Hari sudah menginjak tanggal 31 Desember, hari ini adalah puncak akhir tahun 2018, sudah seperti tradisi merayakan dengan memasak sesuatu dan menyalakan kembang api. Kedua gadis berumur 17 itu mengelilingi rak di supermarket, kemudian merambat ke kulkas berisi daging segar nampak menggugah selera. Keempat mata itu berbinar-binar seperti serigala menemukan makanannya.
Cukup banyak yang mereka ambil dalam keranjang. Troli besi hampir dipenuhi daging dan minuman bersoda. Dari mana mereka bisa membeli sebanyak itu jawabannya karena Luan Hong. Sebagai permintaan maaf kepada cucunya yang tidak bisa merayakan tahun baru kedua kalinya.
Pria tua itu harus melakukan perjalanan bisnis luar negeri. Sore nanti jadwal penerbangannya. Semakin lama di supermarket keinginan membeli makanan lain menjadi-jadi. Dengan berat hati Ruby dan Renata keluar dari supermarket sambil menenteng dua keresek penuh. Tidak mau hura-hura untuk perutnya.
Mampirlah mereka di cafe. Memesan kopi serta dessert untuk sarapan. Memang tadi pagi Ruby dan Renata baru bangun tidur langsung ingin ke supermarket tanpa makan pagi dulu. Tidak mau memenuhi tempat di sana, kedua gadis itu menyantap makanannya di dalam mobil.
“Shawn kau mau?” Tanya Ruby menyodorkan sesendok mille crepes matcha.
Pria di bangku kemudi lantas menoleh, melambaikan tangan tidak mau.
“Gue denger gengnya Danielle bakal reunian hari ini,” celetuk Renata.
Salah satu alis Ruby terangkat. “Kok lo tau? Sekongkolan ya?”
“Your eyes. Kalau gue sekongkolan kenapa gue disini. Gue kan intel—lo tau Hanna di kelas kita yang dempulan tepung itu?’
“Iya kenapa? Gue beberapa hari lalu mutualan ig bareng dia loh.”
“This, gue mau kasih tau. Betapa kagetnya gue tau Hanna satu geng sama Danielle kelas sembilan dulu. Lo kan dibully mereka pas kelas delapan, itu cewek belum join makanya gak tau bahwa lo dulu korban gengnya.” Nada bicara Renata begitu serius saat topik mulai mengarah di zaman mereka masih SMP, tangannya menggenggam erat Ruby.
Kemudian Ruby mengangguk cepat segera melepaskan genggaman Renata. “Lalu. Hubungan mereka reunian sama pengikut instagram apaan?”
“I tell you don’t open instastory Hanna today n tomorrow,” pintah Renata.
Selalu merasa terprotektif oleh Renata. Sahabatnya itu selalu menghindarkan Ruby teringat akan masa lalunya. Terkadang dia bangga dengan kemampuan layaknya intel, memang cocok cewek itu menjadi ketua OSIS Richvreiden.
“Oh ya kok nggak ngajak Nala sih.” Ruby mengalihkan topik karena teringat dengan adik kelasnya.
“Udah gue ajak kemarin katanya gak bisa. Mau persiapan kelas sebelas,” ucap tanpa menoleh, ia masih menatap bangunan yang terlewati.
“Edan. Gak lo, gak Nala. Sama-sama gercepnya.”
***
“Kamu benar berharap kakek cepat pergi ya.” Luan memasang tampang terluka sehabis Ruby heran pria tua hadapannya belum berangkat ke bandara.
Astaga, mulai alay lagi, Ruby memutar bola mata malas. “Nggak usah lebay, aku kan hanya tanya.”
Seketika Luan mengganti ekspresinya menjadi bahagia, tangan keriput menepuk lembut puncak rambut Ruby. “Kamu ini sangat cerewet ya.”
“Iya kakek. Ruby sedang jatuh cinta makanya cerewet,” sambar Renata jahil.
“Cocotmu pantas ditombak.”
Ramai tawaan menyeruak oleh nada dering handphone Renata. Terpatri nama kontak itu di layar hitam, Ruby paham akan itu, segera membawa sahabatnya ke kamar agar dia bisa menjawab panggilan suara dengan leluasa. Dia tidak mengucap sepatah kata ataupun menggubris lawan bicara sebelum berada di kamar
Percakapan tadi itu seperti iklan, hanya lewat saja.
“Ck!”
Renata mematikan teleponnya kesal hendak merebahkan badan.
“Kenapa lagi nyokap lo?”
Renata bangun kembali. “Nyokap gue suruh pulang hari ini. Cemen, pakai ancaman blokir semua kartu gue segala.”
“Positif thinking aja. Nyokap lo mau rayain tahun baru bareng putrinya,” jawab Ruby pelan.
“Apanya. Biasanya begini ngenalin pria brengsek ke gue lagi,” sahut Renata gumoh. “Tapi gue kasihan sama lo sendirian kedua kalinya,” lanjutnya.
Ruby bangun dari posisi tidur memegang tangan Renata erat, alih-alih menggeleng sembari menampilkan senyuman manisnya, hal itu membuat Renata sedikit tenang.
“Lebih kasihan seorang wanita yang melahirkan kita sendirian di rumah saat mereka ingin menghabiskan waktu bersama dengan putrinya, apalagi sekarang puncak tahun ini. Belum tentu tahun depan bisa seperti ini.” Ruby menatap pantulan diri di cermin besar tepat depan ranjang ia.
Gadis berambut pendek sadar mata ia telah panas, sepertinya dia akan menangis mendengar perkataan itu. Segera tangannya mengipasi mata lalu menghadap ke langit-langit.
“Tolong bantuin gue beberes ya. Biar cepet pulangnya.”
Akhirnya Renata mau memutuskan untuk pulang setelah tinggal di kediaman keluarga Hong seminggu lebih. Hatinya terasa berat harus memilih menemani sang sahabat atau menemani ibunda. Ruby meyakinkan Renata bahwa sahabat dia itu tidak apa-apa meski sendirian. Sebelum pergi siang tadi Renata ingat bahwa ada makanan yang banyak mereka beli.
Apa pun situasinya Ruby mengatakan tidak apa-apa agar Renata bisa pulang ke rumah dengan tenang. Ruby bisa memasak daging kemudian dibagikan ke tetangga atau meminta alamat Nala untuk mengirimkannya makanan.
Empat jam lagi pesawat korean air akan lepas landas ke Italia. Beberapa menit lalu Luan dan Ruby cukup berpamitan di depan teras rumah. Saat ini Ruby mengurung diri layak seorang introvert bermain game dalam laptop.
Saking fokus memelototi layar laptop, tubuhnya terperanjat dari kursi saat mendengar seseorang mendekati kamarnya. Padahal di rumah tidak ada orang selain penjaga gerbang yang tugasnya hanya di depan saja. Pikirannya berusaha positif, siapa tahu Luan Hong mengirimkan pembantu sementara untuk mengasuh dirinya.
Gagang pintu terdorong ke bawah, perlahan pintu cokelat terbuka lebar, terlihat Shawn berdiri di sana. Apa yang membuat ia kembali ke rumah? Padahal sepuluh menit lalu dia pergi.
“Saya lupa memberitahu anda nona. Saya dimintai tuan Luan untuk mengatakan ini pada anda—selama kami berada di Italia tolong handle akun Hong group sementara,” ucap Shawn bernada pelan tetapi tegas.
Mendengar gelagat bicaranya, Ruby hanya menurut kepada Pria muda yang sedang mengotak atik sosial medianya di laptop. Tanda panah laptop memicit aplikasi instagram.
Bola mata gadis tengah tergugu di atas kursi berpindah-pindah mengikuti gerak kursor. Shawn memencet status instagram di beranda, entah dia terpeleset atau sengaja, Ruby tidak tahu.
Baru saja tadi pagi Renata melarang Ruby untuk tidak melihat ig story Hanna, malah sekarang dia melihat jelas foto itu. Orang-orang familiar terlihat senang seperti tidak ada dosa, apa yang mereka lakukan di masa lalu.
Sangat kejam. Mereka berbahagia namun korbannya masihlah terjebak dalam mimpi buruk. Tak tahu sejak kapan cucuran peluh dingin mengalir pada pelipisnya. Matanya membelalak, bola mata Ruby bergetar ketakutan kemudian napasnya terengah-engah.
Salah satu tangan Ruby mencengkeram meja, lalu sebelahnya memegangi dahi. Kepalanya tertunduk tidak mau menatap layar 14 inci. Pria yang tadinya niat mengajari Ruby telah melarikan diri.
Air mata lolos melewat likuan pipi dengan mata yang masih dengan ketakutan, seluruh tubuh Ruby menjadi lemas, lututnya terjatuh ke lantai hendak merangkak di bawah meja. Ruby meringkuk memeluk lutut berusaha menenangkan diri, tapi justru degupan jantung layak memburu sesuatu menyerang tanpa ampun.
Tangan Ruby bergerak mengambil handphone yang tergeletak di meja atas kepalanya, tanpa dia menginginkan tersebut. Tubuhnya seolah bergerak sendiri. Terlintas seseorang yang ada di benaknya, Ruby berniat meminta tolong kepada Yasa—urung. Kepala kecil itu ditenggelamkan oleh lipatan siku bertumpu atas lutut, mempersilakan dengan ikhlas rasa trauma nya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEPENTHE✅
FanfictionRuby Hong, ditenggelamkan oleh luka yang tidak ia ketahui penyebabnya akibat amnesia ringan, hingga dia harus mencari jawaban sendiri. Sampai ketika Ruby berpindah sekolah, ia bertemu dengan Yasa Lawrence yang ternyata masa lalu nya berkaitan dengan...