“Nona Renata Keenan bidadari cantik sejagat nan ba—“
"Nggak."
“Apa sih orang gue belum ngomong,” omel Ruby melepaskan pelukannya ke lengan Renata.
Kemudian Renata menggantungkan tas di pundak. “Lo kan soulmate gue. Lo gak bisa matematika, gue juga, so don't expect too much ke gue buat ajarin lo.’
Kedua pemuda tersebut masih belum saja meninggalkan kelas sejak sepuluh menit yang lalu, melaksanakan ritual mengeluh alih-alih hilal ujian akhir semester pertama sudah diumumkan oleh wali kelas masing-masing sebelum pulang sekolah tadi.
Pertama kali ini di hidup Ruby mendapatkan syarat kenaikan kelas tidak masuk akal, alias pembunuhan berencana. Syaratnya adalah, nilai matematika wajib 90, itu pun minimalnya. Sial sekali, otak pas-pasan begini diberi cobaan berat.
"Gue cabut dulu dahh."
Ruby mengangguk, kemudian berpisah dengan sahabat. Ia pergi berkegiatan ekstrakurikuler kendo. Hari ini Nakamura sensei sudah kembali hadir, para anggota juga sudah berlatih seperti biasa. Tangan Ruby menggeser pintu kaca, kemudian membungkuk, memberi salam. Tidak lupa permintaan maafnya terhadap guru akibat keterlambatannya.
Tidak lama setelah mengganti baju kendo, Yasa menampakkan diri berisyarat mengajak cewek di depannya satu lawan satu. Perlawanan sengit dimulai. Yasa cukup terkesan pada Ruby, ia sudah jago bertahan dari serangan.
Sebelum waktu berakhir Nakamura sudah menepukkan tangan. Tanda untuk berkumpul saat ekstrakurikuler selesai. Tapi ini masih kurang setengah jam lagi, pria tua itu sudah mengumpulkan para murid.
Nakamura bertolak pinggang, memperhatikan semua muridnya. “Ini adalah pertemuan terakhir kita sebelum ujian akhir semester ganjil, setelah itu libur dan bertemu kalian lagi setelah naik kelas. Fokus terhadap ujian dan akhiri pertemuan hari ini. Ganbatte kudasai!”
“Hai' sensei—arigatou gozaimasu!”
Guru pelatih kendo berpamitan terlebih dahulu setelah membantu membereskan.
“Mau ikut ke base camp?” Yasa menawarkan Ruby di sela ia melipat seragam kendo.
“Iya tujuan gue emang mau ke sana setelah latihan.”
Setelah merapikan tas di punggung, kedua pemuda itu pergi ke base camp fourth musketeers. Tiba di sana menampakkan kehadiran Faza, Pandu, Nala dan Renata yang tadinya fokus ke buku, kemudian tertarik melihat seseorang membuka pintu. Tidak disangka mereka berempat belajar bersama sedari tadi.
“Gak perlu salah paham cinta. Gue minta diajarin Faza,” klarifikasi Nala tergupuh-gupuh atas kehadiran Ruby.”
“Nggak tanya. Gue tau lo bego,” jawaban Ruby cuek melewati tempat duduk Renata lalu pergi ke meja pojok dekat jendela.
“Tutup mulutmu orang syirik.”
“Heh tukang ngegas.” Ruby menyentak. Seseorang yang merasa menoleh ke arah Ruby menunjuk diri sendiri sambil memiringkan kepala. “Kalau merasa berarti itu lo.”
Faza berdecih.
“Ada gue buat dimintain tolong Bi.” Yasa menyela alih-alih menopang tangannya di meja dan sandaran kursi Ruby. Badannya membungkuk hampir menimpa tubuh cewek itu.
Kedua tangan refleks mendorong dada Yasa. Cowok itu hampir terhempas.
“Iya! Ajarin gue sampai nilai gue di atas sembilan puluh, awas aja kalau di bawah nilai KKM.” Ruby mengepalkan tangan pada Yasa berlagak mengancam. “Lagian ngapain sih om Gama bikin syarat gila gini,” gerutunya.
“Mau gue anterin protes?”
Seketika bergidik ngeri mengatakan kalimat apa yang diucapkannya barusan. Ruby menggeleng cepat seraya membuka buku matematika. Siap dihabiskan tuan muda Lawrence. Sebelum duduk mantap di depan gadis bermanik midnight blue, pria bersama perempuan berjas putih membuka pintu. Yasa kemudian berpusat pada kedua orang di depan pintu.
“Yasa kemarilah,” ajak Gama melambaikan tangan.
Cowok yang niatnya mengajari Ruby, belum sempat berpamitan. Punggungnya perlahan menghilang ditelan pintu berwarna abu-abu. Apa yang membuat Yasa berlari ke arah mereka sehingga tidak ada satu kalimat pun yang dikatakan.
Terasa perih di dada menjalar. Ruby menekan perasaan berusaha menghiraukan perasaan anehnya. Kemudian menatap buku. Untuk sementara ini dia belajar sendiri saja, toh juga ada Nala, si otak Einstein.
***
Lokasi tempat belajar Ruby kini berpindah ke perpustakaan. Meski hampir tengah malam, tempat itu masih dikerumuni banyak orang. Ia yakin siswa yang datang kemari pasti bersiap untuk ujian minggu depan.
Matanya dibohongi untuk membuka penuh padahal kepalanya terus mengangguk-angguk menggagalkan terjatuh tidur. Sepertinya ini sudah diambang batas. Sial, matanya tidak bisa terjaga. Ruby menyerah kemudian memilih untuk tidur di perpustakaan sampai pagi, kepalanya diambang jatuh.
Hampir saja terjedot jendela di depan. Tangan seseorang melindungi dahi Ruby sebelum ia terbentur. Untunglah seseorang cepat tanggap. Seketika arwah Ruby terbangun, serta kantuknya hilang.
Ruby tertarik menoleh. Dia Yasa. Tak sengaja mulut gadis berkemeja coksu berdecih menatap Yasa seraya mengalihkan pandangan ke luar jendela, hal itu membuat pikiran cowok di samping, berpikir ke mana-mana. Lalu Yasa menarik kursi di samping Ruby. Ia hendaklah mengajak untuk kembali asrama sepertinya mustahil, sekalinya Ruby menginginkan sesuatu pasti fokus mendapatkan hal tersebut. Tangan Yasa mengacung membawa papper bag dua gelas kopi.
Sogokan itu tidak mempan. Nafsunya tertutup rapat.
“Maaf. Sebagai gantinya gue bisa kok ngajarin sekarang juga.”
“Nggak perlu. Gue rasa belajar hari ini udah cukup. Tadi Faza sama Nala juga bantu.”
Sebelum meninggalkan tempat, lengan Ruby ditahan lembut.
“Setidaknya lo menerima kopi dari gue, nanti mubadzir kalau gak ada yang minum.” Yasa menggenggamkan segelas kopi untuk dibawa Ruby ke asrama.
“Makasih.”
***
“Ini darah siapa banyak banget di tong sampah, tisunya merah-merah.” Renata terkejut menatap tong sampah kamar asramanya di penuhi tisu bercak darah. Ia pikir ini darah bulanan.
Seseorang merapatkan diri. Kehadirannya membuat jantung Renata hampir terjatuh ke lantai melihat kedua lubang hidung Ruby tersumpal tisu.
“Bi. Lo mimisan sejak kapan?”
Nada bicara Renata menjadi serius.
“Jam enam tadi, ” jawab Ruby pelan. Wajahnya terlihat pucat.
Bayangkan saja sejak pengumuman ujian sampai hari minggu ini Ruby belajar nonstop. Kini dia berada di ambang batas. Ruby mengalami mimisan terparah. Pantas tisu bercak darah begitu banyak.
“Bi istirahat wajah lo udah kayak orang mau jadi mayat hidup. Lo udah lebih dari cukup buat persiapan ujian besok. Boleh banget ambisius tapi jangan berlebihan...”
Tangan Ruby terangkat lemas menepuk pundak Renata. “Santai ini belum seberapa.”
“Heh bahkan malaikat maut ogah tertarik sama lo geblek. Lo mau perjuangan lo sia-sia karena besoknya nge-drop gak bisa ikut ujian?” sambar Renata seraya menuntun perlahan agar Ruby terbaring di sofa. “Gue ambil es dulu. Sekalian mau titip tetangga buang sampah.”
Sepuluh menit usai Renata membawa kompresan es batu untuk dikompres bagian pangkal hidung agar memperlambat perdarahan. Syukurlah tidak ada pemberontakan, dia juga tidak memiliki tenaga untuk melawan.
“Untung fisik lo kuat nahan. Kalau lo pingsan di waktu gue masih tidur tadi gimana. Bisa jadi nangis darah gue.”
KAMU SEDANG MEMBACA
NEPENTHE✅
FanfictionRuby Hong, ditenggelamkan oleh luka yang tidak ia ketahui penyebabnya akibat amnesia ringan, hingga dia harus mencari jawaban sendiri. Sampai ketika Ruby berpindah sekolah, ia bertemu dengan Yasa Lawrence yang ternyata masa lalu nya berkaitan dengan...