Faza terperanjat dari posisi enaknya duduk di jendela, lalu otaknya merespon suara, sadar akan teriakan salah satu siswa terdengar sampai lantai tiga, gedung base camp the fourth musketeers.
"Apa yang dikatakannya tadi? Perusahaan Hong berhasil menangkap pengkhianat?"
Sama seperti Faza tadi. Kedua sahabat lelakinya juga ikut terkejut. Langsung saja Yasa mengambil sebuah remote menyalakan power TV besar di ruangan tersebut. Saluran dipindahkan pada acara berita.
"Siang ini dikabarkan bahwa Hong group akhirnya mengungkap pengkhianat dalam perusahaan mereka setelah beberapa hari lalu dikabarkan Hong group akan bangkrut karena pemborosan begitu drastis kurang dari seminggu."
Sang pembawa berita menampilkan potret pria berhasil diborgol oleh polisi.
"Juno Geoffrey. Direksi Hong engineer telah tertangkap kemudian akan diselidiki lebih lanjut. Pertama kali ini Nona Ruby Hong sebagai calon Presdir, berhasil menyelesaikan kasus perusahaan. Beliau mempertegas, memutuskan menyelidiki semua pekerja yang bernaung dalam perusahaannya."
Seketika ketiga cowok berseragam khas Richvreiden berselebrasi atas keberhasilan Ruby. Cewek itu benar melakukan seperti apa yang dikatakan Yasa kemarin malam. Yang bisa itu hanya dirinya seorang.
Yasa menatap layar TV penuh berbinar, di layar itu menampilkan foto Ruby tengah tersenyum. Betapa bangganya ia terhadap Ruby. “She could, so she did. Greget pengen gue telepon tuh bocah.” Yasa mengejutkan Faza dan Pandu dengan kalimatnya.
“Bro itu lo jatuh cinta namanya.”
“Iya Yas. Kenapa vidcall pagi tadi lo gak ngomong sekalian kalau lo kangen.” Pundak kiri Pandu menyenggol punggung sang sahabat seraya menampilkan wajah menyebalkan.
“Apa sih baru kemarin ketemuan. Nggak mungkin lah kangen,” sanggah Yasa tidak sadar telinganya menjadi merah.
Pandu mengerutkan kening sembari telunjuknya ia ayunkan, pemuda berambut merah rouge mengangguk-angguk, “berarti sebelumnya lo kangen!”
“Tuh-tuh. Bahkan kupingnya gak bisa bohong.” Faza juga ikut bersekongkol.
“Bacot deh.”
***
“Ingat tuan Juno. Tidak ada kata bantahan, semua bukti tercantum dalam genggaman saya.”
Dokumen-dokumen tersebut digeser mendekat dengan tubuh Juno, agar pria itu membacanya sendiri.
“Anda sudah memperlambat bakat dan minat masyarakat dalam bidang ini. Tahun lalu tujuh puluh persen yang berminat sekarang berubah menjadi lima puluh persen, karena gedung itu belum terselesaikan akibat keegoisan anda. Apa tujuanmu menggelapkan dana perusahaan Hong untuk masa depan masyarakat?”
“Aku sudah mengatakannya berulang kali aku tidak tahu! Aku hanya pesuruh seseorang.”
“Ck gumoh gue. Cabut satu kukunya aja apa susahnya sih.” Kesal, sudah berulang kali Juno hanya pesuruh. Tangan cewek itu mengepal sampai mengeluarkan keringat dibalik kaca ruang penyelidik.
“Jangan nona perbuatan itu terlalu keji bila di zaman sekarang. Lagi pula kita juga membutuhkan informasinya bukan?” Hajoon memegang pundak cucu sahabatnya dari belakang, meredakan amarah Ruby.
Tidak tahan oleh sikap kepala divisi Hong engineer. Daripada terus mendengarkan kalimat yang membuatnya mual lebih baik dia meninggalkan tempat, lantas Hajoon juga mengekor dari belakang.
“Paman rasa ada pesuruh di balik kasus Juno Geoffrey. Tidak masuk akal bila dia terang-terangan. Bila masalah ada sangkut pautnya dengan pembangunan pasti yang dicurigai adalah divisi engineer. Pesuruh itu lumayan pintar dan lumayan bodoh, memilih anak buah yang menonjol.”
“Tapi setidaknya anak suruhan si brengsek itu berhasil kutangkap dengan tanganku sendiri.”
Ahn-Ha-Joon tersenyum seraya membelai rambut gadis kecil di hadapannya. “Kamu berhasil melakukannya sendiri nak. Paman turut bangga.”
“Seharusnya kakek harus mengatakan itu lebih dahulu.”
Terdengar suara familiar dari belakang. Ruby membalikkan badan dikejutkan oleh kehadiran Luan Hong yang terlihat sehat walafiat mengenakkan jas hitam seperti biasanya.
“Oho, kakek melihat wajahmu penuh pertanyaan itu. Aku sudah diperbolehkan pulang tadi pagi, kemarin malam saat kamu tidak di rumah sakit itu kakek sudah bersiap-siap pulang.”
“Terimakasih banyak cucuku. Kakek sangat bangga kepadamu, kamu melakukannya sendiri tanpa bantuan orang terdekat.”
Cewek itu menggeleng. “Tidak ini juga berkat bantuan tiga cowok gila itu, paman Hajoon dan paman Ilsung.”
“Bagaimana kabarmu sobat,” ucap HaJoon memeluk Luan Hong senang.
Seperti berada di zaman Luan Hong muda. Ruby senang melihat keduanya akrab setelah tidak bertemu sejak sang kakek terbaring di rumah sakit.
Empat hari rela menerjang hujan dan panas akhirnya telah terbayar setelah empat hari perjuangan. Ini bukanlah akhir, namun awal dari semuanya. Sudah tidak sabar kembali ke Richvreiden. Sore ini Ruby kembali ke asrama disambut hangat oleh Renata beserta adik kelasnya, Nala.
Tiga gadis saling berpelukan. Yasa, Pandu dan Faza pun ikut serta menyambut Ruby di kamar asramanya. Tergambar raut sumringah satu persatu pada wajah mereka ber-enam.
“Kenapa lo gak ngabarin gue sih ubi.”
Cewek itu menggaruk pelipis tak gatal, sikapnya tidak ada niat untuk membalas. Ada alasannya dibalik ia tidak memberitahu Renata. Meski sedekat apa pun, Ruby tidak akan memberitahu soal kakeknya yang terkena kanker otak.
“Yang penting kan kak Ruby sudah kembali kak.” Kalimat Nala menusuk, memberhentikan tingkah alay kakak kelas ia itu. Sudah lumayan lama Renata melingkarkan kedua tangan di tengkuk sahabatnya sampai keberatan. Kemudian setelah Nala mengucapkan kalimat tadi ia berhenti.
“Iya juga, sori ya bi—BTW kalian para cowok silakan pergi! Biarkan kesayangan gue bobok maniez,” usir Renata menimbulkan kejengkelan ketiga cowok.
“Aku juga mau pamit dulu ya kak. Selamat beristirahat.”
Para pemuda yang turut menyambut Ruby melangkah keluar dari kamar. Tapi Yasa masih bergeming di tempat sambil menyilangkan tangan di dada. Lantas Renata menunjukkan wajah sebal. Ruby paham akan gerak-gerik Yasa. Pasti cowok ini ingin mengobrol dengannya.
“Sebentar Ren. Gue mau ngobrol sama Yasa.”
“Mentang-mentang pasangan baru, tercela lo mengumbar kemesraan di depan gue.”
“Mulutmu ngaco.”
Kedua pemuda itu meninggalkan Renata dari asrama. Seperti di tempat biasa. Tempat duduk di tengah antara bangunan putra dan putri kini menjadi lokasi kesukaan mereka berdua saat membicarakan sesuatu. Itu dimulai karena saksi perdamaian mereka berada di sana.
Langit oranye ditimpa para dedaunan pohon.
“Gue bangga. Lo bener-bener melakukan apa yang seperti gue bilang.”
Tangan Yasa bertumpu puncak kepala Ruby, sedetik kemudian diusap perlahan. Cowok berkaus hitam berhasil membuat jantung Ruby berpacu semakin liar, kali ini dia tidak mau komplain atas perlakuan Yasa padanya. Dia merasa senang, jadi biarkan sekali ini saja Yasa bersikap lembut kepada Ruby.
“Gue kangen sama lo Bi.”
Yasa berhenti mengusap rambut.
“Yas gue curiga ini bukan lo, seriusan.” Ruby menahan tawa.
Wajah cowok di depannya memerah. Tangannya meraih jari-jemari Ruby, menempelkan tepat di dadanya. “Stop playing with my feelings, artinya lo nggak menghargai perasaan kangen gue—berat nahan nya Bi.”
Telapak tangan mungil itu merasakan debaran jantung orang di depannya. Kemerahan pada wajah berpadu dengan semburat senja. Empat mata saling bertukar pandangan, perlahan kepalan tertinju pelan pada dada Yasa.
“Gue gak bisa juga membohongi perasaan sendiri. Gue kangen sama lo Yas. Cuma gengsi segede gaban aja.”
Senyuman Yasa merekah, ia tahu betul jantung Ruby berdetak tak karuan, sama sepertinya.
Mereka berdua berpisah setelah berbincang di tempat langganan. Yasa menyuruh Ruby untuk segera beristirahat. Empat hari ini pastilah tidak mudah dilewati. Lagi pula masih ada hari esok untuk bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEPENTHE✅
FanfictionRuby Hong, ditenggelamkan oleh luka yang tidak ia ketahui penyebabnya akibat amnesia ringan, hingga dia harus mencari jawaban sendiri. Sampai ketika Ruby berpindah sekolah, ia bertemu dengan Yasa Lawrence yang ternyata masa lalu nya berkaitan dengan...