Mr. Right For Now - Part 25 - 7.2 Ekata Marah?

5.1K 694 91
                                    


Question of the day: mana yang lebih parah: dateng telat apa nggak tepatin janji?

Vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG, X, tiktok @akudadodado

Thank you :)

🌟

Aku menggigit lidahku yang lancang menceritakan hal memalukan yang tidak ada satu pun keluargaku ketahui. Aku tidak pernah menceritakan ini ke siapa pun. Sudah cukup memalukan diketahui dan ditertawakan oleh orang-orang yang mengaku temanku dulu. Aku tidak mau membuat orang lain tahu dan menjadikanku lelucon juga.

"Dulu waktu kuliah aku masih lebih berat dari ini. Bedanya masih dua puluh kilo kayaknya, ya? Mana tinggiku juga nggak seberapa, jadinya kelihatan bulet banget kayak bola bekel." Aku tertawa, tapi Ekata tidak mengatakan apa pun. Aku berdeham. "Terus dia salah satu dari sahabatku sewaktu kuliah. Kami deket banget. Akunya yang terlalu percaya diri banget juga karena kami keseringan bareng dan dia juga kalau ada apa-apa tawarinnya aku duluan." Yang akhirnya mengarah ke hal yang lebih jauh dari sekedar sahabat. Kami menjadi best friend with benefit. Menurut dia. Bagian ini aku merasa tidak perlu menceritakan ke siapa pun. Aku terlalu naif saat itu hingga menganggap kami lebih dari itu meski tidak ada komitmen yang terucap.

Mungkin karena aku juga baru pertama kali mendapatkan perhatian dari cowok ganteng yang memujiku dan kedekatan kami juga baru pertama kali aku dapatkan setelah semasa SMA kehidupan percintaanku kering kerontang. Rentetan pujian membuatku mudah membuka hati. Naif dan bodoh memang kadang-kadang susah untuk dibedakan kata orang-orang, tapi dalam kasusku sepertinya aku memborong keduanya.

I'm a fool. Dan aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama.

"Terus waktu ada temennya yang main PS di apartemennya Mark dia nanya kenapa aku di sana mulu. Aku dengan percaya dirinya bilang kalau aku nungguin Mark nembak aku doang secara official. Eh, Mark bilang di depan temennya kalau nggak pernah mikir kayak gitu."

I mean look at you. Lo nggak mikir kalau gue bakalan punya perasaan sama lo, kan? Hanyalah salah satu dari rangkaian kata bak kereta api yang membuatku sakit hati hingga beratku turun. Yang teman-teman cewekku katakan justru jauh lebih parah dari ini. Mereka yang tertawa saat mendengarnya pun seperti belati di telingaku. Menyayat di setiap ejekan. It was the worst experience ever. Soalnya aku terpaksa melaluinya sambil ikut tertawa di setiap ejekan, karena aku terlalu pengecut untuk keluar dari pertemanan itu.

Penampilan yang trendi dan memenuhi Standar kecantikan umum yang digadang-gadang di media sosial dan mereka ikuti dengan sepenuh hati mencekikku.

Namun, dengan cepat aku memaafkan mereka saat mereka melakukan satu hal baik. Hal yang memang seharusnya seorang teman lakukan. Aku kembali ke dalam lingkaran yang garisnya semu hanya untuk was-was kapan aku berada di luar garis lagi. It was exhausting at some point.

Mereka yang menghilang adalah senar terakhir untuk menjaga hubunganku yang rapuh dengan teman-temanku. Kalau ada yang bertanya apa tidak kesepian kehilangan teman banyak di saat yang bersamaan? Aku akan menjawab tidak. Mungkin keriuhan serta pesan di grup yang menghilang, tapi aku tidak dapat mengasosiasikan kesepian dengan kehilangan mereka. Sampai aku akhirnya menyadari kalau bersama mereka pun aku tetap merasakan kesepian di tengah kebisingan.

"Stay with me," kata Ekata saat menangkap aku tidak memerhatikan apa yang dia katakan barusan. Remasan pelan di tanganku menghentikan pikiranku yang sudah berkelana jauh ke beberapa tahun terakhir. "Semakin banyak alasan buat manfaatin aku kalau begitu. Dia nggak ada apa-apanya dibandingkan aku." Ekata menyombongkan dirinya dengan angkuh, tapi yang dikatakannya mau tidak mau harus aku akui.

Mr. Right For NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang