Suasana kelas dalam situasi tidak mengenakkan. Hari-hari selalu suasana ini yang dirasakan, setiap Ruby hadir kelas berada dalam keadaan berantakan. Semua kursi dan meja berserakan dimana-mana. Entah itu terbalik atau kotor bercak sampah kertas, bahkan bangku di mana Ruby duduk dicoret-coret menggunakan tipe-x yang bertuliskan umpatan, penghinaan maupun kejelekan.
Hanya bisa menghela nafas berat, mengeluarkan air mata saja tidak bisa menyelesaikan semuanya, saking seringnya Ruby diperlakukan tak adil ia tak bisa lagi mengeluarkan air mata setetes pun, membendung air mata pun tidak. Murid spek staf kebersihan itulah yang dia lakukan selama ini.
Segerombol kelompok gadis mendekati. “Apa ini? Kan sudah kubilang kau harus membersihkan semua ini sebelum kami datang!” pekik danielle sambil menyilangkan tangan depan dada dengan angkuh mengetuai teman kelompoknya.
Senyap. Ruby tak berniat membalas, tatapannya terus kebawah menatap lantai. Sementara kedua tangannya membawa sapu yang hendak akan dia pakai untuk membersihkan lantai.
“Maaf, aku baru saja kemarin pulang turnamen. Tidurku kemalaman. Kalian ingin aku segera membersihkannya kan? Sebentar ya, kalian tunggu saja di depan, aku pasti cepat.”
Tawaran menggelegar, memekakkan telinga Ruby. Lama kelamaan didengar sangat menyakiti telinga. Seorang gadis berkuncir kuda berhenti tertawa lalu menatap rendah Ruby.
“Apakah kami terlihat peduli?” ucapnya menusuk hati.
“Huh. Memangnya kau siapa menyuruh kami menunggu?” sahut sinis gadis di samping Danielle.
“Hei Ruby. Bukankah Danielle sudah memperingatkan beberapa kali. Kau. Harus. Membereskan. Kekacauan. Sebelum. Kami. Datang.”
Nada bicara itu terdengar manipulatif. Lima jari menangkap kedua pundak teman yang protes pada Ruby, Danielle maju satu langkah. Tanpa perlu babibu. Dagunya menganggut ke arah gadis di depannya mengode teman-teman ia untuk maju lebih dahulu memegangi tubuh berantakan Ruby. Tentu saja pergerakan para teman danielle membuat Ruby berjaga jaga, dia terus memundurkan langkah ke belakang takut adegan seperti biasa ia dapat. Tapi percuma.
Danielle kembali dengan ekspresi tatapan wajah benci namun senang akan penghinaan terhadap Ruby. Tangannya melayang berkali-kali mengenai pipi tanpa ampun. Tamparan renyah itu seolah membisu, murid lainnya melihat adegan itu hanya bungkam tidak bisa membela korban. Bahkan guru guru tahu jika Ruby terluka saja mereka anggap terluka karena perbuatan diri sendiri.
“Menjijikkan sekali monster. Enyah saja.”
"Ma-maaf. Kenapa kalian terus menyiksaku, aku tidak bersalah karena luka ini," ucap Ruby bergetar saking merasakan perihnya.
"Justru tatapan wajah meminta tolongmu sungguh menyenangkan Ruby..."
Danielle mencengkeram rahang Ruby. Raut psikopat terus menguraikan tawa renyah, senang melihat korban gelagapan atas kelakuannya.
Sakit.
Siksaan yang terus berkelanjutan. Dunia tidak adil, dunia tahu bahwa penghuninya terluka, kenapa semuanya terasa hina hanya karena bekas luka yang tidak Ruby ketahui penyebabnya.
Pandangan para kelompok perundung seakan terlihat samar, pandangan Ruby seperti ditelan kegelapan. Tanpa disadari air tergenang di mata kini sempat mengalir deras seolah membakar lukanya di saat Ruby pingsan.
***
Kendaraan besi hitam mendarat di depan gerbang kediaman keluarga Hong. Tampaknya penjaga gerbang kenal betul dengan desain mobil ini, sebelum Bae menebak si pengendara, sepersekian detik Yasa membuka jendela, sadar bahwa laki-laki di bangku pengemudi itu ia ceritakan pada Luan Hong sebelumnya. Pria tua itu segera menekan tombol membuka pagar otomatis, mempersilakan masuk sambil membawa kuda besinya.
Tidak peduli Yasa hentikan di mana mobilnya, yang penting berada di depan teras rumah. Pemuda vest merah beranjak keluar, membanting pintu saking tergesa-gesa. Syukurlah pintu tidak dikunci, dia bisa masuk tanpa meminta seseorang di dalam membukanya. Dalam kondisi Ruby seperti ini pasti tidak memungkinkan ia membuka pintu.
Tungkainya berlari menuju kamar Ruby, bahkan debaran jantung Yasa terus berpacu liar seimbang dengan kecepatan berlarinya. Yasa tidak tahu di mana kamar Ruby, tapi instingnya tepat. Saat membuka pintu, Yasa langsung menemukan gadis yang ia cari, ia masih meringkuk ketakutan.
Yasa berlari mendekap erat cewek yang tengah ketakutan menenggelamkan kepala di lipatan siku yang bertumpu atas lutut. Tiba-tiba Ruby merasakan seseorang melingkarkan kedua tangannya di pundak. Tangan gemetaran itu mencoba membelai halus rambut panjangnya.
“I am here for you. Don’t scared...”
Mata midnight blue reflek membelalak terkejut atas kehadiran seseorang berbisik dengan suara yang amat dia kenal. Lantas Ruby membalas melingkarkan kedua tangan ke punggung sang pemeluk.
Air bening tadinya mengumpul di pelupuk mata, lolos begitu saja. “Ya-Sa maaf. Gue tt-akut,” ucap Ruby terbata-bata.
Sebegitu sakitnya ya luka yang ia alami sampai menangis terisak. Tidak ada niat untuk bertanya mengapa. Pemuda bervest merah membiarkan Ruby menangis seinginnya tanpa ditanya apa pun. Waktu menenangkan diri habis sepuluh menit. Meski Ruby sudah berhenti menangis Yasa masih khawatir. Masa iya Ruby menangis separah ini karena cemburu. Alih-alih mereka berdua ingin berpindah ke atas ujung ranjang.
“Maaf Sa. Gue minta maaf...”
“Gue marah banget, diem dulu. Biarin gue yang ngomong dulu,” sambar Yasa pelan, nada bicara cowok itu lembut. “Gue hampir gila perjalanan kesini. Gue khawatir lo yang marah ke gue tiba-tiba nelepon sambil nangis. Jangan begini lagi, gue mohon, gue tersiksa Bi.”
Lagi-lagi hatinya lemah mendengarkan kepedulian seseorang padanya, apalagi seseorang itu adalah orang yang dirindukan. Sesekali Ruby menghadap atap kamar menggagalkan air matanya untuk jatuh.
“Yas. Seriusan gue minta maaf banget. Gue egois.” Ruby masih menatap tangan yang ia mainkan.
Kemudian Yasa mengangkat dagu cewek di hadapannya menggunakan telunjuk. Yasa menggelengkan kepala sambil tersenyum damai. “Mau mengelak pun lo udah ketahuan Bi. Lo ada hak untuk cemburu kok.”
“Iya! Gue very-very jealous, udah kayak lagunya mbak Olivia!”
Lantas Yasa terkekeh pelan mendengar suara kesal Ruby, bukannya takut, justru nada cewek itu menggemaskan.
“Seharusnya gue yang meminta maaf Bi. Gue langsung lepas kasa mata lo tanpa tau cerita dibaliknya. Tapi sekarang gue udah tau,” ujar Yasa mengalihkan topik. Kemudian tubuhnya merosot dari ranjang berlutut di depan Ruby. “Masih ingat kan dengan perkataan bahwa gue bisa menjilat sepatu lo? Sebagai permintaan maaf akan gue lakukan.”
Segera Ruby menjauh. Dahinya terlipat atas perlakuan cowok itu. “Kalau bukan karena lo juga gue pasti gak bisa masuk ekskul kendo. Lo nggak jilat kaki gue pun udah gue maafkan,” titah Ruby tegas.
Tak lama kemudian Yasa bangkit dari posisi berlutut, mengekori Ruby berjalan ke balkon kamar. Ribuan salju menyelimuti objek di bawah langit, meninggalkan taburan putih bersinggah pada negara Korea Selatan.
Udara dingin menerpa helaian rambut keduanya. Tidak sekali dua kali rambut Panjang Ruby menutupi muka. Begitu ia sampingkan ke pelipis Yasa menatap dirinya dengan kagum, binar matanya terlihat jelas, lantas dia tersenyum.
“Entah kenapa gue merasa gadis kecil itu mirip sama lo,” celetuk Yasa menopang dagu dengan siku yang ia letakkan di pagar balkon.
“Ckckck. Begitu kangennya lo sampai lihat itu cewek di diri gue. Gue juga penasaran apa dia baik-baik aja.” Kalimat terakhir itu bukan merujuk pada gadis kecil yang dibicarakan Yasa. Ruby juga heran kepada siapa dia penasaran dengan keadaan seseorang.
“Kayaknya perasaan gue ke gadis itu bukan sekedar khawatir, namun lebih. Gue suka sama dia.” Yasa mengatakan kalimatnya sambil menatap Ruby, keempat iris saling bertemu terpaku. Ruby masih belum mengerti kenapa Yasa mengatakan hal tersebut sambil menatap dirinya.
“Selamat tahun baru Ruby Hong.”
“Selamat tahun baru juga Sa.”
KAMU SEDANG MEMBACA
NEPENTHE✅
أدب الهواةRuby Hong, ditenggelamkan oleh luka yang tidak ia ketahui penyebabnya akibat amnesia ringan, hingga dia harus mencari jawaban sendiri. Sampai ketika Ruby berpindah sekolah, ia bertemu dengan Yasa Lawrence yang ternyata masa lalu nya berkaitan dengan...