06 | 여섯 YESEOT

2 0 0
                                    


“Mimpi lo. Yang ada mata kaki, mata kaki” cibir Renata bernada lagu. “Udah balik ke tujuan awal kesini, kartu kesehatan gue gak ada buat ladenin soker lo.”

“Geblek, itu kepala, pundak, lutut, kaki. Lutut, kaki,” balasnya tak kalah kasar.

Bel menyeruak di tengah keramaian lingkungan. Pembelajaran jam ke lima kelas sebelas satu, di awali dengan Bahasa Inggris, mata pelajaran yang paling diminati murid Sastra. Suara ketukan sepatu pantopel mendekati pintu kelas A, kemudian terbuka seakan didorong oleh angin besar. Angin besarnya adalah—Pak Johan.

“HEY HOW ARE YOU TODAY KANAK-KANAK CHILDREN.”

Sapaan klise guru bahasa Inggris di setiap penjuru sekolah. Sapaan itu dibalas ramah oleh tiga puluh sembilan siswa di kelas. Yasa malah menopang dagunya di atas meja seraya mengalihkan pandangan  ke luar jendela. Mendadak suasana menjadi sendu, awan-awan biru mulai tergantikan oleh warna abu gelap.

“Apa. Ada yang bilang tidak baik? Is too sad. Even so mister kumis akan tetap melanjutkan pembelajaran.”

Dengan seksama kelas unggulan berseru kecewa. Berharap diberi waktu bebas, anak muda jaman sekarang tahu saja saat siang-siang begini dengan suasana mendung cocok sekali untuk tidur. Tak sekali dia kali beberapa siswa merayu Mister Johan. Jantung pertahanan guru pria itu tetaplah tidak runtuh. Sebagian ada yang menurut membuka buku paket halaman sesuai arahan, ada lagi tim merayu, dan juga ada tim malas.

“im terribly sorry my children, because saya tidak ingin kalian mendapatkan low score pada ujian tengah semester mendatang.”

Jika salah satu guru mata pelajaran sudah mengatakan begitu artinya para murid tidak boleh bermalas-malasan lagi, karena hilal ujian tengah semester akan terdengar sebentar lagi dalam jangka waktu pendek.

“Ah malas sekali ini susah,” celetuk Pandu terdengar bergema dalam suasana lenggang. Mister John yang tersadar mengangkat dagu sambil melipat tangan di depan dada. Pertama kali ini dalam sejarah kelas unggulan mendapatkan guru Bahasa Inggris killer.

“Oh yes young master? Tempo hari saya tidak sengaja membaca story kamu. You wish was a cat, no school, no work just meow meow. Can you say it again? Here mr. Pandu.”

Pandu bangkit dari kursinya hendak menuju posisi pak John di depan papan.

“Now. Meow for this english season finished.”

“Di sini pak?”

John mengangkat satu alisnya masih berjalan dengan kedua tengah terlipat. “kamu mau di tengah lapangan?”

“Tt-tidak pak! M-meow meow.”

Seketika satu kelas menguraikan tawa renyah menyaksikan tingkah murid absen 17 menurut oleh guru Bahasa Inggris. Untuk sekali ini tugas pandu tidak sama dengan teman-temannya lain, saat ini ia bertugas menjadi siluman kucing selama pembelajaran terlaksana tiga jam. Di sepanjang murid mengerjakan ada saja yang tertawa.

Pembelajaran selama tiga jam diselingi backsound kucing mengeong akhirnya usai dipenuhi gelak tawa. Yasa tadinya merenung sampai tersakiti perutnya, apalagi kupingnya sudah pekak selama tiga jam mendengarkan suara berisik Pandu. Istirahat jam kedua yang dinantikan oleh semua murid akhirnya tiba.

Kini Yasa melirik jam digital yang melingkar di pergelangan tangan, seperti biasa istirahat jam kedua terjadi pada pukul tiga sore. Cowok itu menaklukkan lorong, berniat menghabiskan waktu rehat ke singgasana the fourth musketers. Halaman sekolah diselimuti air hujan. Terpaksa Yasa berlari sambil berjinjit-jinjit menghindari sepatu basah.

Cowok itu melangkah sedikit lagi kemudian masuk ke dalam, menutupnya segera sebelum rintikan air hujan masuk. Tiba di lift, telunjuknya memicit lantai paling atas. Pintu ruangan 80 CM terbuka, berbarengan dengan seperti suara sendok mengenai piring.

Kedua tungkai diayunkan menelusuri lantai pualam putih. Daun pintu berhadapan, kemudian Yasa memasukkan sandi ruangan. Seseorang dari dalam menoleh ke arah luar bertatap lurus dengan si pembuka pintu.

“Hai Sa!”

Cewek berambut cepol melambaikan tangan dengan posisi absurd. Tubuhnya terbalik, dari kepala hingga perut di bawah sedangkan kedua kakinya terangkat pada udara.

“Puahahah!”

Lepas sudah tawa Yasa yang tertahan sejak membuka pintu memperhatikan keanehan pada gadis itu. Tuan muda Lawrence berlari kecil segera menolong posisi menjempalit Ruby di atas sofa bean bag.

Mata Ruby mendelik saat mereka saling tatap, tapi masa bodo untuk Yasa, dia terus melanjutkan tawa sembari mendorong punggung cewek itu untuk kembali duduk dengan posisi benar. Tak lama pemuda tengah tertawa menganduh kesakitan, memberhentikan tawa jahilnya.

“Kayaknya lo punya gaya serangan baru.” Yasa mengusap air mata menggunakan telunjuk.

Ruby melayangan pukulan tepat betis sang target. “Gigi lo! Gue mau duduk. Malah jungkir balik, gue gak bisa gerak gegara kejepit.”

“Sejak kapan posisi lo jadi gitu?”

“Sejak bel istirahat kedua bunyi, lo belum ke sini.”

Bibir Ruby masih bertahan mengerucut, wajahnya bersungut-sungut antara kesal dan malu.

“Dengan siapa lo duduk di tempat gue tanpa izin,” timpal Yasa semakin membuat Ruby merutuk dalam hati. Namun apa yang dikatakan cowok itu dan ekspresi sama sekali tidak nyambung. Niatnya memang jahil atau apa sih.

“Kurang ajar, gak dikasih AC sama Tuhan lo di kuburan. Tapi bener sih, gue izin ya lagipula kerasa nggak adil kursi yang begini cuma tiga,” gerutu cucu Luan.

“Yee lo kan baru gabung.”

“Sumpah gue sambit keranjang lo.” Ruby duan sejenak tanpa ditimpali Yasa. “Apa gue nyari ke toko ya, tapi dimana,” sambungnya, mengetuk telunjuk ke dagu.

Yasa mengerjapkan kelopak mata pelan sambil gerakan menyugar rambut kebelakang. “Gue anterin kapan-kapan aja. Sementara ini pakai punya gue dulu.”

“Kapan-kapannya itu kapan.”

Cowok itu menggedikkan pundak.

Mereka berbincang selama kurang setengah jam. Bel sudah berkumandang lebih dahulu. Pembelajaran hari ini bersisa dua jam setengah, kemudian dilanjutkan ekstrakurikuler wajib. Menit demi menit terlewat sampai akhirnya bel otomatis menyaring ketika jarum jam pendek di antara angka empat dan lima. Ketertiban setiap jadwal ini sudah beraturan seperti biasa hingga mereka lulus nantinya.

Selesai sudah Ruby mengganti seragam kendo. Ia duduk terlentang membiarkan penatnya hilang dahulu. Syukurlah Nakamura sensei belum datang kemari, jadi ia gunakan kesempatan melepaskan lelah.

Manik midnight blue terpantul seorang menunjukkan lima jari seraya digerakkan. Gerakan itu seperti membangkitkan jiwa penantang Ruby. Kepalanya mendongak ke atas.

“Apa?” Bola mata Ruby berputar malas.

“Tunjukkan gerakan barumu tadi.”

Posisi duduk terlentang itu langsung terbangun. Rasanya ingin sekali ia menginjak-injak Yasa. “Najis banget diungkit-ungkit. Gak usah begitu deh.”

“Masih mending lo Ubi bakar. Daripada si pandu di kelas tadi, dijamin langsung boker lo ketawa mulu.”

Mata tajam Ruby berubah menjadi hamparan penuh semangat. Ia penasaran apa yang dilakukan salah satu rekannya itu.

Semua kejadian dari awal hingga akhir pembelajaran bahasa Inggris, Yasa ceritakan secara detail. Sesuai dugaan cowok itu, Ruby mengisi seluruh sudut ruangan oleh renyah tawanya. Ada yang membuat pemuda coklat hitam menyesal berbagi cerita. Ketika Ruby tenggelam dalam suasana tawa pasti tangan akan ikut bergerak sesuai tempo tertawanya.

“GUYS! Pak Nakamura izin kita bisa latihan bebas katanya,” ketua ekstrakurikuler meloncat ke dalam ruangan memberikan berita bahagia. Semua bersebelrasi. Ruby sih setuju saja dengan sorak mereka, hari ini terasa begitu lama dan capek. Napas cewek itu lega bisa termenung seperti sebelum diganggu Yasa. Sebelum akhirnya duduk posisi enak pedang kayu dari samping menggagalkan.

“Ayo latihan bareng gue. Setelah dapat keringanan, tentu saja lo gak boleh menyalahgunakan kesempatan itu. Berakhir bermalas-malasan kan.”

Kepala Ruby menoleh seperti robot. Kemudian tersenyum masam, tubuhnya reflek berdiri tegap, menyatukan kedua tangan. “Kumohon kali ini saja berikan keringanan tuan...”

“Nggak,” tolak Yasa hendak membopong Ruby ke tengah arena. Ia melemparkan pedang kayu pada lawannya. Saat ini cewek itu hanya bisa menghela napas.

Hampir sejam latihan tiada ampun, fisik Ruby dihajar habis oleh Yasa si jagoan seni bela diri Jepang. Berdasarkan keturunan ia memang mempunyai darah dari sang ibu yang bergaris keturunan keluarga bela diri Jepang. Sudah melewati jam usai ekstrakurikuler pun keduanya masih tinggal di sana, tidak peduli kegelapan pada langit mulai menyingsingkan senja.

“Lanjut putaran ke lima.”

“Sinting! Minimal kasih gue napas lah, setan,” demo nona Hong menghela napas berat. Tubuhnya terasa panas, mengeluarkan cairan bening.

Jantungnya memompa cepat membuat Ruby kesusahan mengatur napas. Kedua tangan ditopang ke lutut mengeluarkan deru angin dari mulut, kemudian punggung tangannya mengusap keringat. Cewek itu kembali mengarahkan pandangan ke Yasa. Posisi badan cowok itu masih bersiap.

“Emangnya lo dari tadi gak napas?” Yasa melemparkan pedang kayu hingga membentur ke lantai kayu. “Alright kalau memang lo mau. Gue kasih.”

Pikirnya gila apa ya. Mengapa cowok itu malah berpikir ke hal lain, yang dimaksud adalah berikan waktu untuk bernapas lega. Sudah empat kali putaran Yasa melatih gadis bercepol tiada henti. Seandainya ini pembunuhan berencana, Ruby tidak segan menyerang balik.

Sebotol air putih disodorkan oleh tuan muda Lawrence, orang yang diberi enggan menerima pemberian, siapa tahu akan ada racun atau semacamnya. Lantas Yasa menyentil dahi Ruby, ia terlalu banyak menonton film sampai imajinasi aneh muncul dalam pikiran.

“Idih nyebut lo kebanyakan nonton film. Ini botol udah gue kasih racun di pabriknya.”

Ruby berdecih memutar bola mata malas memunculkan bibir lebay seraya mengulangi kalimat Yasa. Cewek itu mulai mengata-ngatai cowok di depannya, lalu mau menjamah botol air mineral.

NEPENTHE✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang