selesai, aku langsung ke rumah kamu,” jelas Ajil.

“Kenapa mendadak banget? Kamu enggak bisa absen dulu?”

“Enggak bisa. Aku juga harus laporan pengeluaran bulan ini.”

Ada sedikit rasa kecewa karena rencanaku bersamanya harus tertunda. Namun, aku tidak boleh menghakimi kegiatan Ajil. Bagaimana pun juga aku harus mendukungnya dalam situasi apa pun.

Oke, deh. Aku tunggu di sini aja,” ucapku.

“Pulang aja, Qil. Aku enggak tega kamu di sini sendirian.”

“Enggak apa-apa. Toh, sama aja kalo di rumah aku juga sendirian,” ucapku tak mau kalah.

Ajil menghela napasnya. Lalu, dia mengusap pucuk kepalaku. “Maaf, ya. Makasih juga kamu udah pengertian sama aku.”

“Iya. Udah sana, gih, katanya ada rapat.”

Aku membiarkan Ajil meninggalkanku di dalam kelas. Hening yang kurasa. Hanya ada dentingan jam dinding yang menunjukkan pukul empat sore terdengar jelas di telinga. Sayup-sayup aku mendengar suara sorak-sorai yang kuyakini berasal dari lapangan.

Kulangkahkan kaki keluar dari kelas dan duduk di depan koridor. Atensiku terpaku dengan segerombolan siswa di lapangan yang sedang bermain bola basket. Sudah tak heran dengan Kak Daniel dan kawan-kawan yang selalu menghabiskan waktunya di sekolah mengingat mereka adalah siswa tingkat akhir di tahun ini.

“Kira-kira yang mereka rasakan apa, ya? Tinggal menghitung bulan lagi mereka sudah sibuk dengan masa depan dan mau enggak mau jarak menjadi penghambat di antara mereka,”

“Tapi dengan adanya jarak juga enggak begitu buruk karena dia menciptakan rindu dan mengajarkan arti menghargai waktu untuk pertemuan.”

Aku bermonolog bersama angin sore yang menemani atmaku.

***

Matahari kian menyusut. Suasana sekolah sudah sangat sepi. Satu per satu Kak Daniel dan kawan-kawan juga telah meninggalkan lapangan. Berakhir hanya aku yang masih setia duduk di depan kelas dengan hati yang sudah merasa kesal. Satu jam lamanya aku telah menunggu, tetapi Ajil belum kunjung menemuiku. Aku sudah mengirim beberapa pesan untuknya, tetapi belum ada balasan satu pun.

“Apa aku pulang aja sekarang? Tapi gimana sama Ajil? Pesan sebelumnya aja dia belum baca.”

Hatiku menjadi bimbang sendiri. Aku ingin meninggalkan Ajil, tetapi keinginan pulang bersama Ajil sangat besar. Kulihat kembali jendela gawai yang belum ada notifikasi dari Ajil.

Aku menopang dagu dengan tangan kiri. Kulihat lapangan yang kini dihuni oleh beberapa ekor burung. Dan kicauannya menjadi teman sepiku.

“Aqila.”

Refleks aku melihat ke sumber suara. Dari jarak yang aku perkirakan adalah tiga meter, Ajil melangkah dengan lebar dan tergesa-gesa. Perasaan yang semula kesal, seketika membaik atas hadirnya seseorang yang aku tunggu kini telah datang.

“Qil,” ucap Ajil setelah duduk di sebelahku.

Lama Ajil untuk membuka suara, tetapi aku hanya terdiam. Membiarkannya untuk mengatur napas.

“Maaf, buat kamu nunggu lama, tapi maaf, Qil. Kamu bisa pulang sendiri enggak?”

Hati yang semula senang, kini pikiranku memiliki banyak pertanyaan. Mengapa Ajil bilang seperti itu? Apakah rapatnya belum selesai?

“Memangnya kenapa?”

“Ka–Kayla sakit.”

Aku menautkan kedua alis. “Urusannya sama kamu apa? 'Kan ada anggota OSIS yang lain.”

“Aku enggak bisa jelasin sekarang. Aku pesenin kamu ojol, ya. Sebentar.”

“Enggak usah! Aku bisa pulang sendiri.”

Tanpa menunggu balasan dari Ajil, aku langsung meninggalkannya dengan perasaan yang kesal. Aku merasa ujung hidungku sangat perih, tetapi aku tidak bisa menangis. Kesabaranku terhadap Ajil kemungkinan sudah habis.

Di sepanjang koridor aku berjalan dengan langkah yang lebar. Saat melewati ruang OSIS yang sudah tak berpenghuni, aku menghentikan langkah sejenak. Mencoba untuk mengatur napas yang tersengal-sengal. Lalu, menoleh ke samping kanan yang hanya ada keheningan di dalam sana, tetapi mataku tertuju pada seseorang yang sedang bersandar di punggung kursi dengan terpejam. Ada sedikit rasa iba padanya. Namun, ke mana anggota OSIS yang lain? Bukankah jika Kayla sakit, mereka tidak akan membiarkan Kayla pulang di akhir? Dan seharusnya mereka menawarkan diri untuk mengantarkan Kayla pulang.

Aku mengeluarkan napas dengan berat. Angin sore yang seharusnya sangat sejuk, tetapi tidak dapat Aku rasakan karena kekesalan dalam diriku sedang membara.

Aku mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Kualihkan untuk melihat ke belakang. Ajil dengan wajah tak berekspresi tengah menuju ke arahku. Tidak! Lebih tepatnya dia akan menuju ke Kayla.

Tepat setelah Ajil di depan ruang OSIS, netra kami bertemu, tetapi saling membisu. Aku menjadi teringat ucapan Rangga yang menyadarkanku di depan danau.

Kualihkan atensi pada Kayla yang masih terdiam di kursi, tetapi kini dengan keadaan sedang duduk. Sesaat netraku dengannya saling bertemu.

Kembali aku melihat Ajil dan memutuskan untuk langsung meninggalkannya di depan ruang OSIS.

Pandanganku tajam melihat ke depan. Aku mengeluarkan napas dengan kasar. Mungkin inilah saatnya aku harus mendengarkan kata-kata dari Yasmin dan Rangga. Perasaan kesal yang selalu aku rasakan tidak akan bermanfaat baik untukku.

.
.
.
Arigatou gozaimasu, Minna>_<

Twitterpated [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang