Tresna melepas sepatu hitam bertalinya dengan bantuan tumit dengan sedikit paksaan. Ia terlambat datang ke perjamuan makan malam rekan bisnis ayahnya karena acara Job & Faculty Fair hari kedua baru selesai jam 7 malam, tepat di waktu seharusnya ia sudah tiba di restoran. Langkahnya yang sedikit terburu-buru membuatnya sempat salah ruangan dan perlu mendapat teguran dari pelayan restoran karena ia memakai sepatu di ruangan tanpa alas kaki.
Saat pintu ruang makan terbuka, Tresna refleks mengucap salam dan membungkukkan badan sembari berujar, "Maaf, saya terlambat banget."
Semua mata dalam ruangan itu jelas langsung menatap lelaki berkaus hitam dengan kemeja garis-garis yang kancingnya dilepas semua sebagai luaran. Tangan-tangan yang memegang alat makan dan sedang mengiris daging panggang di atas piring sejenak berhenti untuk menyambut kedatangan Tresna.
"Ini, ya, yang namanya Tresna?" Seorang lelaki paruh baya berjanggut tipis meletakkan alat makannya dan berdiri menghampiri Tresna. "Masuk, Nak. Langsung makan, ya," ujar lelaki itu sambil memberi kode ke pelayan untuk menyajikan makanan milik Tresna.
"Pak Bagus?" Masih dengan posisi punggung yang sedikit menunduk, Tresna mengulurkan tangan pada lelaki berjanggut yang menyambutnya dengan hangat itu.
"Benar. Selamat datang, Tresna. Terima kasih karena sudah menyempatkan datang di sela kesibukanmu."
"Oh, saya nggak sibuk, Pak."
Pak Bagus tertawa. "Nggak apa-apa. Masih muda menyibukkan diri itu wajar. Bapakmu cerita banyak soal kesibukanmu. Ayo, duduk, duduk."
Tresna berjalan menuju bangku di sebelah kakak iparnya, Mas Pandu. "Udah dari tadi, ya, Mas?" bisiknya pada kakak iparnya.
"Lumayan. Pak Bagus dan keluarganya tepat waktu. Tadi, kita juga telat 15 menit."
"Dasar orang Indonesia," ledek Tresna yang dibalas dengan tendangan pelan dari Pandu.
"Pas sekali kamu datang pas kami lagi bahas kamu. Kapan wisuda, Tresna?"
Hampir saja Tresna tersedak dengan pertanyaan tiba-tiba dari Pak Bagus. Sebenarnya, bukan pertanyaan yang aneh apalagi tabu. Hanya saja, tiba-tiba menjadi pusat perhatian saat ia baru menghela napas justru membuatnya gagal bernapas. Acara pameran kampus sudah membuatnya cukup lelah berinteraksi dan ingin sebentar bersembunyi sebelum harus kembali bersosialisasi. Ya, salahnya sendiri. Tidak mungkin, kan, ia tidak jadi pusat perhatian setelah terlambat datang ke perjamuan?
Setelah menarik napas dan menelan air yang tersisa di kerongkongan, Tresna memasang senyum tersopannya. "Insyaa Allah, bulan September, Pak. Tiga bulan lagi."
"Oh, masih lama, ya?"
"Iya. Kebetulan selesai yudisiumnya setelah periode wisuda pertama. Jadi saya masuk ke periode kedua wisuda untuk program magister."
"Kalo gitu, kita rencanakan lamarannya dulu saja. Bagaimana?"
Kalimat Pak Bagus membuat seisi ruangan yang sudah mulai menyantap makanan kembali terdiam lagi. Entah apa yang ada di pikiran mereka, tetapi dalam pikiran Tresna, semua ini terjadi terlalu cepat. Tiba-tiba ia merasa panik dan berkeringat dingin. Tangannya menepuk paha kakak iparnya, meminta bantuan.
Pandu beradu tatap dengan Tresna, beralih ke Risma—kakak perempuan Tresna—dan kedua mertuanya yang juga memasang ekspresi penuh kekagetan. Tampaknya, semua terkejut dengan kalimat barusan, tetapi canggung dan bingung harus menanggapi seperti apa. Melihat Tresna yang sepertinya masih mencerna keterkejutannya, akhirnya Pandu mengambil alih.
"Masyaa Allah, hal baik memang perlu disegerakan, ya, Pak. Tapi, sepertinya Tresna dan Ayu perlu waktu untuk saling mengenal dulu." Pandu berpaling ke Tresna. "Kamu baru dateng tadi. Udah kenalan sama Ayu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love's Overdue ✔
RomanceTidak ada akhir bahagia untuk rasa yang selalu dipendam. Apalagi mengabaikan rasa yang hadir sejak pertama. Tidak ada akhir bahagia untuk rasa yang dipaksakan. Apalagi terpaksa karena takut pada kepastian. Tresna menyadari hal itu justru saat batas...