Mr. Right For Now - 3.1 Kawin?

5.8K 1K 176
                                    


Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


Satu bulan kemudian, entah bagaimana caranya, aku sudah mengenakan baju pengantin dengan make up sederhana seperti permintaanku. Hanya baju pengantin yang aku ngotot harus seperti apa; gaun berwarna salem dengan kerah sweetheart. Aku mau memastikan dadaku yang ukurannya rata-rata ini mendapatkan support penuh dan tampak besar saat di foto untuk kepentingan masa depanku. Setidaknya ada hal yang kukenang dari pernikahan ini: gaunku yang cantik dan dadaku yang hampir menyentuh dagu.

Namun, sekarang aku tidak dapat berhenti memutar di kamar yang menjadi tempatku dirias. Ekata menyewakan semua orang kamar hotel agar dekat dengan gereja tempat kami melangsungkan pemberkatan sekaligus resepsi kecil-kecilan. Untuknya tidak ada penolakan dari pihak mana pun untuk hal ini karena kami berkeras dengan alasan biaya setelah pernikahan masih banyak, terutama dengan adanya Alma. Anak adalah alasan yang masuk akal untuk menghemat uang. Semua orang tahu itu.

"Lo bisa duduk bentar nggak, sih? Gue capek lihat lo muter-muter kayak gangsing." Sahabatku, atau orang yang baru saja aku dapuk menjadi sahabatku, Rena, mengomel dari atas ranjang. Aku tidak punya banyak teman setelah berita mengenai tukang tagih itu beredar ke circle-ku. Ternyata salah satu karyawan adalah teman dari temannya temanku (ribet 'kan?) dan karena itu beritanya cepat menyebar. Tidak ada satu pun dari mereka yang dapat kuhubungi untuk memberikan kabar pernikahanku. Dan karena aku tidak mau tampak menyedihkan hari ini karena tidak memiliki bridesmaid, aku menyeret Rena setelah banyak pertimbangan dan Ekata yang juga menyetujuinya.

"Boleh. Bukan aku yang mau pernikahannya nggak diumumin," kata Ekata waktu itu.

Rena bersorak riang untuk pernikahanku, tapi rahangnya langsung menggelinding di lantai saat tahu siapa pengantin prianya.

"Gimana kalau gue ternyata salah?" gumamku berulang kali.

Memakai gaun ini membuat pernikahanku sangat nyata. Sebulan kemarin aku menertawakan ajakan Ekata, tapi seminggu setelahnya aku harus menyerah karena teror berdatangan terus ke ponsel dan tempat kerjaku. Aku stres berat memikirkan cara membayarnya dan tawaran Ekata terlalu bagus untuk diabaikan.

Ekata mengurus pembayaran hutangku setelah mendengar persetujuan, tanpa membuat perjanjian hitam di atas putih. Dia hanya bilang "Kamu nggak mungkin kabur. Aku percaya kamu.". Dia tidak tahu saja aku hampir memesan tiket terbang satu arah ke kota mana pun untuk kabur dari tanggung jawab ini.

Ketiak dan tanganku berkeringat. Untung saja gaunku sleeveless. Aku tidak mau ada lingkaran basah di ketiak saat berfoto. Salah satu alasan aku memilih gaun ini. Aku tahu kelenjar keringatku tidak akan berhenti memproduksi cairan saat sedang panik. Skala panikku adalah 100 dari 10, jadi bisa dibayangkan keringatku sudah banjir, bukan lagi muncul di kulit.

Ketukan pintu tidak menghentikanku untuk terus berjalan mengelilingi ruangan. Berniat untuk membuat pola permanen pada karpet.

"Kenapa?"

Suara Ekata. Mataku langsung menyipit ke arah Rena yang mengangkat ponsel. "Gue harus laporan ke calon suami lo kalau lo lagi sekarat."

Ekata langsung masuk dan melihatku berdiri di dekat jendela. Matanya meneletiku dari atas kepala hingga kakiku lalu kembali ke atas untuk berhenti di mata. Dia melakukannya dengan lambat lalu berjalan ke dekatku. Jas berwarna salem, agar senada dengan gaunku, tersampir di lengannya. Warna senada juga ada di celana panjang serta dasi kupu-kupu yang rapi ada di lehernya.

Mr. Right For NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang