Jika biasanya keluarga Pak Bagus yang berinisiatif mengunjungi kediaman keluarga Tresna, akhirnya, kali ini Tresna beserta keluarganya yang mengunjungi kediaman sahabat ayahnya itu. Tentu saja bukan sekadar untuk berbasa-basi dan makan bersama, lalu pulang. Akan tetapi, tujuan penyatuan dua keluarga sudah dibawa dalam genggaman.
"Akhirnya, Pak Dennis dan keluarga bisa mampir ke mari," sambut Pak Bagus setelah tamu-tamunya duduk di ruang tamu. "Maaf, ini istri sama anak saya masih beres-beres di dapur. Nanti kita makan bersama, ya."
Pak Dennis, ayah Tresna, tersenyum hingga kerutan di samping kedua matanya terlihat jelas. "Alhamdulillah, terima kasih. Maaf jadi merepotkan, ya, Pak. Ini sambil silaturahmi, sambil meneruskan maksud baik dari anak saya, Tresna."
Tresna yakin, semua orang di ruangan itu sudah tahu arti dari maksud baik yang terucap. Namun, tetap saja semua perlu dilisankan sebagai formalitas dua keluarga dan sebagai bukti bahwa tidak ada keterpaksaan atas keputusan yang diambilnya. Lelaki berbaju batik biru ini mengangguk setelah mendapat kode dari ayahnya. Ia yang sedari tadi duduk tegak, semakin menegakkan posisi duduknya dan menyatukan kedua tangan di pangkuan. Walau Pak Bagus sudah memberi tahu, tatanya mencuri pandang ke sekitar ruang tamu, tetapi tetap tidak menangkap sosok yang dicari.
"Sebelumnya, terima kasih karena Pak Bagus sudah menyambut baik keluarga kami. Sudah menyiapkan makanan juga padahal kami baru menginformasikan semalam. Semoga tidak merepotkan, ya, Pak." Tresna mengeluarkan jurus basa-basinya.
Pak Bagus tentu saja menggeleng. "Tugas kami memuliakan tamu yang datang. Apalagi tamu yang sangat diharapkan sejak lama."
Sebelumnya, Tresna memang menolak ketika keluarganya ingin berkunjung dan memenuhi keinginan Pak Bagus. Ia khawatir, jika semuanya belum pasti dan kunjungan mereka malah memberi harapan lebih, tentu hal tersebut bukan hal yang baik bagi dua keluarga. Berbeda dengan sekarang. Dirinya yang sudah yakin untuk melanjutkan proses bersama Ayu, akhirnya memberanikan diri menyampaikan keputusannya pada keluarga. Tentu saja sambutan keluarga sangat baik. Ia masih ingat raut bahagia dan terharu dari bundanya saat dirinya menyampaikan bahwa akan melamar Ayu.
Tresna juga menyepakati bahwa acara khitbah atau lamaran cukup dilakukan sederhana saja, sesederhana silaturahmi antar dua keluarga—Ayu pernah mengatakan hal serupa saat keduanya mengobrol lebih jauh setelah Tresna mengenalkan Ayu sebagai calon istri pada Hanan dan Manda. Ia tidak ingin terlalu fokus pada keramaian dan keribetan tetek bengek lamaran seperti yang dilakukan teman-teman sebayanya—pakai seserahan, mengundang banyak orang, dan semacamnya. Tresna ingin lebih menjaga proses ini.
"Iya, ya, Pak. Mohon maaf jika kami, khususnya saya, terlalu lama mengulur waktu untuk melanjutkan proses baik ini. Terkait akan hal itu, mungkin langsung saya sampaikan saja, ya, Pak." Tresna menarik napas dalam, menunduk untuk mengatur kata-kata yang sebenarnya sudah ia uji cobakan semalam, dan mencoba menarik kedua ujung bibirnya agar bisa tersenyum. "Saya ... Saya mohon izin untuk melamar anak Bapak, Asma Ayu Arunika, untuk menjadi istri saya. Insyaa Allah, dunia dan akhirat."
Kalau saja para manusia di ruang tamu itu benar-benar mendengarkan Tresna dengan seksama, mereka akan dapat merasakan getaran dari suara lelaki dengan tahi lalat di bawah mata kiri itu. Kalimatnya yang sedikit terbata-bata di awal menunjukkan kecanggungan lelaki itu saat ia akhirnya berhasil mengambil salah satu pilihan terpenting dalam hidupnya.
Menikah.
Sebelumnya, Tresna tidak pernah membayangkan bahwa ia akan bersanding dengan perempuan selain sahabat SMA-nya, Manda. Bayangan masa depannya sudah terlalu penuh diisi oleh bayangan masa depan bersama Manda. Namun, semakin dewasa, Tresna semakin menyadari bahwa memang tidak ada yang pasti dalam kehidupan, termasuk perihal jodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love's Overdue ✔
RomanceTidak ada akhir bahagia untuk rasa yang selalu dipendam. Apalagi mengabaikan rasa yang hadir sejak pertama. Tidak ada akhir bahagia untuk rasa yang dipaksakan. Apalagi terpaksa karena takut pada kepastian. Tresna menyadari hal itu justru saat batas...