Mata Yasa membola shock dikejutkan sang Ibunda, Faza, serta Pandu yang membawa kue dihiasi lilin menyala. Nyanyian ulang tahun itu tidak kalah heboh dari diskonan swalayan. Cowok itu bermuka datar berusaha mengumpulkan nyawa menatap seluruh ruangan.
Ada yang berbeda dengan ruang tidurnya, seperti agak lebih lebar dan terang. Yasa melirik ke arah wajah ketiga orang tepat nyanyiannya selesai, setelah itu Aile memerintahkan putranya membuat permintaan lalu meniup lilin kue.
Meski hanya tiga orang saja tepukan tangan mampu memekakkan telinga Yasa. Untung saja mereka menjahili orang yang ketika bangun tidurnya dibuat kesal tidak badmood seharian. Yasa tersenyum tipis akan itu lantas menyibakkan selimut, meraup wajah bantalnya.
“Astaga ekspresi putraku hanya begitu saja?” Tanya ibunda Yasa sedikit kecewa hendak memegangi dahi putranya, mengira Yasa sakit.
Yasa memegangi pergelangan Aile menjauhkan dari dahi ia. “Lalu aku harus bagaimana?”
Jujur saja Yasa sangat susah berekspresi ketika berada di situasi canggung yang melibatkan orangtua ia. Yasa bingung memangnya kenapa jika ekspresinya begitu saja? Pikiran bercabang tersebut diganggu Pandu, cowok berkemeja hijau mint menyenggol siku.
“Di mana otak warasmu itu? Semakin tua semakin lupa saja.” Dahi Pandu mengerut.
“Kejam sekali ulang tahun pernikahan orangtuanya dilupakan.” Alih-alih Ruby menyuarakan suara menggema. Tidak ada orangnya tapi ada suara ia membuat Yasa menoleh kemana-mana sampai menemukan kehadiran Ruby dalam jarak jauh alias melakukan video call di dalam tablet yang dipegangi Faza.
Yasa mengedipkan mata sadar, tersenyum canggung. “Happy wedding anniversary mom,” ujar Yasa hangat beralih memeluk Aile, wanita itu membalas pelukan sang putra sesekali mengacak puncak rambut Yasa gemas.
Senyuman merekah tampil pada layar tablet. Ruby juga mengucapkan selamat pada Yasa dan Aile Gadis itu memberikan kode yang tidak diketahui kecuali Pandu. Cowok itu memberi kejutan juga untuk Aile, Pandu membawa kue hasil buatan Ruby. Betapa tersentuh nya Aile ampai ingin mengeluarkan air mata, wanita itu tidak lupa berterimakasih.
“Omong-omong ini di hotel ya?” tanya Yasa penasaran. Aile kemudian mengangguk.
“Itu benar, kita berada di hotel four seasons Seoul,” jawab Aile menyeringai bangga.
Bagaimana Yasa bisa berpindah kemari karena rencana Ibundanya. Pagi buta tadi sebelum mentari menampakkan diri, Faza, Pandu menerima panggilan telepon dari Aile saat mereka masih larut dalam mimpi. Keduanya dimintai tolong menggendong Yasa ke dalam mobil lantas menuju hotel. Sebelum cowok itu membuka mata, mereka bertiga berpindah posisi ke kediaman Hong. Lusa, Aile sudah berjanjian bersama Ruby membuat kue untuk ulang tahun Yasa.
“Bunda aku mau mengobrol dengan Ruby, tolong biarkan kami berdua.” Ucapan tersebut ambigu pada telinga Aile. Sang Ibunda tersenyum jahil mengerti sambil melangkah ke belakang menuju pintu keluar.
Bayangan Aile sudah hilang, tapi ada satu hal yang janggal. “Lo berdua juga minggir!” Yasa bersungut-sungut merebut tablet dalam genggaman Faza. Pintu kamar hotel di tutup rapat. Benda ceper putih sesekali didirikan atas meja, alih-alih Yasa duduk di sofa menarik ujung bibir membentuk bulan sabit. Perasaannya senang.
“Lo nanti hadir ke pesta keluarga Lawrence?” Yasa membuka topik.
“Ofc. Gue sama kakek hadir.” Jawaban yang sesuai. Yasa mengira Ruby tidak hadir mengejutkan dirinya pagi ini juga tidak menghadiri pesta keluarganya. Hal itu menenangkan hati Yasa. “Eh Yas gue tutup dulu ya. Sampai jumpa!” Pamit Ruby terburu-buru.
Yasa sempat mengeluarkan suara sebelum Ruby memencet tombol merah. Sepertinya cowok itu mau menahan Ruby supaya tidak mematikannya. Terlambat. Gadis itu terburu-buru akibat dipergoki Renata dan Nala.
“Udah kepikiran hadiahnya? Kelewatan lima belas menit ini.” Renata menanyakan penuh penekanan.
“Kasih waktu lagi lah,” tawar Ruby menggoyangkan lengan Renata juga Nala.
Gigi Renata mengernyit. Hampir empat jam mereka di dalam mall. Niat Ruby membeli hadiah bersama untuk dibawa ke pesta nanti malam, malah si pengajak belum terpikirkan memberikan apa, sedangkan orang yang berpartisipasi sudah mendapatkan kurang dari sejam.
Maunya berkualitas, awet, dan berkesan. Renata dan Nala sudah merekomendasikan jam tangan, tapi jawabannya, orang kaya sudah punya persediaan jam tangan banyak, tapi pikir mereka berdua apa salahnya menambah koleksi jika memang sudah punya banyak. Kedua, Renata merekomendasikan parfum, disanggah lagi. Kata Ruby takut salah aroma.
Wanita dikenal ribet. Renata juga mengakui, ini terlalu keribetan baginya. Dua jam mereka mengelilingi isi mall, Ruby tetap tidak srek, kemudian Ruby diberi waktu lima belas menit untuk berpikir malah ber-video call.
“Ahh! Aku menyerah, pulang saja. Ayo!” Ruby menggeram, melangkahkan kaki dengan hentakan. Dia juga kesal, kenapa di waktu seperti ini otaknya buntu.
Tidak menunggu waktu lama. Taksi tadinya menjemput ketiganya di depan lobi sudah mendarat di depan teras berpilar kediaman Hong.
“Ruby. Hadiah itu nggak dinilai dari segi apapun. Kecuali sang pemberi, nilainya dari situ nya,” sahut Renata sebelum pengemudi membanting setirnya lagi.
Ruby mengerti alih-alih mengangguk. Renata melambaikan tangan disusul lambaian Nala, melihat itu Ruby membalas lambaian kedua gadis itu.
Pintu besar dibuka.
“Aku pulang,” suaranya memberat.
“Oh halo cucuku! Lihat kakek mendatangkan penjahit terkenal di Seoul.” Luan mengejutkan kehadiran seorang wanita.
“Halo,” sapa Ruby membungkukkan badan. “Ada apa tiba-tiba mendatangkan nyonya ini?” bisik Ruby.
Luan ber-aishh. “Nyonya ini membawa beberapa koleksi dress pesta terbatas. Kakek mau kembaran dengan cucuku.”
Mendengar tersebut Ruby membeku. Pria tua ini sangat alay. Mau menolak, urung. Luan lebih dulu mengeluarkan jurus memperlihatkan binar harapan, akhirnya Ruby hanya mendesah pasrah.
Sekian lama berdiskusi memilih dress yang bagus untuk dipakai pesta nanti, selesai juga. Nyonya penjahit juga sudah diantar keluar. Rasanya pengap sekali, tangan kecil mulai dikipas-kipaskan depan wajah.
“Kira-kira apa yang membuat Shawn tidak mengabari kita? Ini sudah seminggu lebih sejak kakek pulang dari Italia.” Ruby mengungkit atas hilangnya Shawn.
Ceritanya cukup panjang. Saat itu kedua pria baru menginjakkan kaki di tanah air setelah tiga hari berada di Italia, Shawn berpamitan untuk ke toilet, sedangkan tuannya menunggu di tempat tunggu. Hampir lima jam tidak kunjung selesai. Ruby yang sebelumnya dikabari telah sampai di bandara Incheon datang menjemput sang kakek. Akhirnya mereka berdua memilih pulang saja.
“Entahlah. Kakek merasa seperti tidak dihargai. Kakek jadi malas membahas orang itu lagi,” cetus Luan dingin. Pria paruh baya bervest abu-abu dengan kemeja putih lengan pendek pergi meninggalkan sang cucu di ruang keluarga.
Berselang sepersekian detik gadis manik midnight blue mendengkus, seolah mengeluarkan semua keletihan dari pagi sampai sekarang. Baru pertama kali ini gadis berumur 17 tahun itu berkegiatan sejak matahari belum muncul sampai sang mentari berada di titik puncak kepala. Ia mencoba melirik benda ceper hitam memeriksa notifikasi handphone, tidak ada yang menarik.
Ruby melemparkan handphonenya ke sofa yang melenggang. Sesekali Ruby menyandarkan kepala, terlintas memori perlakuan hangat Yasa, setiap mengingat jantung Ruby kelabakan. Perasaan salah tingkah datang. Terkadang Ruby menganggap dirinya gila, saking senangnya ia menjadikan boneka besar menjadi tumbal untuk memeluk Ruby, membayangkan hal seperti itu terjadi lagi.
Kalau ditanya ia senang atau tidak jawabannya sangat senang. Pemuda itu berhasil meng-handle inner child side Ruby. Ia sangat menyukai pelukan Yasa. Juga menyukai lelaki tersebut. Perasaan salah tingkah kemudian hilang saat mengingat perkataan Yasa pada malam itu, mustahil agaknya bila cowok itu menyukai balik. Dia saja terang-terangan menyukai gadis kecil yang di culik bersamanya lima tahun lalu.
“Ah hatiku menjadi sakit. Mustahil sekali berhubungan bersama orang yang belum selesai dengan masa lalunya.” Ruby melesitkan tangan ke kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEPENTHE✅
FanfictionRuby Hong, ditenggelamkan oleh luka yang tidak ia ketahui penyebabnya akibat amnesia ringan, hingga dia harus mencari jawaban sendiri. Sampai ketika Ruby berpindah sekolah, ia bertemu dengan Yasa Lawrence yang ternyata masa lalu nya berkaitan dengan...