21 | 스물하나 SEUMULHANA

2 0 0
                                    

Sepuluh menit yang lalu siswa Richvreiden tiba di hotel ananti hilton Busan. Lantai sepuluh kini masih diramaikan oleh murid berkemeja putih setelan jas merah, berbawahan motif tartan hitam mengantre lift untuk mengantarkan mereka ke kamar masing-masing. Hanya menghitung satu—lima orang Ruby dan kawan-kawan bisa menaiki lift.

Lift melayang ke atas siap menjemput para pemuda. Yasa, Faza, Pandu, Nala, dan teman Nala melangkahkan tungkai memasuki ruangan 80 CM tersebut.

“Kalian berdua masuklah. Muatannya cukup untuk kalian berdua. Biar gak lama yang lain nunggunya mending dipas-in muatannya.” Tunjuk Faza kepada Ruby dan Renata, mereka pun ikut bergabung.

Suara teriakkan memanggil nama Renata terdengar dari ujung sana sebelum pintu kaca tertutup rapat. Tangan Yasa segera menghalangi di sekat.

“Kak Reta, Urgent!”

Raut wajah adik kelas itu tampak pucat. Ia mengenakan ban lengan OSIS, sepertinya ada masalah yang bersangkutan dengan organisasi. Sebagai ketua, Renata tentu sigap, wajahnya berubah serius. Cewek itu menatap Ruby, menyerahkan kopernya kepada sang sahabat.

“Tolong ya Bi. Gue pergi duluan.’

Sebagai jawaban Ruby mengangguk. Lift kembali meluncur ke bawah perlahan.

“Lantai berapa?” Kebetulan Yasa berdiri bersampingan dengan tombol kontrol. Mau tidak mau ia harus inisiatif bertanya.
Nala lebih dahulu menyahut bahwa ia bersama temannya tinggal di lantai dua, lantas Yasa ber-oh, pemuda jangkung itu juga satu lantai dengan Nala. Sementara, Ruby belum menggubris pertanyaan Yasa.

Nala menjawil siku Ruby, cewek itu tersentak alih-alih sadar belum menjawab pertanyaan Yasa. Tanpa menoleh Ruby menjawab, “lantai tiga.”

Lift berdenting sekali. Ruby melangkah keluar menggeret kedua koper berat membuat langkah kakinya tersandung sekat lift, Yasa terkesiap atas kecerobohan Ruby, tapi keseimbangan Ruby kokoh. Cewek itu menarik paksa koper, menuntunnya berjalan di lorong.

Tertera kamar bernomor 843. Ruby membuka pintu menggunakan kartu, langsung disuguhi pemandangan samudera. Ruby juga menemukan secarik kertas rundown acara rekreasi kelas 11 dan 12 di hotel ini selama dua hari.

Lima menit kemudian seseorang menekan lonceng, tepat Ruby selesai merapikan barangnya. Cewek berseragam khusus Richvreiden itu langsung membukakan pintu, cewek berban lengan OSIS menampakkan diri.

Renata menyalip Ruby yang menghalangi jalannya. Tanpa babibu atau QnA, cewek itu berbaring tengkurap diri di ranjang. Renata menjerit kencang, menarik-narik selimut sampai semburat.

Tidak lama teriakannya berhenti. Renata bangkit dari posisinya, menjadi duduk, poni yang tadi anti badai, sudah teracak.

“Gawatnya ternyata foto doang.”

Dangg. Ruby memutar bola matanya malas.

“Hitung-hitung olahraga tsay~” imbuh Ruby genit. Tiba-tiba Ruby menggeser pantatnya mendekat ranjang Renata, memukul ringan lengan sahabatnya. “Lo udah nemu pasangan buat game?” bisiknya seperti akan dipergoki orang.

“Gue diajak Faza sih, and...why not?”

Dering telepon Renata menggelegar, tertera nama Faza di benda ceper hitam. Tak sampai tiga menit telepon keduanya terlaksana.

“Sepuluh menit lagi gamenya dimulai nih. Yuk, gue udah ditunggu Faza.”

“Elah udah kayak kembar mayang gue nganterin pengantin baru,” ujar Ruby pasrah ditarik paksa keluar dari kamar. Faza sudah menunggu keduanya di depan kamar.

“Yasa ke mana Za?” Renata membuka topik.

Faza mengedikkan bahu, “katanya sih gak join game. Much better in his room.” Faza memasang kacamata hitamnya. “Pasangan lo siapa Bi?”

“Nothing!” Teriak bangga ruby membalikkan badan hendak menggapai pintu kamarnya.

“Lo yakin?”

Ruby seketika bungkam. Pergerakannya dihentikan hanya karena dua kalimat dari Renata. Tidak ada artinya jika Yasa tidak ikut bermain, hendak bermain bersama cowok lain pun rasanya akan berbeda kalau bukan Yasa pasangannya. Rasa kekecewaan Ruby menyerang hati, mulai memikirkan hal buruk. Cewek berkemeja putih kancing atasnya tidak dipasangkan ingat dengan perkataan Renata. Apa Yasa sakit hati karena Ruby sengaja menghindar.

Sebenarnya tidak ada yang salah setelah kejadian malam ulangtahun Yasa, tapi apa yang membuat Ruby melarikan diri dari cowok itu. Rasa malu karena dirinya memiliki perasaan terhadap Yasa? Sepertinya itu salah satunya.

“Yasa sama gue di kamar 850, just info,” timpal Faza sebelum akhirnya tubuh Rubu ditelan pintu.

“Lo harus ajak Yasa sendiri Bi! Selama ini lo Cuma nunggu Yasa kan! Kalau lo ga ikut, gue bakal jadi duta nya bareng Faza.”

Tetap percaya diri berteriak sampai menggemakan lorong lantai tiga, meski Ruby tidak mendengarnya, Renata tidak segan-segan menasihati sahabatnya sendiri. Baginya Ruby adalah kakak yang masih perlu dibimbing.

***

18:15

“Ini lo yang katanya jadi duta.”

Secara mendadak Ruby bergabung dengan gerombolan Renata, kemudian menyerahkan tas kecil tanpa menatap Renata yang tengah duduk. Pandangan Ruby terpaku oleh duta pasangan Richvreiden tengah dipasangkan spanduk bahu berwarna sangria.

“Mau marah tapi gue gal bisa, soalnya yang jadi duta itu Nala sama Pandu, gue kan kapal mereka berdua.” Renata mengedikkan bahu, mulai membongkar isi tas yang diserahkan Ruby.

“Ya udah gue balik dulu—“ Ruby sudah berniat kembali ke kamar hotel, tapi tangan Renata mencekalnya.

Muncul binar harapan pada mata Renata, sepertinya Ruby tahu apa yang diharapkan cewek di hadapannya itu. Ruby mendengkus malas, pasrah dituntun Renata untuk duduk di samping ia. Tampilan band Richvreiden mengalunkan irama indah, menciptakan area kolam renang yang disewa sekolahan menjadi harmonis.

Ruby memejamkan mata, sengaja merosotkan badannya di kursi. Ketika Ruby berusaha membuka mata kembali, ia terfokus kan pada suatu titik seorang laki-laki berseragam Richvreiden tanpa jas menyandarkan tubuhnya di pagar teras kamarnya. Alunan musik all about you milik Taeyon sembari memandang cowok berambut belah tengah meronakan pipinya, sama seperti warna senja sore ini.

Mungkin dengan kesadaran bahwa Ruby mempunyai perasaan khusus kepada Yasa ia berniat membalas perasaan cowok itu. Seperti yang diucapkan Renata, dirinya terlalu menunggu Yasa untuk beraksi duluan, Ruby mengulum bibirnya, sementara tubuhnya duduk tegap meyakinkan diri.

“Lo kenapa ga ikut? Cemen lo pesimis. Apa jangan-jangan tuan muda Lawrence sama cewek lain, “ timpal mulut pedas ala Rigel.

Sontak Renata melemparkan bedak satu wadah ke muka Rigel.

“Sengaja..” ucap Renata senang dirinya dipelototi Rigel. “Tampilan menari lagu twice kalian harus maskulin, makanya gue banyakin dempulan lo.”


NEPENTHE✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang