Bohong kalau Tresna mengatakan dirinya baik-baik saja. Walau ia menyadari bahwa penolakan Manda adalah kenyataan yang perlu dihadapi sebagai risiko dari pernyataan cinta, tetap saja itu berat dan ia tidak ingin tenggelam dalam kegalauan sendiri. Walau kakak iparnya, Mas Pandu, sudah mengatakan bahwa Tresna perlu bersikap seperti laki-laki—sudah dapat kepastian di satu pihak, tinggal memberi kepastian ke pihak lainnya—lelaki penyuka biru dongker ini tidak yakin dengan langkah yang seharusnya ia ambil setelah ini.
Usai mendapatkan jawaban dari Manda, Tresna langsung bertolak dari daerah kampus yang cerah menuju mendung yang menyambutnya di depan rumah. Hanya saja, ia tidak langsung pulang ke rumah orang tuanya. Ia butuh waktu berpikir sendiri dan tidak ingin ditanya terkait apa pun oleh orang tuanya. Satu-satunya tempat yang akan memberi Tresna ruang untuk itu adalah tempat kakaknya, Risma, tinggal bersama suaminya.
"Kamu dari mana? Kenapa basah kuyup gini?" ujar Risma melihat adiknya dengan bibir gemetar hampir biru saat membukakan pintu rumah.
"Dingin, Kak."
"Sebentar." Risma masuk ke rumah dan masih membiarkan adiknya di depan pintu, lalu kembali membawa keset dan handuk. "Lepas baju kamu, pake handuk, langsung mandi. Nanti kusiapin baju di kamar belakang."
Tresna hanya mengangguk dan menuruti perintah kakaknya. Pikirannya sudah kosong. Bukannya ia mau hujan-hujanan, tetapi dirinya memang tidak bawa payung dan sudah terlalu malas untuk repot-repot beli payung saat dirinya turun dari bis kota dan hujan sudah menderas. Ia hanya berpikir untuk segera sampai ke rumah kakaknya, tiduran di kamar belakang, dan mengelola perasaannya yang tertolak.
Untungnya, Risma dan Pandu tidak serta merta menerobos ke kamar tamu dan membanjiri adik laki-laki mereka dengan beragam tanya. Keduanya menunggu, hingga malam esoknya Tresna yang lebih dulu menghampiri.
"Kamu mau kubuatin kopi? Atau air biasa aja?" tanya Risma yang langsung berdiri saat melihat adiknya menghampiri meja makan. Tadinya, Risma dan Pandu sedang berdiskusi apakah keduanya perlu menanyakan kondisi Tresna atau menunggu adik mereka itu bercerita saat ia mau.
Tentu saja ini bukan sekali dua kali Tresna kabur ke rumah kakaknya. Setiap kali ada hal berat yang ia rasakan atau perlu mendapat saran selain saran orang tua yang menurutnya sangat template, lelaki penyuka ice americano ini pasti mohon izin untuk menginap di rumah kakaknya.
Maka, Risma dan Pandu sudah biasa dengan kondisi Tresna dan membiarkan adiknya itu mengelola pikiran dan emosinya sendiri. Mereka akan maju ketika memang Tresna tidak keluar kamar seharian penuh atau kalaupun keluar kamar, ia masih tidak bisa diajak bicara setelah dua hari berselang.
Tawaran kopi dari Risma dijawab dengan anggukan oleh Tresna. Saat kakak perempuannya itu ke dapur untuk membuat kopi, ia menarik kursi dan duduk di hadapan kakak iparnya yang sedang menikmati teh pasca pulang kerja.
"Mas, kalo aku udah dapet kepastian tapi aku masih nggak yakin dengan kepastian yang akan aku kasih ke pihak satunya, gimana?" lirih Tresna dengan kepala yang ditundukkan.
Pandu mengangkat alis ketika mendengar pertanyaan tanpa konteks dari adiknya itu. Meskipun demikian, ia bisa paham ke arah mana pembicaraan yang ingin dibawa oleh Tresna. Tentu saja ini perihal perasaan dan perempuan. Panda tersenyum sekilas sebelum membalas pertanyaan adiknya itu. "Kenapa nggak yakin"
"Ya, gimana caranya bisa yakin kalo perasaannya nggak ada?"
"Belum ada. Bukan nggak ada."
Tresna mengangkat kepala. "Kenapa gitu?"
"Boleh Mas memperjelas konteksnya?"
Alis Tresna berkerut. Ia sedikit ragu, tetapi akhirnya mengangguk pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love's Overdue ✔
RomanceTidak ada akhir bahagia untuk rasa yang selalu dipendam. Apalagi mengabaikan rasa yang hadir sejak pertama. Tidak ada akhir bahagia untuk rasa yang dipaksakan. Apalagi terpaksa karena takut pada kepastian. Tresna menyadari hal itu justru saat batas...