Liburan akhir tahun telah usai kemarin. Beberapa anak sekolah mulai kembali beraktivitas, termasuk sekolah yayasan Richvreiden. Semua murid Richvreiden bersiap tinggal kembali di asrama pada pagi ini. Sebelum kembali, Ruby menyempatkan menatap layar laptopnya sambil menunggu sang kakek yang sekaligus akan pergi ke perusahaan.
“Aku punya penyakit gangguan memori?”
Luan mengerem secara mendadak untung saja mobil sudah berada di wilayah sekolah, bisa bahaya jika berhenti tiba-tiba di jalan raya.
“Nanti kakek beritahu saat sudah siap. Oke? Segeralah masuk, nanti kalau cucuku terlambat bagaimana?” Sampai jumpa lagi ya cucuku sayang.”
Mobil ceper hitam mengkilap kembali merayap atas aspal.
Sepanjang tungkai Ruby digerakkan, pikirannya bercabang. Orangtuanya diceritakan meninggal di lokasi insiden kebakaran lima tahun lalu yang melahap 200 korban jiwa. Tapi kenapa orangtuanya pergi ke sana? Apa yang membuat mereka pergi ke sana. Sialnya kenapa dia harus menjalani sebagai anak remaja yang tumbuh ke dewasa dengan penuh tanda tanya. Sesekali Ruby memukul kepala, tak membiarkan sepagi ini memikirkan hal berat.
Sesuai perjanjian sebelum liburan akhir tahun. Pusat Richvreiden mengarahkan semua murid kelas 11 dan 12 dipersilakan berkumpul ke aula, untuk pembekalan rekreasi pada esok hari, selama empat hari berturut-turut. Ratusan murid menandai tempat duduk yang menurutnya diinginkan. Ruby mengawal langkah Renata dahulu, menuruni tangga berkarpet merah.
"Di sini aja kali, makin ke bawah makin mager gue--" Kalimat Ruby terhenti seolah lidahnya kelu.
Sebelumnya kursi merah yang ia ingin singgahi mungkin akan diurungkan, manik midnight blue menemukan dua pemuda yang amat dihafal oleh Ruby.
"Duh Re. Telinga gue lagi bermasalah, kursi depan yuk," ajak Ruby sudah berpeluh dingin.
"Telinga lo onde-onde atau gimana sih, sound system bejibun anjir. Sori gue mager," tolak Renata memasang raut tak suka.
Terburu diajak duduk oleh Yasa dan Faza nantinya jika mereka lama berdiri di barisan bangku nomor dua dari belakang. Ah, lelet. Ruby menarik tangan Renata secara paksa.
"Mma-maksud gue itu gue pengen lihat guru lebih deket. Mata gue agak bermasalah Re. Please."
Renata mendesis, menyerah mau ditarik sejauh apa dirinya sambil menatap wajah Faza dan Yasa yang tengah memperhatikan tingkah laku keduanya. Jarak mereka berempat hanya sebatas tiga deretan bangku. Kedua gadis itu kompak menduduki kursi merah.
"Dengan cara lo menghindari Yasa, apa lo yakin itu gak nyakitin perasaan dia?" Celetuk Renata, memendelikkan bola mata Ruby.
Kemungkinan besar Yasa merasa tidak diinginkan. Ruby sengaja menghindari cowok berambut middle part itu dengan alasan canggung usai kejadian kemarin malam, di mana Yasa menyatakan rasa sukanya terhadap Ruby.
Sayang sekali Ruby menghindar dari Yasa bukan karena mereka sudah menjalani hubungan. Ruby hanya merasa canggung sekaligus tak enak hati, belum bisa membalas perasaan Yasa.
Ruby tentu tidak mau bersama seseorang yang belum luput dari masa lalunya, memaksa dirinya untuk menerima orang baru, kemudian dijadikan pelampiasan. Apalagi Yasa pernah mengatakan bahwa ia mirip dengan gadis kecil yang ditemuinya. Itulah ia semakin tidak yakin.
Tidak lama pembekalan dimulai dengan salam, lalu diberikan informasi arahan mendetail. Kegiatan pembekalan dilakukan secepatnya, supaya tidak menghabiskan waktu pembelajaran lain.
"Gue gak sabar banget!!" Renata berseru senang hendak kembali ke kelas.
Ruby merasakan ada getaran di roknya.
“Halo kakek ada apa tiba-tiba meneleponku?” Ruby menjawab panggilan suara dari Luan sebelum beliau mengeluarkan kalimat lebih dahulu.
Luan Hong berdeham. “Kamu harus mengecek sendiri rekapan pasien atas nama dirimu, Kaiden Hong dan lim-seo-in di Asan Medical Center Seoul lima tahun yang lalu tepat bulan September.” Luan berhenti sejenak mengambil napas. “Maaf kakek tidak bisa membicarakan ini secara langsung, maafkan kakek.”
Kemudian sambungan telepon terputus. Didengar suara Luan dalam telepon tadi sedikit terpatah-patah. Bukan karena jaringan jelek, melainkan itu dari mulutnya sendiri. Tanpa babibu Ruby memencet kontak rumah sakit AMC yang dikirimkan lewat chat oleh Luan.
“Halo selamat siang,” sapa Ruby menunggu jawaban, kemudian dijawab oleh sang penerima. Pihak rumah sakit menyapa kembali sambil menanyakan apa yang bisa mereka bantu.
“Atas nama pasien Ruby Hong. Saya ingin mengecek rekapan hasil rekam medis saya dan pasien atas nama Kaiden Hong, Lim-Seo-In, lima tahun yang lalu pada bulan September, apakah bisa?” lanjutnya
“Baik akan segera kami kirim. Tapi nona Hong, sebelumnya...sekitar dua tahun yang lalu ada seseorang meminta hal yang sama seperti anda,” jawab pihak rumah sakit dalam telepon.
Pernyataan tersebut berhasil membuat Ruby mendelik terkejut, ia sedikit menjauhkan handphonenya dari daun telinga. “Atas nama siapa?”
“Im-Sang-Hwa, nona. Saya kira beliau asisten pribadi tuan Hong. Kami akan segera mengirimkan rekapan yang anda minta.”
Ruby mengaku bahwa nama yang disebutkan tadi adalah asisten pribadi Luan, lalu Ruby berterimakasih--memutus sambungan telepon.
“Udah lo matiin rekam suaranya?”
"Beres." Renata membentuk jari jempol dan telunjuknya menjadi lingkaran. "BTW, Im-Sang-Hwa siapa?”
Ruby tahu nama yang disebutkan wanita tadi adalah Shawn. Keluarga Hong mencetuskan panggilan Shawn untuk mempermudah pemanggilan. Lantas pertanyaan Ruby, mengapa Shawn meminta data medis miliknya lalu sudah diminta selama itu.
***
Ruby merasa jantungnya berhenti berdetak dan seolah langit runtuh menimpa kepalanya. Ia segera menunduk sembari meremas kertas berisi rekaman medis miliknya sekaligus orangtuanya. Ruby jadi mengerti kenapa Luan bersikeras menutupi penyakitnya, Luan membiarkan ingatan Ruby hilang, daripada Ruby tahu ia mempunyai gangguan memori, kemudian berusaha memulihkan itu sama saja dengan mencari penyakit. Ruby samar mengingat ingatannya lima tahun lalu, melewati pembuluh darahnya.
“Kebodohan apa ini? Putri kalian santai-santai saja menikmati harta keluarga Hong, sedangkan orangtuanya terbaring di atas tanah mengira kalian meninggal secara tidak sengaja dalam tragedi ini. How’s funny?” Kekehan Ruby pecah menertawakan jahat kesalahan diri sendiri.
Diagnosis amnesia dari dokter mengatakan bahwa penyakit Ruby ringan, pastinya peluang untuk sembuh juga tinggi, itu benar. Ruby telah menjadi kelinci percobaan profesor bernama Im-Young-Ha. Tapi bukankah ini menyambung dengan cerita Yasa, gadis yang selama ini Yasa cari adalah Ruby sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEPENTHE✅
FanfictionRuby Hong, ditenggelamkan oleh luka yang tidak ia ketahui penyebabnya akibat amnesia ringan, hingga dia harus mencari jawaban sendiri. Sampai ketika Ruby berpindah sekolah, ia bertemu dengan Yasa Lawrence yang ternyata masa lalu nya berkaitan dengan...