5. Akibat Dare

21 7 2
                                    

“Kau adalah kebahagiaan pertamaku, harapan pertama, dan kau pula yang akan mengenalkanku dengan kekecewaan.”
~

Aqila Anindya

.
.
.

Bagiku, satu minggu menjalin hubungan dengan Ajil tidak begitau buruk. Dia menjadikanku seperti seorang ratu yang selalu dilindungi oleh raja. Diprioritaskan layaknya akulah satu-satunya wanita dalam hidupnya. Kira-kira aku telah merasakan apa yang pernah aku dengar tentang bagaimana rasanya orang berpacaran.

Aku memoles sedikit lip serum agar bibirku tidak kering. Melulurkan lotion pada kedua tangan dan kaki serta tak lupa juga aku menyemprotkan parfum hampir di setiap inci tubuh.

Aku memandang wajah di depan cermin. Untuk pertama kalinya aku menggerai rambut di depan Ajil. Sedikit aku beri sentuhan manja dengan mengedipkan satu mata dan aku memuji diriku sendiri.

"Not so bad kamu menggerainya, Qil," gumamku.

Sejenak aku tertawa karena merasa jijik sendiri dengan kelakuanku, tetapi tidak akan jadi masalah jika aku melakukan hal itu hanya sesekali.

"Aqila."

Aku mendengar suara teriakan dari bunda. Segera saja aku meraih tas punggung berukuran kecil yang sedari tadi tergeletak di atas kasur, dan langsung berlari meninggalkan kamar bernuansa pastel ini.

"Hati-hati, ya, Nak," ucap Bunda.

Semenjak Ajil mengantarkanku pulang, aku mempersilakan bunda dan Ajil untuk mengenal satu sama lain. Biar bagaimana pun juga yang saat ini bunda ketahui Ajil adalah kekasihku dan sudah seharusnya pula aku tidak menutupi status itu agar jika suatu saat terjadi apa-apa denganku, bunda tidak menjadi khawatir karena aku sedang bersama orang yang belum dia kenal.

"Aku pamit dulu, Bun. Aku pastikan akan jaga Aqila sampai pulang dengan selamat." ucap Ajil.

Aku sedikit merasa malu karena untuk pertama kalinya aku mempersilakan seorang laki-laki yang berstatus kekasih masuk ke rumah.

Aku berjalan beriringan dengan Ajil menuju pintu rumah. Diam-diam aku memerhatikannya. Aku terpesona padanya. Mataku sangat enggan untuk berpaling darinya. Padahal dia hanya memakai celana jeans dan berkaos putih yang dibalut dengan kemeja flanel hitam yang sengaja terbuka. Aku sampai melupakan status Ajil yang masih seorang pelajar putih abu-abu. Namun, aku langsung gelagapan ketika tangan Ajil menyelipkan sehelai rambutku ke belakang telinga.

"Manis," ujar Ajil.

Mendengar pujian dari Ajil, aku langsung tertunduk menahan seulas senyum malu.

***

Untuk pertama kalinya, di hari Minggu sore ini Ajil mengajakku untuk sekedar keluar dari pekarangan rumah. Awalnya aku menolak karena aku ingin menghabiskan hari Minggu dengan berdiam di kamar menikmati liburan di atas kasur tanpa melakukan aktivitas apapun, tetapi Ajil memaksaku. Katanya di umur yang masih remaja tidak baik untuk berlama-lama hanya sekedar tiduran tanpa adanya kegiatan.

Aku mendapati angin sore yang menabrak kulit wajahku dengan lembut. Suasana jam empat sore adalah waktu yang paling aku suka. Terkadang aku menghabiskan waktu libur untuk menikmatinya meksipun hanya duduk di teras depan rumah.

Netraku dimanjakan dengan suasana lapangan nan luas. Aku lihat lapangan di sisi luar, mereka seperti kelompok marathon. Sementara, lapangan yang dilingkari oleh lintasan marahton digunakan untuk bermain bola Voli, dan Bulu Tangkis.

Twitterpated [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang