03 | 셋 SET

2 0 0
                                    

Buru-buru, Ruby meraba saku rok pendek bermotif tartan abu. Ia menyalakan handphone mengotak-atik layar ke atas ke bawah menunggu pesan terkumpul. Terpatri nomor tidak dikenal namun ikon kontak tersebut adalah Yasa. Ia menekan kontak Yasa membaca pesan masuk dengan teliti.

Nomor tak dikenal

Gnite Ruby. Ini nomor Yasa, i didn’t
mean to sassy.

Gue kepikiran akting sekilas
biar guru botak nggak curiga. So
jangan shock  berat kenapa gue menangkis
lima gerakan lo.

Gue harap lo baca pesan ini besok kalau
Sekarang udah ngorok. Sleep with angel!

Telapak Ruby menepuk pada dahi terdengar renyah. Wajahnya terlipat merasa bersalah karena berburuk sangka hendak mau mengejar laki-laki itu di akhirat, kemudian dihabisi.

Mata Ruby seketika menyipit merasakan jari tengah Yasa mendekat mau menyentil dahinya. Inilah yang disebut keahlian, Ruby dapat merasakan sesuatu di dekat kita terkecuali pada mood senang tingkat atas. Laki-laki itu benar menyentil secara lembut, hanya seperti nyamuk menempel. Ruby melotot menunjukkan ekspresi bertanya tanya.

“Yang serius kalau mau nyentil! Pakai tenaga sini gue gak takut, gue mantan taekwondo,” pintah Ruby menantang, Yasa melirik ke arah perempuan itu sambil menyegarkan tenggorokan.

“Oke.”

Niat melakukan hal yang diinginkan Ruby urung, lantaran Yasa melihat pemain sepak bola tak sengaja menendang kuat ke arah mereka berdua berada. Ruby awalnya serius menatap lapangan berumput, pandangannya terasa miring.

Perasaan asing muncul. Gejala apa sampai membuat detak jantung bergerak cepat melebihi batas normal biasanya, tapi anehnya wajah serta telinga Ruby terasa panas.

Sebuah bola melayang dengan cepat melewati daun telinga Ruby, berjarak lima senti meter. Gara-gara bola itulah yang membuat kepala Ruby menempel di pundak Yasa.

Terasa keras, bahunya begitu mendempul, pemuda ni sangat gila! Otot terbentuknya terasa, likuan di lengannya juga terasa karena melekat. Orang ini berani beraninya sesuai dengan tipe idaman Ruby.

Sayangnya dia Yasa. Jadi tarik kalimat itu. Usapan lembut dari Yasa membubarkan haluan. Ia gesit menjaga jarak lagi, sampai tas coklat perempuan itu bahkan ia jadikan tameng. Siap bertarung dengan Yasatan.

“Hei! Apa kalian tidak terluka? Maaf aku tidak sengaja menendang bola ke sana!” Teriak samar dari kejauhan kapten bola berompi biru tua, dia menggaruk garuk pelipis tidak gatal merasa tidak enak hampir melesat mengarah ke putra pemilik Richvreiden.

“Gue gak masalah. Lanjutkan saja permainan kalian! Tapi meminta maaflah pada gadis di sebelah gue," sahut Yasa sambil mengeluarkan jempol menandakan dia tidak apa-apa kecuali Ruby.

“Maafkan kami!” teriak bersamaan mereka diselingi membungkuk. Ruby menggeleng tidak masalah. Akhirnya permainan sepak bola diteruskan lagi setelah gadis yang dimintai maaf mengayun kedua tangan berkata tidak masalah.

Ting! Notifikasi muncul dalam layar handphone.

“GAWAT! Yasa gue harus cabut, terimakasih atas minumannya gue pergi dulu dah!”

Langkah Ruby Secepat kilat meninggalkan posisi Yasa duduk di tepi lapangan, kilatan perempuan itu perlahan menghilang menuju gedung petinggi Richvreiden. Entah apa yang membuat ia pergi ke sana, sepertinya akan izin lagi. Ia tiba di depan pintu sambil menghela napas berat. Jari jemari mulai terangkat mengetuk pada pintu baja berwarna abu abu lalu mendorong pelan gagang pintu.

Salah satu orang di dalam menengok kehadiran Ruby sedangkan lainnya sibuk fokus melihat layar komputer mereka. Wanita berambut keriting berblazer taupe, memiliki ciri khas berkacamata kotak dan elegan tersebut melambaikan tangan ke Ruby agar ia merapat. Ia melangkah terasa canggung merapatkan diri sambil memainkan jari-jari disatukan.

“Permisi miss. Kakek saya sakit jadi saya memohon perizinan keluar dari wilayah Richvreiden hanya semalam.”

“Apakah kamu tidak masalah? Saya bisa saja memintakan izin kepada petinggi.”

Miss Bianca, beliau sang penanggung jawab atas perizinan seluruh siswa. Bianca meyakinkan Ruby mengenai peraturan SMA Richvreiden, peraturan yang begitu ketat. Mereka tidak peduli memberikan poin kepada siswa mau dia anak raja, anak presiden atau anak berkeluarga sederhana beruntung mendapatkan beasiswa. Poin tetap diadakan, selama siswa itu melanggar peraturan. Saat ini Ruby bertentangan dengan peraturan ke-62 pasal empat, siswa yang izin meninggalkan wilayah Richvreiden dengan jangka kurang dari satu minggu akan menerima sanksi sepuluh poin negatif.

Akan bagaimana lagi. Meski terkadang rasa jengkel muncul terhadap Luan memperlakukan cucu bagaikan boneka. Pria paruh baya itu juga  sudah tua, tidak mungkin Ruby membiarkan keluarga satu satunya menutup usia di mana usia dia masih terlalu muda untuk dibiarkan berjuang sendiri.

Ruby mengangkat kepala percaya diri, sebelum itu ia menunduk lantaran pikiran dan hati ia bertarung menjadi rumit. “Tidak apa apa miss. Demi kakek,” ujar Ruby yakin. Tak masalah masih lima poin, kalau sampai seratus poin ia pasti sudah dikeluarkan.

“Baiklah kertas kontrak ini sudah miss tanda tangani. Kamu bisa mencari Miss Azura di ruang guru. Saya titip salam ya, semoga Luan Hong segera pulih,” ujar Bianca menepuk lengan  Ruby menguatkan sambil tersenyum ramah.

Perempuan itu menerima kontrak izin dari Bianca lalu membungkuk berterimakasih sekaligus memberikan salam. Ia melangkah keluar dari ruangan, mengayuh pelan kaki kemudian kecepatan kilat muncul, menerpa beberapa siswa yang berlalu lalang ke arus sebaliknya. Menciptakan angin semilir. Tibanya di ruang guru, Ruby menahan tangan kanan pada samping perut, mengatur intonasi nafas tak beraturan.

“Permisi apakah ada Miss Azura?” Ruby mendesis.

Para guru menoleh ke kanan ke kiri memastikan guru bernama Azura itu sedang berada di sini atau tidak. Satu orang menggeleng. “Maaf nona Hong miss Azura sedang libur. Anda sepertinya ingin izin ya?” tanya balik pak tua berjenggot putih.

Ruby mengangguk pelan. Tapi suasana terasa tidak enak. Batin Ruby apa selain guru itu tidakkah bisa orang lain menggantikan? Ia takut orang berharga setelah orang tuanya habis. Orang-orang di hadapan dia kembali menatap komputer membiarkan ia berdiri di sana, tubuh perempuan itu ambruk ke lantai, bersujud menghadap para guru yang sedang duduk di kursi mereka. Seketika orang-orang berdiri terperanjat kaget akan sikap perempuan tengah bersujud.

“Saya mohon siapa pun tolong izinkan saya semalam menemui kakek!” pekik Ruby tetap bergeming pada posisi. Keringat bening terpampang nyata meluncur ke bawah rahang, poni tipis Ruby pun ikut basah.

Seorang pria mendorong pintu sampai terbuka lebar. Yang awalnya memasang wajah datar kini berekspresi bertanya tanya membelakangi seorang gadis. Sebelah alisnya terangkat, menuding Ruby seakan meminta penjelasan kepada orang-orang.

“Dia cucu Luan, sedang meminta izin keluar wilayah sekolah sayangnya Azura sedang libur,” wanita sekitar umur empat puluh tahunan menjelaskan. Pria sangar menggunakan jas seperti pesulap itu menganggut mengerti.

Suara sepatu melangkah mendekat, menyuruh perempuan itu berdiri tegap, awalnya kertas kontrak izin berada dj tangan Ruby alih-alih berpindah ke tangan pria sangar tersebut.

“Nama saya Phantom nona Hong. Pengganti miss Azura ketika beliau libur, cari saya jika anda membutuhkan,” ucapnya mengotak-atik kertas izin. “Beres. Sekarang bergegaslah, hati-hati di jalan!” sambung Phantom menunjukkan gigi putih mendorong lembut punggung Ruby agar segera bergegas menemui sang kakek.

𝟶𝟽:𝟶𝟶 ᴘᴍ. . |
Sejak tiba di tempat resepsionis rumah sakit. Bibir Ruby terus bergoyang mengucap nama ruang inap Luan. Kepala perempuan itu mendongak membaca satu persatu papan nama yang ia lewati, ruangan dazzling VIP saling bertemu dengan iris Ruby. Perempuan itu sedikit linglung bagaimana cara membuka pintu baja minimalis tanpa gagang itu.

Alih-alih cucu Luan berimajinasi menjadi karakter utama di film action lalu menyelidiki markas mafia, apalagi warna pintu berwarna abu abu memberi kesan mendalam genre action. Matanya menyelidiki celah, siapa tahu ada tempat sidik jari atau semacamnya.

Terdapat layar biru. Silau mengenai sebelah bola mata, perempuan itu tersentak ke belakang diserang oleh cahaya sensor. Pintu terbuka otomatis, keadaan dalam ruangan senyap dan gelap. Kepalanya mendahului menyidik atap perlahan, disusul seluruh badannya juga. Perlahan tungkai melangkah tak mantap atas lantai marmer. Takut saja jika seseorang iseng terhadapnya.

Sesuatu terang menyoroti seluruh badan Ruby. Ia mengira dia sedang berada di drama aksi seperti memergoki pelaku menggunakan cahaya helikopter. Tidak, cahaya ini bukan berasa dari benda terbang, namun cahaya proyektor. Lengan perempuan itu perlahan menyingkir menutupi mata, siluet dua pria tersebut sibuk menatap pancaran proyektor.

Satu menggunakan jas hitam formal. Satu lagi orang tua sedang posisi enaknya di atas paramount bed. Kecerahan sedikit ditinggikan oleh pria berjas membuat Ruby melihat, jelas—si tua ini benar benar...! Apa maksud si tua itu, bukannya berbaring lemah malah sibuk presentasi.

Ruby berdecih malas. Niat meluncurkan air mata malah ia tarik kembali ke dalam, sementara  hidungnya menghela napas kasar sambil berjalan ke tepian ranjang memegang side rail kemudian mencoba menyimak dokumentasi Luan, siapa tahu itu sebuah pesan permintaan maaf terakhir presdir Hong group.

Sudah tiga menit Luan Hong menjelaskan tentang perusahaan Hong, dari awal hingga akhir sampai akhirnya memunculkan penampakan tiga laki-laki yang baru baru ini dikenal Ruby. Dia Yasa, pandu dan cowok kontestan memanah, nampak mengenakan pakaian formal layaknya penerus jabatan dari keluarga mereka.

Cahaya dinding proyektor tergambar tombol pause. Shawn memberhentikan video tersebut, dialah asisten Luan selama bertahun-tahun. Sore tadi pria ini memberitahu kalau Luan sedang pingsan, kenyataannya saat ia datang malah presentasi tugas baru untuk cucu Luan.

“Cucuku aku akan memberitahukan satu hal. Tapi dengan satu syarat kamu tidak boleh mengoceh ataupun menyela kakek selama berbicara,” ucap Luan serius menatap cucunya. Perempuan itu memutar bola mata jengah, melipat tangan di depan dada.

“Waktu kakek sepertinya tidak lama Nak. Tolong kamu bangunlah hubungan baik kepada mereka. Ayah dari tiga pemuda itu sudah sepuluh tahun berkerjasama dengan Hong Group, jadi sudah sepatutnya kamu melakukannya sebagai penerus kakek,” pintah kakek bernada pelan tak lupa ekspresi tubuh ia menganggut-nganggut.

“Kek, gak baik tau membicarakan kapan kita meninggal. Itu hanya Tuhan yang tahu.” Intonasi nada ia berubah lembut. Jari jemari Ruby meraih selimut tebal, menutup badan Luan memastikan dalam keadaan hangat.

“Iya baiklah. Pokoknya apa kamu bisa menuruti permintaan tolong kakek?” tanyanya bersuara serak. Muncul suara bising berasal dari layar monitor pasien. Perempuan itu membelalak panik menatap kakeknya termengap mengap tersiksa gelagapan. Penyakitnya kumat. Pria tua itu sudah mengidap kanker paru paru namun seberapa parahnya belum diketahui Ruby, setahu dia terakhir beberapa tahun lalu berada di ambang stadium dua.

Shawn berlari menyalakan tombol meminta bantuan pada Perawat. Gemeresik pasukan perawatan serta seorang dokter cekatan memasuki ruang inap tanpa harus skan identitas. Tangan mereka gesit memeriksa Luan kemudian membantu ia membenahi kembali selang oksigen. Para perawat membelakangi sang cucu tengah terpaku gundah tak tega melihat kakeknya gelagapan.

NEPENTHE✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang