04 | 넷 NET

1 0 0
                                    



Suara bising monitor kembali normal. Perempuan duduk bangku SMA itu merenung di samping ranjang. Nampak jelas Ruby membendung air mata nya. Shawn datang meraih pundak bergerak ke atas, ke bawah secara lembut.

“Sebenarnya, nona Hong, sebelum anda datang lima belas menit sebelumnya tuan Hong siuman langsung terbangun duduk di ranjang teringat pada dokumen yang beliau buat, saking ingin menunjukkan ini dan menjelaskannya sendiri Seperti nona lihat tadi" Sudah terpikirkan sejak Ruby menginjakkan kamar inap Luan, Shawn berpikir majikan muda ia pasti heran, informasi mengatakan tadi sore Luan sedang tidak sadarkan diri alih-alih Rubu datang terlihat sehat sejahtera sampai kuat berpresentasi seperti presentaser pada umumnya.

Air mata kian terbendung meluncur melewati likuan pipi sampai tiba di dagu, lalu setetes demi setetes jatuh atas punggung tangan. Suaranya terisak isak, sementara asisten pribadi Luan tetap bungkam menundukkan kepala tetap membelai punggung Ruby. Sampai malam tiba, tangisan Ruby terhenti kemudian jatuh tidur tetap dengan keadaan mata sembap.

Pria terpercaya keluarga Hong terjaga sambil merapikan kembali berkas berkas kedalam tas jinjing, sesekali ia menengok menatap nona Hong tertidur pulas sampai anak rambut menutupi mata. Shawn kembali menenteng tas kearah Ruby. Jari jari berotot itu menggapai selimut, melebarkan nya ke seluruh tubuh Ruby yang tengah berposisi duduk memejamkan mata. Shawn memilih tidur diluar memberikan ruangan pada mereka yang satu satunya keluarga masih hidup, pintu terbuka, lalu menutup otomatis secara senyap.

Matahari menyingsing dari atas horizon timur, sang surya kembali menyapa melalui sela jari tirai putih, terasa hangat sinarnya mengenai punggung Ruby. Shawn kembali ke rumah sakit pada pagi cerah ini—mengibas tirai perlahan membiarkan sinar matahari masuk menghangatkan ruangan. Ruby mengangkat kepala, mengerjap sekali dua kali. Terasa berat pada tubuh, ia menoleh, tubuhnya terselimuti.

Shawn mendengar goyangan tubuh Ruby lantas menengok memberikan senyuman ramah seakan mengucapkan selamat pagi pada perempuan itu. Ah iya benar Ruby baru ingat masa perizinan dia sudah habis, sudah saatnya kembali ke SMA Richvreiden menjalani kehidupan sebagai siswi pada umumnya.

“Shawn. Perusahaan sudah mempublish artikel yang aku ajukan?” tanyanya melipat rapi kembali sprei.

“Pagi ini sebelum saya kemari sudah dipublikasikan nona. Apakah nona akan kembali ke rumah dulu dan pergi ke sekolah?”

Sejenak Ruby menghela napas berpikir kembali membiarkan otak ia merefresh ingatan, “aku membawa seragam hari ini. Lebih baik aku mandi di sini saja, mempersingkat waktu,” ucap perempuan itu mengetuk pergelangan tangan menggunakan telunjuk.

Shawn mempersilakan kamar mandi untuk digunakan oleh nona Hong. Tak lama kemudian suara gemercik air terdengar mengalir deras membasahi seluruh tubuh Ruby, gelembung sabun terbasuh menciptakan aroma wangi mengelilingi bilik air. Tujuh belas menit kemudian Ruby keluar sudah rapi berseragam, rambutnya juga selesai ditata teratur.

Sebelum kembali pergi, perempuan duduk di bangku SMA itu, sebentar menengok kakeknya sedang mengerjapkan mata tenang. Pintu di hadapan ia terbuka otomatis menunggu sebelah tungkai ia selesai melangkah sempurna keluar dari kamar inap, pintu menutup sendiri. Shawn dan Ruby berjalan berdampingan tanpa topik hingga berakhir tiba di lobi.

“Aku naik taksi saja, ku percayakan kakek kepadamu. Jika ada sesuatu segera kabari aku," ucap Ruby menerawang jalanan besar mencari sosok kendaraan berwarna oranye. Sebuah taksi muncul dari tikungan, bangkunya tersuguh kosong, ia segera melambaikan pada taksi yang melaju perlahan ke arahnya, kemudian mengerem. Pintu dibuka perlahan, kaki Ruby beranjak terduduk rapi di atas kursi.

Tak lupa sebagai kebiasaan bawahan presdir Hong Group, Shawn membungkukkan badan begitu taksi yang ditumpangi cucu atasannya merayap lurus membelah jalanan.



***


Awal mula nya empat pendiri perusahaan beda negara terdiri atas; Lawrence(Belanda) , Hong(Korea Selatan) , Mauver (Amerika Serikat), dan Yoshida(Jepang) hanya ber-ancang-ancang membuat penerus mereka melakukan kerja sama saja sudah membuat para masyarakat geger.

Apalagi beberapa tahun silam rencana tersebut hanya disetujui oleh tiga pihak, namun sekarang kota Seoul guncang. Sekian lama menunggu Ruby menandatangani kontrak, hari ini ia menyatakan mau bekerjasama secara resmi.

Tampak seperti semut bergerombol pada layar CCTV. Tiga cowok merupakan penerus ayahanda mereka tengah santai berada di singgasana kepala sekolah yang dipakai sebagai base camp para ketiga pemuda itu juga.

Suara siul muncul dari mulut Pandu tengah asik duduk bersantai menaikkan sebelah kaki ia di atas kaki kiri sambil menggerak-gerakkannya lalu sekalian memonitori layar besar di hadapannya, terlihat seperti semut bergerombol rela mendatangi sebuah gula untuk dimakan.

“Duh enaknya jadi selebriti,” celetuk Pandu sembari meregangkan otot bahu ia.

“Enteng ya ngomongnya, gak takut omongan lo nyangkut di menara Namsan apa?” celetuk Faza sinis bahwa menjadi tokoh terkenal tidak seenak dan segampang itu, namun begitu kalimat yang dilontarkan Pandu seperti tidak ada beban justru tahu kenyataannya membuat ulu hati ia terasa mual.

“Lo tuh Za. Bersyukur jadi orang, lo udah dikasih anugerah jabatan sama Bapak geblek.”

Sementara mereka berdua beradu mulut. Saking serius cowok satu ini memilih diam memantau layar monitor sampai iris matanya terpantul oleh cahaya layar. Gerakan detail tiap orang-orang ia perhatikan hingga sadar kendaraan baja berwarna oranye merambat perlahan mendekati kerumunan.

Terasa janggal. Dengan situasi seperti ini, warga Richvreiden tidak pernah ada yang berani mendekati kerumunan reporter. Namun ini berbeda, sekilas ingatan Yasa melihat Ruby meninggalkan kawasan ini sejak kemarin membuat cowok itu tergerak meninggalkan lokasi meski belum tentu penumpang dalam taksi tersebut adalah Ruby. Tapi perasaannya yakin bahwa gadis itu berada di sana.

Tak ada perempuan seberani itu dalam sejarah sejak ia memasuki sekolah yang didirikan pendahulu Yasa maupun ayahanda. Bahkan beberapa hari lalu Ruby berani mengeluarkan umpatan kepada Yasa apalagi situasinya di tengah umum.

Lift melesat jatuh perlahan pada lantai dasar. Tungkainya tak bisa tinggal diam menunggu sampai pintu terbuka, hanya tak sampai lima menit saja sampai begitunya khawatir.  Begitu pintu silver tergeser, gesit langkah Yasa layak ia menghindar serangan dari lawan.

Secepat kilat ia sampai pada gerbang darurat di mana orang-orang belum tahu terkecuali orang penting. Sedikit lagi Ruby larut dalam kerumunan berbaju hitam. Dengan cekatan Yasa menahan lengan cewek pendek itu, tatapannya bingung.


“Yas—“ Gagal. Ruby sudah mengeluarkan suara yang membuat para wartawan itu tertarik menoleh sebelum Yasa membekap mulut gadis di hadapannya. Wartawan mana lagi yang tidak akan menginterogasi tokoh sasaran mereka. Cahaya putih sekilas mengenai mereka berdua, puluhan mic handheld serta kamera menerkam.

“Apa alasan anda mendadak menyetujui kontrak padahal sebelum itu anda tidak mau diganggu gugat?” salah satu pewawancara melayangkan pertaanyan tergesa-gesa sambil mendekatkan mikrofon.

“Apa yang akan anda berdua lakukan untuk kedepannya?”

Sungguh gawat, tidak ada celah sama sekali untuk kabur. Mereka merapatkan celah secara tak sengaja.

“Tolong beri kami jalan, sebentar lagi jam pelajaran dimulai,” sahut Yasa dingin. Tangan kanannya melingkar pada kepala Ruby, berusaha menutupi wajah Ruby.

Keadaan semakin runyam para wartawan semakin mendorong satu sama lain untuk mengumpulkan informasi tanpa acuh dengan keselamatan kedua atlit di depan mereka. Berkali kali Ruby mengantupkan rahang berjuang melawan sesaknya, mata ia mulai sayup tidak tahan diapit oleh banyak orang pada titik tengah.

Lantas beberapa orang berbaju hitam membelah kerumunan. Mereka memakai kacamata hitam serta earpiece, dandanan sangar yang sudah tidak asing lagi untuk Yasa.

“Be careful with Ruby, my son,” ucap Gama De Lawrence menyeringai, dia muncul lagi sejak mendatangi konfrensi pers di Singapura empat hari silam.

“Yes sir.”

Para bodyguard itu saling berpegangan tangan membentuk huruf U melindungi kepala yayasan Richvreiden serta kedua pemuda tersebut. Mereka masuk ke balik gerbang dengan selamat, bahkan para wartawan sudah beres kembali ke habitat mereka.



***


Yasa menghela nafas perlahan, kedua alisnya menyatu saat mendengar bagaimana nada bicara Faza terhadap perempuan. Tangannya menghalang tubuh cowok itu untuk tidak semakin murka terhadap Ruby.

Apalagi sepertinya ini kali pertama Ruby dikelilingi oleh reporter. Mungkin pada saat dia terkenal dengan bakatnya, para reporter tidak mewawancarai dia, melainkan kakeknya.

“Apa sih za? Sensi mulu kerjaan lo,” celetuk Pandu bersedekap.

“Hentikan. Kalian berargumen sama halnya dengan omong kosong, tidak menyelesaikan apapun yang ada malah menambah masalah,” ucap Gama De Lawrence tegas menengahi mereka.

“Maaf aku telah ceroboh, sampai merepotkan kalian semua.” Baru saja ia mengalami culture shock. Tangannya gemetaran sementara titik pusat pandangan ia berada di bawah.

Pria merupakan pemilik Richvreiden menata langkah pada samping Ruby mengeluarkan tangan yang ia benamkan pada saku beralih ke lengan Ruby. Pandangan cewek itu terputus putus begitu mau mendongakkan kepala, terpantau lelah dari mata ia.

Gama menoleh melirik satu persatu pemuda di balik punggungnya, sebelah alisnya terangkat mengode agar mereka keluar terkecuali Ruby dan dirinya sendiri. Patuh dengan syarat Gama, mereka kembali menggendong tas menuju kelas masing-masing.

“Anda terlihat lelah nona Ruby. Istirahatlah dengan cukup. Saya, sudah mengetahui bahwa tuan Luan sedang berbaring lemah di rumah sakit. Saya berharap berat kepada Luan Hong agar cepat pulih.” Gama mengangkat suara menepuk pundak Ruby yang tidak lemah tiada tenaga.

“Mengapa anda bisa tahu? Padahal saya berusaha untuk menutupi keadaan kakek,” sahut Ruby berusaha menyunggingkan senyum tipis.

“Siapa yang tidak akan tahu dengan keadaan sahabat sendiri sejak masa muda,” ucap Gama sambil mengangkat pundak.

Sepersekian detik kemudian tawa kembali meluap, terasa lega mendengar tertawa dari cucu Luan Hong. Betapa miripnya mereka berdua ketika tertawa hingga menyipitkan mata seperti samoyed.

“Nah sekarang anda tidak perlu takut merasa sendiri nona. Keluarga anda bertambah. Welcome to the fourth musketeers.”

Gama tersenyum, menunjukkan pada Ruby, membanggakan the fourth musketeers dan  meyakinkan bahwa Ruby tidak sendiri, semuanya pasti akan baik-baik saja.











NEPENTHE✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang