Mr. Right For Now - 1.2 Ajakan Nikah Kayak Beli Permen Di Warung

7.1K 1K 149
                                    



Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


Aku membiarkan Ekata untuk menjawab pertanyaan itu karena aku mau tahu dia akan berkata apa ke Kamal. Cowok itu melirikku lalu kembali ke Kamal. Panik menari-nari di sinar mata cowok itu lalu hilang di kedipan mata selanjutnya. "Gue bawa Alma karena nyokap pergi."

Kamal melongok ke dalam rumah, melihat ibunya menggendong bayi seperti ikon ban berwarna putih itu dengan selembar kain bermotif bunga. Satu tangan menggerakkan spatula, yang lainnya menyanggah beban bocah perempuan yang mengemut ibu jari. Wajah Kamal otomatis berubah masam melihat pemandangan itu. "Brengsek lo. Habis ini gue yang bakalan kena cecar disuruh nikah."

"Lo dan gue harus menderita berbarengan."

Kamal meninggalkanku dan langsung mendekati Ekata dan duduk di pangkuan cowok itu. Kedua kakinya yang mengenakan celana jeans hitam berada di satu sisi dan kedua tangannya tersampir di leher Ekata. "Kalau gitu, gue nikahin lo aja gimana?" tanya Kamal lembut yang membuatku merinding.

Tanpa berkedip, Ekata menjawab ajakan itu. Berbeda dengan tubuhnya yang tadi sedikit kaku saat berbicara denganku, dia sangat santai sekarang. Seperti ada tombol yang dipencet dan kepribadiannya langsung berubah total. "Boleh. Kita nikah di luar aja gimana?" Kedua tangan cowok itu kini berangkul pinggang Kamal yang masih berlagak kemayu.

Aku sudah melihat berbagai macam hal aneh yang mereka lakukan, termasuk ini, tapi aku tidak pernah terbiasa dengan pemandangan ini. Bisa dibayangkan dua orang pria dewasa; yang satu penuh tato di lengannya, dan yang lainnya penuh tindikan dan rambut cokelat terang yang diikat setengah. Bedan keduanya hampir sama tingginya, dengan otot-otot besar di tubuh mereka.

Orang-orang yang tidak mengenal mereka dan melihat hal ini akan benar-benar mengira kalau mereka berdua bersama. Karena semeyakinkan itu. Terutama dengan keduanya yang menatap satu sama lain dan senyum yang tersampir di bibir mereka.

Aku hanya dapat menggeleng lalu mengeluarkan ponsel dan memotret momen ini. Mungkin bisa aku gunakan nanti. Mereka mendengar bunyi kamera ponselku dan menoleh berbarengan. Bukannya melepas tangan mereka yang membelit satu sama lain, Ekata dan Kamal malah mendekatkan kepala mereka dan tersenyum ke arah kameraku.

"Nggak waras memang kalian berdua," ringisku. "Aku mau bantuin Tan—"

"Ibu," potong Kamal setelah menarik napas dari sela-sela giginya yang tertutup rapat. Aku memutar bola mata. Sudah beberapa tahun terakhir Kamal berusaha membujukku memanggil Tante dengan panggilan Ibu, tapi aku masih segan untuk mengucapkannya.

"Aku mau bantuin di dapur dulu."

"Dede nginep, kan?"

Aku menggeleng. "Enggak kayaknya. Besok kerja. Lebih dekat dari kosan juga."

Kamal melompat dari pangkuan Ekata. Mengekoriku yang sudah memasuki rumah. "Kenapa nggak nginep? Besok aku anterin ke kantor."

"Malu, ih."

"Bu, Dede malu sama aku katanya," rajuk cowok yang tampangnya lebih mirip rentenir yang datang ke kantorku ketimbang bermanja-manja dan mengadu seperti sekarang. Alma kini sudah berpindah ke pelukan Kamal yang langsung menggigit pipinya dengan bibir.

Dapur di rumah ini menyatu dengan ruang makan dan ruang keluarga. Konsepnya memang agar semua orang bisa saling mengobrol biarpun sedang melakukan kegiatan masing-masing. Warna di semua ruangan senada dan melengkapi satu sama lain. Di dapur, warna krem menjadi pilihan utama untuk counter top dan lemari bagian atas. Bagian bawah berwarna cokelat tua dari kayu ek. Untuk kitchen island pun warnanya serupa.

Sebelum memasuki area dapur, ada area ruang makan. Meja panjang untuk delapan orang yang berwarna cokelat tua dari kayu ek dengan kursi di sekelilingnya. Meja makan memang harus besar karena Rasya, abang dari Kamal, sudah menikah dan memiliki tiga anak dan satu lagi akan lahir dalam tiga bulan. Mereka suka datang untuk makan malam bersama setidaknya sebulan dua kali.

Lalu di sebelah pintu yang mengarah ke taman belakang, ada ruang keluarga dengan kursi berbentuk L berwarna abu-abu dan karpet besar di bawahnya. Dua single sofa berwarna krem berada di sisi kiri dan kanan sofa besar tadi untuk mengakomodir jika Rasya dan keluarganya datang. Tahu kan betapa anak-anak kecil itu suka sekali berebutan hal tidak penting, bahkan untuk menentukan siapa yang duduk di sofa dan siapa yang di karpet.

Di sisi tembok semua ruangan ada jendela besar sehingga lampu tidak perlu menyala di siang hari.

"Aku nggak ada bilang apa-apa."

"Kalian jangan ribut mulu, ah." Tante mematikan kompor. "Dede, tolong ambil mangkok besar buat taruh capcay."

Aku langsung bergerak ke counter top, tempat Tante biasa menaruh dinnerware yang dikoleksinya. Karena tubuhku tidak tinggi, iya tidak tinggi, bukan pendek, jadi aku perlu naik ke counter untuk mengambil barang-barang yang ada di lemari atas. "Yang bunga-bunga biru ini?" Aku menunjukkan mangkok poselain dengan gambar bunga yang tersebar di sepanjang sisinya.

"Iya, itu aja. Kamu hati-hati turunnya." Aku meletakkan mangkok dan sekaligus peralatan makan yang serupa ke atas konter dapur lalu melompat turun. "Yang lain juga datang? Atau Ekata aja?"

Kamal menggoyang Alma dalam gendongannya. "Harsa aja. Jesse sama Sada sibuk sama keluarganya."

Kesempatan itu tidak luput digunakan oleh Tante untuk mencecar Kamal. "Kamu makanya nikah juga, Kamal. Sudah kepala tiga, tapi pacar aja nggak punya."

Pacar emang nggak ada, tapi selingannya banyak, jawabku dalam hati. Alisku terangkat ke arah Kamal yang sadar kalau dia sudah salah memberikan jawaban. Kini wajahnya seperti habis menelan mangga muda.

"Padahal ada lho, Tante, yang deketin Bang Kamal. Kelihatannya juga baik-baik, tapi dia jual mahal banget." Aku melemparkan sedikit minyak yang langsung membakar semangat Tante untuk merepet seperti kereta ke arah Kamal yang melotot kepadaku. "Kasihan dicuekin terus sama Bang Kamal."

Satu pukulan pelan mendarat di tangan Kamal. "Nggak boleh kayak gitu ke perempuan. Kalau nggak suka, harus bilang langsung."

Kamal merengut, "Sahabat istrinya Jesse. Aku mau bilang juga nggak enak."

Aku menelan tawa yang hampir keluar dari bibirku. "Cemen," ejekku yang membaut mata cowok itu hampir keluar dari soketnya saking melotot terlalu lama.

"Sudah, sudah. Kamu panggil Ekata. Ibu tadi ada bikin bolu. Kita makan itu sambil ngopi." Tante mendorong Kamal keluar dari lingkungan dapur.

Kalimat itu membuatku sadar kalau Ekata ada di sini juga. Aku sempat melupakan keberadaan cowok itu.

13/3/23

Jahara, Ekata dilupain wkwkwk

Sama seperti cerita lainnya, cerita ini akan tamat di sini. Tapi kalau mau ekstranya, harus pencet bintang dan komen ya ges. Ini sekitar 40 Part. Bintang 1.6K dan Komen 600 per partnya. Jadi jangan lupa untuk komen dan pencet bintang. 

Cerita ini akan apdet setiap hari Jumat. Six Ways To Sunday (si bapak duda dua anak) hari Rabu.

BTW yang mau baca cerita Jessica sudah tamat ya di judul The honeymoon Is Over. Cerita lain yang sudah tamat dan masih lengkap di WPku juga ada Every Nook and Cranny, Love OR Whatnot, dan Rumpelgeist.

 Cerita lain yang sudah tamat dan masih lengkap di WPku juga ada Every Nook and Cranny, Love OR Whatnot, dan Rumpelgeist

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mr. Right For NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang