10 | 열 YEOL

4 0 0
                                    

Hari kedua rapat kini kota diguyur hujan lebat, suasana tampak lebih sendu. Meski cuaca di tengah hari berubah, rapat hari kedua belum saja berubah. Kedua tangan Ruby terlipat di depan dada. Matanya menyaksikan jutaan kubik air turun dari langit. Lima bekas menit terlewat, mobil yang akan ditumpangi hadir di depan lobi. Tergesa-gesa tangan Ruby meraba gagang pintu agar tidak terkena tetesan air, ia langsung merapikan posisi duduk.

“Where do you want to go sweetie?”

Kendaraan besi hitam kemudian membelah rintikan air. Sang pengemudi membanting setir menyempatkan diri menoleh arah kanan, pada gadis berwajah masam.

“Lokasi proyek ice hockey--udah tau tempatnya?”

“Setelah lampu merah depan, belok ke kiri.”

Seseorang menyahuti. Suara familier itu berasal dari bangku belakang, membuat kepala Ruby terperanjat hampir terpentok atap mobil. Alih-alih Leher gadis itu tertarik melihat belakang kursi.

“Kok lo berdua jadi ikutan?” Tunjuk Ruby bergantian.

“Gak ada hujan gak ada angin tiba-tiba nanyain lo kemana, sampai heran gue.” Yasa menyugar rambut, menjawab pertanyaan Ruby lebih dahulu.

“Bukan berarti gue kangen ya cewek rem blong. Sebagai the fourth musketeers, kita bisa mengatasi bersama, gak seharusnya lo membereskan sendiri,” timpa Faza angkuh menatap pantulan diri dadi jendela

Manik midnight blue itu mendelik tak percaya bahwa Faza mengatakan hal menghangatkan dari mulut pertama kalinya untuk Ruby. Sejak kejadian tidak mengenakkan lima tahun lalu, jadi menganggap sifat semua orang sama. Seharusnya Ruby berprasangka berhenti berprasangka buruk pada orang lain meski perlahan-lahan.

“Kayak bukan Faza. Lo sehat nggak sih?”

Faza terkekeh pelan. “Asal lo tahu Bi. Gak ada Faza lain selain Faza Yoshida yang tampan nan sebaik ini. Syukur-syukur gue sehat lahir batin.”

Tawaan Ruby menggelegar isi mobil. Kemudian Pandu mendadak bergerak menyalakan head unit mobil. Memencet lagu random. This love Davichi versi koplo menjadi peneman musik selama perjalanan mereka yang cukup dikatakan lumayan lama.

“Saranghaeyo gomaweoyo!!”

Nyanyian Pandu mengomando ketiga orang, lantas suaranya terjepit. Seketika kendaraan besi dijadikan tempat karaoke oleh penerus fourth musketeers.

Usai dua puluh menit perjalanan penuh berisi. Empat payung hitam dikembalikan dari kedua sisi--angin sejuk menerpa helaian rambut sehingga butuh kesabaran untuk membenarkan anak rambut.

“Benar jauh dari kata lima puluh persen. Ya aku juga tidak bisa menyalahkan tenaga kerja juga.”

Ketiga tuan muda terdiam seolah mengatakan, 'yang benar saja,’ dalam hati

"Apa yang kau lakukan kemari nona Hong, mau memaksa kami melakukan ini semua? Kami tidak diberi bayaran selama tujuh bulan tentu saja saya beserta rekan bersikukuh tidak mau diperbudak!" Teriak seorang pria mengenakan seragam konstruksi menghadap diri secara langsung, wajahnya terlihat marah.

“Bagaimana bisa? Bukankah—“

“Sudahlah! Anda tanyakan saja pada anak buah kalian. Pergi dari sini sekarang.”

“Justru kami kesini untuk menyelesaikan semua.” Tubuh Yasa maju berpindah melindungi Ruby.

“Aku akan berjanji membayar dua kali lipat bayaran kalian sejak tujuh bulan lalu. Syaratnya katakan sebenarnya.”

“Saya tidak akan pernah percaya kepada keluarga Hong yang penuh korupsi. Silakan pergi.”

Terakhir kalimat pria tua berjaket oranye penuh tekanan. Tak lama setelah mengucapkan kalimat itu ia pergi meninggalkan keempat anak muda. Lagi-lagi Ruby dibenci orang tanpa alasan. Mengapa momen seperti ini terjadi lagi. Payung hitam gadis itu mendarat, tak lagi memayungi tubuh. Tanpa berpikir panjang cewek itu berlari menghampiri pria tadi. Dia berhasil menahan tangannya, lalu ditepis.

“Apakah anda bisa membuktikan bahwa keluarga Hong sang pengkoruptor?”

Tak ada balasan. Nada intimidasi Ruby membuat jiwa pria itu tertegun.

“Anda dengan saya, sama saja. Saling membutuhkan, Anda membutuhkan uang dari pekerjaan ini, kemudian saya membutuhkan gedung ini.” Ruby menyerahkan kartu nama berisikan nomor pribadi. Ia menjauh, mendekati mobil yang ditumpanginya tadi.

Segera Yasa berlari kecil memayungi Ruby. Saat ini mereka diam tidak mau semakin merusak suasana hati nona Hong. Tibalah di cafe milik ibunda Yasa, untunglah sepi tidak ada pelanggan jadi mereka bisa membicarakan hal privasi tanpa ditutup-tutupi.

“Lo jelek kalau sedih.” Yasa menyikut Ruby.

“Jangan sok kecakepan lo keset kaki.” Ruby melirik Yasa sinis.

“Gue emang cakep tujuh turunan geblek.”

“Iyain. Semoga dapet jodoh siluman bekantan lo biar semakin memperburuk keturunan,” rutuk gadis bersetelan tema coquette semakin jengkel.

Secara tidak langsung Faza menengahi keduanya secara menaruh berkedok menghantam meja dengan cangkir kopi yang diseduhnya barusan. Pandu meraba dahi tidak gatal dan menatap ketiga sahabatnya satu persatu.

“Soal dana lima belas miliar won itu bohong. Yang benar adalah berkepala dua.”

“Maksudmu, dana aslinya duapuluh won?”

Bibir Ruby tersenyum ke samping. “Aku melihat proposal Davina, di sana tertulis 20.000.000.000 miliar won sedang dari yang aku lihat proyek tadi hanya mengeluarkan lima sampai tujuh miliar. Lalu sisanya masih dipertanyakan.”

Kemudian dahi bergelombang kembali normal. Masuk akal juga, kemungkinan seseorang menyimpan atau memakai sisa dana dari proyek 35% itu. Faza melirik jam digital yang melingkar di pergelangan tangan, pukul sembilan malam waktu seoul. Cowok itu berpamitan lebih dulu karena akan melatih kandidat turnamen kyudo, Pandu juga ikut kembali ke Richvreiden.

Sedang Yasa memilih mengantarkan Ruby yang ingin kembali ke rumah daripada tidur di rumah sakit. Lagi pula Sekertaris pribadi sang kakek juga menjaga tuannya setiap waktu, sebelum itu Ruby mengabari Shawn bahwa ia berada di rumah. Shawn pun menyetujui. Kepercayaan menjaga Luan Hong dikembalikan lagi kepada pria muda itu.

Yasa membukakan pintu dan mempersilakan cewek bermimik datar masuk terlebih dahulu. Ia tidak berniat untuk mengganggu Ruby kali ini, cowok itu yakin bahwa di balik diamnya sedang ada banyak sekali pertanyaan. Sayangnya Yasa tidak bisa membantu lebih dalam, kalau soal mengandalkan dia jagonya.

Tapi jika Ruby terus menerus diam justru membuat Yasa semakin khawatir, takut saja ia menuangkan kemarahan dengan menyakiti diri sendiri tanpa bercerita. Cowok itu berdeham singkat.

“Cerita aja, nggak akan gue ejek. “

“Kalau memang ada pengkhianat apa kira-kira kita bisa mengungkap sang pengkhianat itu?” Ruby menatap toko persiapan tutup di sepanjang jalan.

“Bukan kita. Tapi lo. Ngerti kan yang gue omongin? Lo yang bisa.”

Curhatan berhenti begitu saja. Dengan begini Yasa tahu sesuatu apa yang diendapkan dalam hati Ruby sehingga sifat diamnya muncul. Ternyata cewek itu takut ada pengkhianat dan tidak bisa mengungkap orang tersebut. Selain menunjukkan arah serta curhatan tadi, Ruby tidak mood berbicara.

Tibalah di depan rumah putih berpilar. Gerbang hitam otomatis terbuka begitu Ruby membuka jendela mobil menampakkan wajahnya. Ternyata pagar otomatis hanya dapat diakses bila menggunakan wajah pengenal.

Mobil ceper besi mendarat di teras.

“Selama lo mengingat fourth musketeers, ingat, bahwa gue yang lebih dahulu menemukan lo Bi.”

Deg...deg...deg

Sial,  padahal suasana hati Ruby sedang buruk justru ia dibuat Yasa merasakan kemasukan serangga. Tidak biasanya mood cewek itu mudah berubah. Ruby kemudian tersenyum lantas membatin memberikan selamat kepada Yasa, dia orang pertama yang berhasil membuat mood-nya berubah drastis.

“Kalau gue butuh bantuan, terus ternyata lo gak bisa nemuin gue?”

“Akan ketemu.”

Dasar Yasatan. Sikap cowok ini semakin membuat darah daging Ruby terbakar.

“Ya udah gue mau istirahat. Lo juga jangan lupa istirahat, take a care bub—“ lidah Ruby tidak sengaja terbelit sampai ia bagai memanggil panggilan khusus untuk Yasa. Kalimat itu disenyumi oleh Yasa. Jendela mobil kembali tertutup, tidak lama kendaraan hitam hilang dari pandangan.

Sebenarnya Yasa mendengar kalimat terakhir Ruby saat di teras tadi. Tangannya mencengkeram poni, menunjukkan dahi dan wajahnya telah memerah. Ah, perasaan ini membuat hatinya senang.

Datanglah mobilnya mengumpul pada kerumunan. Perasaan senangnya telah sirna saat iris bertemu dengan bangunan terbakar. Sambil menunggu kemacetan mereda semakin membuat Yasa tersiksa terlalu lama melihat bangunan ditelan api. Kepalanya tertunduk pada setir, kedua tangan mencengkeram kemudi seraya memohon kepada Tuhan agar tidak diperlihatkan kejadian menyedihkan masa lalu.

Perlahan mobil Yasa melewati kebakaran tadi, meski sudah dilalui perasaan ketakutan masih ada. Tubuhnya memaksa fokus mengemudi. Tiba di Richvreiden, Yasa buru-buru masuk ke kamar asrama. Sikapnya bagaikan orang kelalapan, kemudian tangannya merogoh saku hendak menelepon dokter psikiaternya.

Sudah lama cowok itu tidak mengabari dokter Yara, karena mengira bahwa anxiety disorder-nya telah sembuh ternyata belum sepenuhnya. Tak lama setelah berdering, akhirnya terangkat.

“Halo Yasa. Bagaimana kabarmu?”

Suaranya bagaikan ditelan sesuatu. Dia tidak bisa mengatakan satu kalimat pun lalu berakhir dimatikan oleh Yasa. Tubuhnya terus meringkuk sambil memelotot membiarkan panggilan telepon dari Ruby.

NEPENTHE✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang