11 | 열하나 YEOLHANA

4 0 0
                                    


Sekitar lima menit lalu Yasa dan Ruby sudah melakukan panggilan video di sela sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Nampak pemandangan tidak asing di belakang Yasa, space belakang penuh loker, artinya Yasa sudah berada di kelas. Cewek itu juga terlihat sedang bersiap pergi ke perusahaan.

Sedari tadi Yasa hanya menatap Ruby yang sibuk dengan diri sendiri. Jadi ini sebenarnya video call atau vlog daily in my life. Yasa menggerutu kemudian barulah Ruby diam melakukan kegiatannya.

“Enak diabaikan?”

Yasa ber-oh, sepertinya dia mengerti kenapa Ruby bersikap seperti itu. Dia marah karena teleponnya kemarin tidak diangkat. Jadi dia berbuat seperti cowok dalam layar iPadnya, mengabaikan.

“Enak, akhirnya comberan gak berisik.” Tangannya menyugar poni ke belakang. Penuh percaya diri.

“Kenapa lo nggak jawab telepon gue kemarin. Mana sebelumnya Yasatan berada di panggilan lain.”

“Dengan siapa gue telepon itu bukan urusan—“

“Ciee cie...ihiy! Dahabat kita ituh cemburu Yas, kenapa masalah beginian lo gak peka banget sih,” timpal Pandu yang baru datang ke kelas menampakkan diri pada layar laptop Yasa seraya merangkul Faza. Keduanya tampak sedang bersekongkol.

“Sori ya, gue nggak sahabatan sama gerombolan setan kayak kalian,” tunjuk Ruby kesal dalam layar.

“Ya udah tinggal resmikan kita sebagai sahabat lo apa susahnya, toh nanti kita bakalan deket kayak bokap serta kakek kita.” Pandu mengedikkan pundak tidak acuh.

“Kapan-kapan aja, baru gue sambut dengan spesial. Sekarang lo bertiga fokus sekolah aja, gak perlu bantu gue hari ini.”

“Yailah lo juga siswa kali.”

“Berisik deh. Gue cabut duluan.”

Panggilan video telah diakhiri oleh Ruby. Ia mendapatkan panggilan lain dari nomor tidak dikenal. Sebelumnya ia enggan menerima, tapi setelah diingat lagi ia pernah memberikan nomor pribadi kepada kapten instruksi proyek pembangunan ice hockey.

“Selamat pagi nona Hong. Bisakah anda kemari, ada yang ingin saya obrolkan.” Sang lawan bicara membuka topik.

Akhirnya datang juga. Rasanya jiwa Ruby ingin meloncat-loncat di atas kasur saking senangnya. Kira-kita apa yang ingin dibicarakan pria itu. Kali ini dia ingin melakukan tugasnya sendiri tanpa bantuan orang terdekat. Bakat mengendarai mobil setahun lalu tidak sia-sia juga. Dia masih ingat bagaimana ajaran Luan Hong.

Kendaraan putih melaju perlahan dari garasi,  lantas keluar dari kediamannya.

Perjalanan sedikit macet karena orang-orang aktif pada pagi hari. Entah mereka pergi bekerja atau sedang menuju sekolah. Dua puluh menit lebih tibalah di lokasi konstruksi. Pria yang telah meneleponnya tadi sudah menunggu.

Keluarlah Ruby dari dalam mobil. Pria itu menghampiri alih-alih menyalami gadis berusia tujuh belas tahun itu. Keduanya tersenyum ramah.

“Kita bicara di dalam mobil saja,” ajak Ruby mempersilakan masuk.

“Sebelum itu. Saya meminta maaf sebesar-besarnya atas perbuatan kasar saya kemarin kepada nona Ruby.” Pria ini menyatukan kedua telapak menunduk kepada Ruby, lalu cewek itu menepuk pundak pria berjenggot, tersenyum bahwa tidak apa-apa.

“Jadi apa yang akan anda bicarakan bapak Il-Sung?”

Tanpa banyak una-inu Ruby menegaskan inti pertemuan mereka.

“Panggil saja Sung. Ini untuk laporan pengeluaran dana nya nona.”

Setelah pria itu memberikan kertas berlembar, segera Ruby membaca dengan teliti satu persatu halaman. Sesuai dugaan, pengeluaran dana gedung yang setengah jadi di depan matanya kini bertotal 5.000.000.000 miliar won. Ruby menarik udara dari sela giginya. “Saya jadi heran tuan. Apa alasan anda tiba-tiba mau melakukan ini?”

“Saya dapat merasakan ketulusan anda nona. Mendengar kalimat ‘kita berdua sama’ dari mulut anda saya jadi ingin menangis. Sebelumnya banyak sekali orang kaya seenaknya sendiri merendahkan kaum seperti kami, padahal jika kami tidak ada perusahaan mereka tidak akan ada. Anda mengatakan bahwa kita sebagai manusia sama, bahkan anda langsung memperlihatkan itu. Payung yang anda jatuhkan itu karena melihat saya tidak memakai payung kan. Supaya sama.”

Semua yang dikatakan pria berjenggot itu benar. Jarang sekali seseorang menyadari perbuatan ia yang dibaliknya ada sebuah pesan. Dia ingin membuktikan bahwa mereka berdua tidak ada bedanya. Semua manusia sama, hanya saja memiliki tujuan berbeda, sifat berbeda, dan berbeda aktivitas.

Rela kehujanan demi suatu tujuan layaknya masalah mereka sekarang. Sang tenaga kerja membutuhkan uang untuk menghidupi keluarga sedang Ruby membutuhkan gedung itu untuk semua orang.

Tidak menyangka ternyata, pak Il-Sung memikirkan perkataannya kemarin.  “Terimakasih pak Sung. Saya jadi mengerti. Padahal dana yang akan diberikan adalah 20.000.000.000 miliar won. Tapi kenyataannya malah menjadi 5.000.000.00, sungguh berbeda jauh.” Sejenak Ruby menghela napas, “sebenarnya jika sisa dari lima miliar won dari dua puluh, itu ada, pekerjaan kalian pasti tidak terhambat. Anakan kami seolah menutup mata padahal mereka memberikan 5.000.000.000. Dan pasti seseorang mengambil sisa untuk keegoisannya.”

“Sekarang jadi masuk akal nona. Entah seorang atau berkelompok pasti merencanakan sesuatu untuk menghambat pekerjaan kami, supaya perusahaan Hong dipermalukan kemudian diolok pemberi harapan palsu.”

“Ah saya kira perkataan saya tadi terlalu rumit. Untungnya saya menemukan orang pengertian seperti anda.”

Beban pikiran satu ini akhirnya telah terjawab. Calon presiden direktur muda itu jadi mengerti kenapa proyek gedung ini lebih dari setahun masih mendapatkan 35%. Nyatanya seseorang berencana menghancurkan perusahaan Hong dimulai dari menghancurkan kepercayaan masyarakat. Lantas siapa pelakunya.

Tersisa satu beban pikiran dalam otak. Kini Ruby kembali bertarung seraya mengemudi kendaraan. Divisi Hong engineer adalah pusat dari segala pusat. Mereka bertanggung jawab atas semua proyek yang diperintahkan, meskipun tidak yakin ini ulah mereka apa bukan ia tetap bergegas menuju kantor polisi pusat. Menyerahkan semua bukti yang terkumpul, dari dokumen Davina dan milik pak Il-Sung.

11:00 Seoul South

Mobil putih berhenti membelah jalanan kemudian bersinggah di tempat parkir. Tungkainya digerakkan.

“Nona Hong!”

Sapaan seseorang dari jauh menghentikan langkahnya. Matanya memincing, mengangkat sebelah alis. Siapa orang ini? Pria berseragam polisi itu tertawa. Banyak sekali pangkat yang dikenakan pria itu.

“Namaku Ahn-Ha-Joon.”

Ia terdiam mencoba mencerna nama orang tersebut.

“Ah! Paman Hajoon!”

Polisi andalan kakek. Itu dia namanya, pantas saja polisi ini mengenal namanya, ternyata saling kenal. Tak lama mereka pergi ke sebuah cafe mengobrol santai.

“Bagaimana kondisi tuan Luan di rumah sakit.”

Sama seperti, Gama Lawrence. Hanya orang terdekat dan terpercaya yang tahu bila kakek terbaring di rumah sakit. “Sangat baik. Sepertinya kakek akan keluar dari rumah sakit sebentar lagi.”

“Senang mendengarnya. Oh, apakah kamu ingin ke kantor polisi ingin melaporkan bahwa kakekmu menuntut sang cucu agar menjadi serba bisa?”

Senyuman berawal dari bentuk bulan sabit merambat ke ledakan tawa. Apa-apaan orang ini, masih ingat saja dengan curhatannya dua tahun yang lalu. Keduanya tertawa lepas ditimpa berisiknya cafe.

“Ahh astaga. Enggak paman, aku sudah tidak mempermasalahkan itu. Justru sekarang aku mau melaporkan kasus.”

Mata pria berseragam warna peacock dipadukan celana navy memelotot seakan tidak percaya. “Apa yang terjadi pada perusahaan Hong?”


NEPENTHE✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang