“Hey girl it’s not fair! You’re look so pretty everytime, tega banget bikin perut gue kemasukan butterfly effect,” gombal Pandu berupaya mensejajarkan langkah Nala yang jaraknya lumayan jauh. Nala tidak ada niat untuk membalas pemuda di samping, pandangannya tidak beralih selain menatap depan.
Pandu terkekeh, tidak menyerah menggoda Nala, sehari tidak menjahili Nala baginya itu bagai makanan tanpa garam, “sorry i call you girl. Do you have a name? Or can i call you mine.”
Gadis berkuncir kuda tersebut meringis geli meladeni kejahilan Pandu. Sesekali Nala menatap Pandu bersama wajah senyuman jahil seperti biasa.
“Lebay banget. Cukup menghibur sih, bintang tiga aja ya kak,“ ucap Nala menusuk, tangan Pandu menggaruk garuk pelipis tak gatal. Tak sesekali dua kali cewek ini menjawab gombalan Pandu secara pedas, tapi begitu pun sahabat laki ia yang berbeda umur satu tahun ini tetap senang.
“Nala gue ikut lo ya.” Pandu memohon, binar harapan tampak berpendar di manik, agar Nala mengizinkan ia menikmati makan siang bersamanya, keluarlah jurus anak anjing. Keduanya saling bersitatap sementara Nala menunjukkan ekspresi geli. Suara mendesah pasrah keluar dari mulut Nala. Menandakan dia kalah, dan mengizinkan Pandu.
Para siswa-siswi tertib berbaris membawa nampan untuk mendapatkan lauk mereka. Sudah saatnya Nala menerima makanan pencuci mulut. Berdiri seorang cowok di hadapannya berhobi bersiul sambil menunggu Nala selesai menerima tiramisu crepe.
Empat sepasang kaki menata langkah menelusuri kursi kosong, semua kursi di hari biasanya melenggang, tapi siang dini hari hampir terpadati. Untung saja sebelum makanan dingin Pandu dan Nala menemukan tempat kosong walau itu pun tidak strategis lokasinyaa. Suara hentakan nampan pada meja berhasil mengeluarkan suara kecil, kedua pemuda itu menyeret bangku ke belakang menyesuaikan posisi terenak untuk makan siang.
Sebuah gagang sendok terangkat ke udara bergerak kesana kemari hingga menghasilkan beberapa potongan makanan sampai mendarat ke mulut Nala. Saat Nala asik mengunyah manik matanya bertemu dengan tiga orang datang dari balik punggung Pandu. Mereka menyadari tatapan Nala lalu tersenyum kepada dia.
"Bolehkah kami duduk di sini? Aku rasa hanya tempat ini yang kosong sedari kita bertiga mengelilingi kantin tadi," ucap seorang pemuda berwajah bule, tidak hanya cowok ini. Bahkan teman temannya yang ikut, berwajah asing. Pandu mempersilakan ketiganya duduk.
“Maaf sudah mengganggu waktu berpacaran anda berdua,” ucap cewek berambut blonde sambil tersenyum tidak enak kepada dua pemuda. Tangan cewek itu masih memegangi nampan bersiap jika ditolak bersinggah.
Mata Nala mendelik kepala ia refleks menggeleng-gelengkan dengan cepat, begitu juga kedua tangannya yang bergerak sesuai gelengan kepala nya. Telinga Nala terasa panas, mungkin wajahnya saat ini terlihat seperti kepiting rebus.
“Ah tidak tidak kami hanya sahabat beda angkatan,” sanggah Nala hampir tersedak. Alih-alih dia mengangguk-angguk sembari mengipasi wajah ia yang terasa panas. Kepala Nala menunduk sehingga poninya menutupi wajah, bisa gawat jika wajah bak kepiting rebus itu diketahui Pandu.
Cewek blonde itu terkekeh, "saya kira...karena kalian sangat cocok."
"Omong-omong jarang banget lihat kalian. Murid baru ya?" tanya Pandu selesai menghabiskan makanan.
"Tidak. Apakah kamu lupa Pandu? Aku Helio, pelajar remaja dari Itali yang bertukar dengan sekolah anda eidenscurtch. Saat pertama kali kenal bukankah kita membicarakan tipe wanita loh."
Pandu mendelik paham menyatukan telapak tangan kanan ia serta kiri sampai menimbulkan suara tepukan. Hampir saja Nala menyemburkan air di ambang tenggorokannya, syukur saja hanya beberapa tetes keluar dari mulut ia saking kaget.
“Nala kamu oke?”
Gadis berumur 16 tahun itu sibuk mengelap air pada dagu sebelum menjawab pertanyaan kakak kelas ia, “nggak papa kak. Tenggorokanku kram. Aku mau ke toilet dulu.” Nala berpamitan tanpa menatap Pandu sekali. Ia melanjutkan mengibas pelan rok begitu berdiri dari kursi. Kurang dari semenit cewek seberang meja Pandu sudah menghilang dari pusat kantin
Tidak disangka bahwa ketertarikan atau bisa disebut obsesi pandu pada perempuan sudah bergejolak sejak berada di Akademi eidenscurtch, Jerman. Pikiran Nala dipenuhi bayangan bagaimana Pandu menggoda wanita di saat mereka tidak bersama lagi sejak gadis itu pindah rumah. Momen kakak kelasnya itu pasti tak hanya melakukan gombalan, pasti ada jalan ia menyentuh wanita.
Gadis itu tidak ke toilet melainkan ke lokasi di mana dia menyegarkan seluruh pikiran serta hati. Perpustakaanlah yang menjadi tempat kesukaan Nala, entah sedang sedih atau bahagia, kursi pojokan serta tembok menjadi saksi mendengarkan sesi podcast curhatan.
Belum sempat tiba di perpustakaan cewek berkuncir kuda bercak hitam hampir terhuyung ketika menata langkah. Dari mana saja batu lumayan besar ukurannya berserak tepat depan pintu. Nala masih menutup mata dengan kasar, terasa tangan hangat menyalur. Seseorang telah memegangi pinggang gadis itu agar tak terjatuh.
Nala mengintip sebelah mata kemudian sebelah mata menyusul sambil mengepalkan kedua tangan menyatu. Ruby menyungging senyum tipis berhasil menyelamatkan adik kelas yang telah menolong ia saat diperkenalkan sekolah oleh Pandu dan berakhir digombali.
“Haduh dasar batu sialan, kau punya kaki ya!” Sentak Renata menghempas batu menggunakan kaki, kemudian kerikil besar tersebut kembali ke habitat.
Nala melongok ke bawah, memang iya kakinya berjinjit hampir jatuh. Untungnya kakak kelas mengenakan seragam vest bercorak merah menyelamatkannya. Kedua tangan Ruby belum lepas dari sana, Nala hendak berdeham membuat Ruby sadar.
“Kau tidak terluka Nala?” tanya gadis angkatan 14. Telapak tangan pemuda itu berpindah memegang pundak Nala, tatapannya penuh khawatir, hampir menimpa batu besar. Bisa gawat jika terkena badan, apalagi kepala.
Kepala Nala mengangguk cepat. “Gakpapa kak Ruby. Terimakasih, maaf telah merepotkan.”
“Justru kita impas. Kamu juga menyelamatkanku dari lelaki gila itu,” sambar Ruby mengibas pelan tangan tak sekali dua kali. “Kamu mau ke perpustakaan juga? Kalau iya berarti kita satu tujuan.”
Jari-jemari Ruby meraba gagang pintu hendak memutarnya, pintu ruang ratusan buku terbuka setengah. Ketiga dari mereka memasuki satu persatu berusaha tidak berisik dalam ruangan. Adik kelas Ruby kini berpamitan lebih dahulu, sementara titik fokus dirinya tertarik pada space membaca di atas karpet lembut.
“Bi.” Ia tidak merespon. “Ruby Hong,” panggil kedua kali Renata. Orang yang dipanggil belum saja menjawab. Melamunkan hal apa sehingga sang sahabat diabaikan. “SONGONG BANGET LO.”
“Ya Tuhan apa Re? Lo PMS? Mau gue bilangin ke Faza biar dibeliin kiranti?”
Jantung Renata seketika bergejolak bagaikan merebus darah, hingga panasnya menjalar ke telinga. Tanpa disadari telinganya telah merah karena mendengarkan nama Faza dari mulut orang lain.
“Dan terjadi lagi jantung gue qosidahan.”
“Yee dikira orang kayak gue gak tau lo mesra-mesraan sama si tukang ngegas itu. Sampai elus dada, istighfar anak muda jaman jigeum. Ingat, Mata gue banyak.”
Malam kemarin
Papan sasaran mengambang di atas air danau belakang asrama. Tak sekali dua kali target panahan bergerak menimbulkan gelombang air kecil. Tepat pukul sepuluh malam putra pertama dari keluarga Yoshida generasi keempat melatih tiga kandidat, persiapan untuk turnamen usai ujian tengah semester.
Dahi dan rahang dipenuhi peluh keringat mencucur sejak dua jam yang lalu. Tiga murid itu tengah fokus membidik target sejauh tigapuluh meter dari daratan.
“Latihan hari ini cukup saja sampai di sini,” titah suara berat.
Semua orang membungkuk memberi salam, berpamitan tak lupa berterimakasih. “Terimakasih atas bimbingan serta kerja kerasnya tuan muda Yoshida.”
“Yah mengerikan sekali dirimu mengajar mereka,” timpal gadis bersweater abu muda.
“Mana ada organisasi pemanah lemah lembut. Soft side ku khusus buatmu.”
Cowok itu menarik bibirnya membentuk senyuman. Sebelas dua belas dengan pandu, si tukang menggombal wanita. Cuma saja Faza memiliki perasaan khusus terhadap Renata. Satu satunya perempuan yang membuat ia tertarik.
“singkat. Padat. Alay, Faz. Kamu tercela mengumbar tindakan begitu.”
Binar-binar mata Faza terpantul cahaya lampu, tampak lebih menggemaskan, kayaknya anjing kecil kelaparan. Tak tega hati Renata diserang bertubi-tubi oleh kelucuan sahabat lelakinya itu. Tangan sebelah kanan cewek berambut hitam menggamit lengan pemuda alias anak anjing kelaparan.
“Udah yuk kita jalan-jalan,” ajak Renata girang. “Bytheway Za. Lo gak masalah gue berkali-kali datang waktu lo lagi ngajar?”
“Gak dipermasalahkan dan gak masalah. Ya emang banyak yang tanya ke gue tapi gue klarifikasi sebenarnya kok, kalau kita emang just friend kan,” jawab Faza penuh percaya diri bertolak pinggang.
“Kira-kira apa kita bisa mempertahankan momen seperti ini nantinya?”
“Tolong jangan dibahas Nat. Aku enggak mau berantem.”
“Ya sudah maaf ya telah merusak suasana.”
Suasana canggung menjalar antara mereka berdua. Tiba-tiba gadis sweater abu berpegangan pada sisi baju Faza. Cowok itu menolehkan pandangan sudah disuguhi oleh senyuman sumringah.
“Ayo temani aku!”
Faza tersenyum lega, suasana yang tak disukai olehnya cepat dicairkan oleh sang sahabat. Ia terkekeh kemudian mengikuti jejak langkah Renata, ia berlari sambil berloncat loncat layaknya anak kecil setelah diberikan permen oleh ayahnya. Inilah data ketertarikan Renata, cewek itu mampu menarik perhatiannya dengan sifat ia itu. Cahaya lampu remang sekitar sungai, langit tak terlihat bulan, semakin tenang suasananya. Untung saja seusai ditegur Renata segera meminta maaf.
“Woi Faza! Cepetan ikutin gue. Nanti gue ilang gimana?”
Tak ada angin tak ada badai. Flash kamera terpancar dari belakang tubuh Renata. Ia terperanjat membalikkan badan, penasaran cahaya silau apa tadi.
“Lo paparazi gue ya? Hayo ketahuan.” Posisi berdiri Renata semakin mendekat dengan Faza. Cewek itu menunjukkan raut jahil sehingga Faza tersipu malu mengalihkan pandangan.
“Orang foto tikus kok—“
Definisi omongan adalah do’a. Tak lama sebelum Faza menutup kalimat, seekor tikus melewati mereka berdua sekilas serata menciut-ciut. Ekspresi Renata berubah total ketakutan, wajahnya menjadi mayat hidup—tubuhnya meloncat kemudian melingkar ke tengkuk Faza. Badannya mengambang, untung saja cowok itu mau menggendong Renata yang ketakutan menapak di tanah.
“Padahal aku berbohong, ternyata mereka merasa terpanggil.”
“Apa! Kau bodoh?” Pekik Renata terkejut mendengar kalimat Faza, ia berada di posisi ternyamannya dibopong sang Sahabat.
“Sejujurnya aku memotretmu sih,” ujar Faza memejamkan mata.
Faza menata langkah menuju asrama. Untung saja jarak danau dan asrama dekat, bukannya keberatan membawa Renata. Justru dia sangat ringan untuk digendong Faza, ia khawatir masih ketakutan pada tikus.
“Ya sudah fotonya jadikan pusaka saja. Aku ikhlas. Sudah turunkan aku di sini.” Kaki kiri Renata menjulur ke bawah mendahulukan bertumpu atas tanah sebelum badannya berdiri tegak di depan lobi asrama perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEPENTHE✅
FanfictionRuby Hong, ditenggelamkan oleh luka yang tidak ia ketahui penyebabnya akibat amnesia ringan, hingga dia harus mencari jawaban sendiri. Sampai ketika Ruby berpindah sekolah, ia bertemu dengan Yasa Lawrence yang ternyata masa lalu nya berkaitan dengan...