09 | 아홉 AHOP

1 0 0
                                    

Ia membalas salam para penanggung jawab beserta printilan mereka dengan membungkuk, “selamat pagi, saya ucapkan terimakasih kepada para direktur serta direksi yang telah hadir. Silakan duduk. “

Cewek itu mempersilakan mereka duduk kembali. Sebelum bergerak menduduki posisi center, salah satu pria mengangkat telapak tangan ke udara tanda ingin bertanya.

“Maaf atas ketidaksopananya nona. Di manakah tuan Luan Hong?”

Ruby melepas udara melewati mulut kemudian menyeringai, sudah tertebak mereka akan menjadi bingung saat nona muda ini memasuki ruangan. “Jujur saja, kakek sedang menonton anime jadi saya menggantikan tuan Luan Hong. Ada yang keberatan?”

“Tapi apakah ini tidak mengganggu hari senin anda? Bukankah nona hari ini harus belajar di sekolah.” Pria tua berjas hitam menanyakan kembali.

“Hampir setengah hidupnya beliau mengurus perusahaan ini. Saya rela meninggalkan jam pelajaran demi kakek—baiklah mari kita mulai rapatnya,” jawab Ruby menampakkan wajah terluka kemudian kembali tegas.

“Sebagaimana yang dilaporkan kepada saya dua hari sebelumnya. Agenda rapat kita kali ini akan berdiskusi mencari jalan keluar dari pemborosan hingga terhindar dari kebangkrutan.”

Titik iris para penanggung jawab mengunci fokus pada gadis berumur tujuh belas tahun di antara pria dan wanita umur berkepala dua hingga empat. Mereka semua mendengarkan sambil mengangguk mantap membiarkan suara mezzo sopran memasuki telinga kanan dan keluar telinga kanan.

“Dipersilakan bapak Juno Geofrey selaku Direksi Hong engineer. Bagaimana perkembangan pembangunan gedung ice hockey selama hampir dua tahun?” cakap Ruby memegangi mic di meja ia kemudian menoleh ke arah Juno.

“Baik. Saya akan melaporkan perkembangan pembangunan gedung ice hockey kurang dari dua tahun ini. Setiap bulannya sejak awal pendirian sampai sekarang ini pembangunan tidak sampai dari lima puluh persen, faktor tersebut dikarenakan ketersediaan prasarana terbatas. Sekian adalah laporan saya.”

“Terbatas? Tuan Luan sudah memberikan 15.000.000.000 miliar won. Sebelumnya juga diprediksi akhir proyek direncanakan selama 265 hari, ini sudah sangat lebih dari hari itu, mengapa proyek masih dikerjakan kurang dari lima puluh persen. Kenapa juga biaya semakin lebih besar dari anggaran proyek yang telah ditetapkan.”

Suara Ruby terdiam paksa alih-alih jantungnya berdegup kencang, darah mendidih menggerogoti seluruh tubuh Ruby. Hampir saja ia kehilangan moral seperti saat Yasa merebut eye patchnya.

Aura mencekam secara tidak sengaja diciptakan sehingga ketegangan menyeruak di ruangan rapat. Saking senyap kemacetan di bawah terdengar sampai lantai empat puluh lima.

“Saudara Davina selaku direktur keuangan, bisa saya lihat pengeluaran dana kinerja proyek setiap bulanannya dari perusahaan Hong enginer?” Ruby mencairkan suasana, terasa hawa mencekam seketika hilang

Davina menata langkahnya ke depan meja presiden direktur, menyerahkan proposal. Suara kertas terbalik beberapa kali terdengar renyah.

“Mohon izin berpendapat nona,” pria muda berjas coklat mengeluarkan suara pada mic kecil di depan ia.

Iris fokus menatap proposal kini mengalihkan pandangan lurus pada pria muda tersebut. Ruby mengedip pelan, “ya silakan.”

“Menurut saya ini begitu aneh nona. Setelah dibandingkan dengan stadion internasional untuk asian sports olympics Seoul tujuh tahun lalu tidak sampai separah ini.”

“Mohon izin. Saya juga setuju dengan anda. Saat itu pengeluaran sembilan miliar won dalam proyek pembangunan stadion eiteruch internasional sudah mendapatkan empat puluh lima persen dalam tujuh bulan, bahkan tenaga kerja tidak kalah banyak,” celetuk pria muda berjas biru navy, mengaktifkan mic berseteru satu pendapat.

“Nona, jika begini caranya peminat ice hockey semakin lama semakin berkurang seiring berjalannya waktu. Gedung itu juga akan sia-sia saja.” Davina juga ikut menyahuti.

Beberapa orang mengeluarkan pendapat mereka, namun Ruby memilih untuk diam mendengarkan asalkan mereka tidak ribut.

Jarum jam tangan menunjukkan pukul empat sore. Tiga jam sudah berlalu, sayangnya belum ada jalan keluar untuk mengatasi masalah.

Cucu dari Atlet serba bisa bersinggah kembali di ruangan dazzling. Keadaan Luan Hong bisa dibilang semakin baik, selang pembantu pernapasan sudah dilepas. Satu lagi yang membuat Ruby bersyukur adalah ketika ia hadir dapat melihat kakeknya membuka mata.

Terpasang raut sumringah atas kehadiran cucunya. Bahkan disaat ia terbaring di atas ranjang kemudian beranjak untuk bangun. Shawn dengan sergap membantu atasannya duduk ditopang setumpuk bantal.

“Rasanya segar sekali memandangi cucuku ini. Kamu semakin mirip ibumu nak.”

“Tentu saja aku hanya meminjam blazer ibu saja sudah mirip beliau.”

Pria tua itu menyipitkan mata menguraikan tawa khas sambil membelai rambut sang cucu. “Bagaimana kesan menjadi pemimpin rapat pertama kali?”

“Bagaikan bayi baru lahir yang kebingungan,” ucap ia singkat, pada dan jelas, kemudian melangkah sedikit ke meja menuangkan air putih pada gelas lalu meminumnya.

“Apakah kamu sudah melakukan tugasmu Shawn?” tanya kakek menanti-nanti.

Shawn mengangguk, mengeluarkan handphone dari saku jas ia, memutar rekam suara ulang dari hasil rapat tadi.

Ruby tersedak air mineral lalu melototi kedua pria di ruangan dazzling, tapi ya seharusnya tidak heran lagi. Beberapa bagian diloncati. Luan hanya ingin mendengar suara cucu ia ketika memimpin rapat pada perusahaan besar miliknya.

“Kakek jangan mengulang bagian itu dong! Suaraku jadi terdengar aneh tau,” pekik cucu Luan malu.

“Habis, cucuku lucu sekali. Kamu sudah makan belum? Kalau belum beli saja, pakailah kartu kakek.”

“Traktiran ya. Baiklah sebagai ganti, kakek membelikan ku makan saja selama aku mengatasi perusahaan, setuju?”

“Setuju saja. Gih,” pintah ia kepada sang cucu agar Ruby segera membeli makanan untuk mengisi kekosongan perut.

“Kamu juga mau Shawn?” tanya Luan setelah menatap punggung Ruby menghilang dari pintu ruangan dazzling.

“Tidak usah Tuan. Saya pamit ada urusan sebentar,  apakah tidak masalah?” tanya balik Shawn.

“Tentu saja tidak apa-apa. Silakan.”

Ruby sudah berdiri di antara kerumunan orang serta ditimpa langit senja, pandangannya berpindah-pindah mencari restoran atau cafe. Di depan gedung rumah sakit hanya ada aspal jalanan.

Tungkai Ruby mencoba mengelilingi gedung rumah sakit, siapa tahu ada tempat yang ia cari. Tiba tiba saja manik mata menatap lurus.

“Itu kan cafe yang gue kunjungi bareng Yasa,” gumam Ruby.

Suara lonceng kecil terdengar lembut saat pintu terdorong. Terpaksa Ruby harus datang kembali ke cafe malam itu, selain tempat ini tidak ada restoran atau cafe lainnya.

“Selamat datang, silakan memesan menu nya,” sambut seorang wanita kepada Ruby.

“Tolong pancake with extra maple syrup dan matcha smoothies. Terimakasih,” pesan gadis ini terhadap barista wanita.

Seorang laki-laki menoleh ke belakang, kelopak mata ia mengedip beberapa kali.

“Yasa, lo nggak sekolah?!” Tanya Ruby seusai menutupi mulut dengan telapak tangan, tidak menyangka.

Jari Yasa menuju dahi cewek itu kemudian menyentil lembut, “justru lo kenapa nggak sekolah.”

“Ya Salam...gue gigit lo Sa,” jawab Ruby sambil mengeluarkan jurus mimik tidak senang.

“Bercanda Bi. Gue disini bantu mama.”

“Hah, o-ohh?—OHHH.”


***


“Terimakasih,” ucap Ruby berdiri membantu pramusaji yang merupakan ibu Yasa.

“Halo nak Ruby, apa kabar?” tanya Aile diselingi menarik ujung bibir, mengulurkan tangan

Tangan Ruby membalas uluran Aile. “Halo tante, syukurlah baik. Sebaliknya bagaimana tan?”

“Baik juga. Omong-omong aku tidak pernah menyangka putraku memiliki pacar,” celetuk ibu Yasa memeluk nampan.

Ruby tersedak ludah ia kedua kalinya. Kedua tangan serta kepala menggeleng sinkron. “Tidak kami hanya berteman tante,” sangkal Ruby gagap sambil tersenyum terpaksa, ia memukuli lutut Yasa mengkode dia untuk membantunya berbicara.

“Siapa tahu rival to lovers, hahahaha. Ya sudah tante mau melayani sebentar ya.”

“Kok gak bilang kalau mama lo yang punya ini cafe?”

“Heh jangan mikir outside nalar dong. Masa gue kudu ngomong ‘Bi ini cafe nyokap gue, hari ini mama mau minta di anterin kesini katanya kangen jadi pramusaji',” celetuk Yasa dengan bibir dilebay-lebaykan.

“Ppft—“suara menahan tawa terlepas, teringat akan momen cewek itu memukuli lutut ia.

“Kutil. Sekarang hobi lo ngejek gue ya, klarifikasi dong kalau kita just friend. Padahal dulu nih ya kita musuhan, tapi karena wajah lo kayak kucing kebelet berak pengen gue maafin jadinya gue maafin. Terus ki—“

Yasa menyumpal mulut Ruby dengan satu suapan pancake, agar kebiasaan Ruby berhenti berbicara tanpa spasi tanpa bernapas saat kesal.

NEPENTHE✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang