Manda memandangi senyum lebar milik sahabat semasa SMA-nya dari kejauhan. Dari puluhan, bahkan mungkin ratusan wisudawan program S2 dan S3 yang memenuhi lapangan Graha Widyatama, Universitas Nusantara Jaya, hanya satu sosok lelaki bertoga yang memenuhi pandangannya. Namun, Manda belum memiliki keberanian untuk menghampiri lelaki itu karena di sekelilingnya banyak keluarga, serta calon istri sang sahabat.
"Manda, nggak ke sana?"
Manda menoleh ke arah sumber suara. "Oh, belum. Aku .... Aku nungguin kamu, Han."
Hanan, yang menenteng jas putih di lengannya, tersenyum. Sepertinya, ia mengetahui bahwa kalimat yang diutarakan Manda hanyalah basa-basi untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Terlebih lagi, setelah ia tahu bahwa ada calon istri Tresna yang ikut berfoto bersama keluarga di seberang sana.
Lengan lelaki berkaos hitam dan bercelana putih itu merangkul pundak Manda. "Mau ke sana?" ujarnya sambil memberi penguatan pada Manda lewat tatapan mata yang penuh kepedulian.
Manda menunduk, tersenyum, dan mengangguk.
"Soal kamu yang mau balik ke luar negeri, udah kamu pikirin matang-matang, Man?" Hanan membuka topik sambil keduanya berjalan menuju kerumunan para wisudawan.
Lagi-lagi, Manda mengangguk. "Kalo terus di sini, aku takut semakin nggak bisa ngelepasin Tresna dan nggak mau bikin kamu harus catch up dengan emosiku yang lagi nggak baik ini. Kamu juga udah cukup kerepotan kalo anxiety-ku kambuh."
"Padahal, aku seneng bisa ada di samping kamu pas kamu lagi butuh, lho, Man."
"Makasih, ya, Han." Manda menghentikan langkahnya beberapa meter sebelum mereka sampai ke kerumunan yang dituju. "Hanan, kayak yang aku bilang kemarin. Selama aku balik ke sana dulu, aku nggak mengekang kamu. Kamu boleh jalan atau berhubungan sama siapa aja dan nggak harus nunggu aku. Aku tau, perasaan itu pasti ada batasnya. Sama kayak perasaanku ke sahabatku dan perasaanmu ke aku."
Hanan berdiri menghadap Manda dan memegang erat kedua bahu perempuan yang rambutnya dikepang ke samping itu. "Dan seperti yang aku bilang ke kamu juga, aku akan nunggu kamu sampai kamu sendiri yang kembali atau bener-bener ngelepas aku karena kamu merasa akan lebih bahagia sama orang lain."
"Aku nggak mau bikin kamu nunggu tanpa kepastian gini, Han. Aku nggak mau ngulangin kesalahan yang sama."
Hanan menggeleng. "Itu bukan kesalahan. Itu hanya pengalaman masa lalu yang bisa kita jadikan pelajaran untuk masa depan. Nggak ada yang salah soal rasa. Nggak ada juga namanya perasaan yang terlambat. Semua perasaan hadir pada saat yang tepat ngasih kita pelajaran tentang hidup."
Mata Manda berkaca-kaca mendengar kalimat itu. Ia tersenyum miris. "Tapi, yang kudapat emang soal semua yang terlambat, Han."
"Artinya, kamu nggak boleh mengabaikan segala hal yang muncul dari dalam hatimu, kan? Sekecil apa pun itu?"
"Dan semua pasti ada batasnya. Ada due date kayak kerjaan-kerjaan kita."
Hanan tertawa. "Ya, namanya hidup, pasti ada titik akhirnya. Perasaan juga. Tapi, kita masih punya pilihan buat nyiramin perasaan itu atau membiarkan semuanya mati gitu aja dan mencapai titik akhirnya."
"Gimana kalo kamu juga kayak Tresna? Nungguin aku, tapi pas aku udah sadar, perasaanmu ke aku udah—"
"Beda, dong." Hanan memotong kalimat Manda. "Apa perlu aku bilang sekali lagi kalo aku bakal nunggu kamu sampai kamu sendiri yang pergi dari aku?"
Manda terdiam. Benar. Bukan soal Tresna yang punya batas waktu akan perasaannya pada Manda, tetapi Manda-lah yang membuat Tresna mematikan semua itu. Manda-lah yang memberikan titik akhir bagi Tresna untuk menyirami perasaan yang selama ini dijaga agar tetap mekar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love's Overdue ✔
RomanceTidak ada akhir bahagia untuk rasa yang selalu dipendam. Apalagi mengabaikan rasa yang hadir sejak pertama. Tidak ada akhir bahagia untuk rasa yang dipaksakan. Apalagi terpaksa karena takut pada kepastian. Tresna menyadari hal itu justru saat batas...