Duduk di tangga amfiteater belakang perpustakaan utama kampus menjadi kegiatan utama Tresna hari ini. Setidaknya, ia keluar dan menghirup udara segar untuk menyegarkan pikiran dari segala jenis pertimbangan yang memusingkan. Saran-saran dari Mas Pandu kemarin sukses membuatnya semakin susah tidur karena mempertimbangkan banyak hal.
Di satu sisi, Tresna setuju kalau ia ingin kepastian, menyampaikan perasaannya pada Manda adalah jalannya. Namun, bagaimana jika Manda menganggapnya bercanda seperti yang sudah-sudah? Mungkin Manda memang tidak melihatnya sebagai laki-laki yang bisa dijadikan pasangan karena selama mereka bersahabat, Tresna lebih banyak bergurau dan menjaga Manda diam-diam. Manda bukanlah perempuan yang manja dan ceroboh sehingga harus terus diperhatikan segala tingkah lakunya. Manda yang berani menentang, suka keributan, tetapi juga juara kelas, tidak memerlukan penjagaan dirinya.
Siapa dia?
Terlebih lagi, prinsip Manda yang tidak ingin berpacaran dengan sahabat sendiri. Hanya, kata Mas Pandu, apakah tidak ingin berpacaran dengan sahabat sendiri sama artinya dengan tidak ingin menikah dengan sahabat sendiri? Bukankah karena sudah bersahabat seharusnya mereka bisa menjadi pasangan yang lebih saling memahami dan mengerti karakter masing-masing?
Di sisi lain, kalau Tresna memilih untuk mengungkapkan perasaannya, artinya ia harus siap dengan segala konsekuensi, termasuk penolakan.
"Kalau ditolak, ya, lanjut ke perjodohan."
Mas Pandu bisa mengatakannya seringan itu. Namun, Tresna belum bisa menganggap enteng pilihan yang diberi. Menikah bukanlah perkara sepele. Bukan juga perkara karena ditolak seseorang, maka tinggal menjalin hubungan dengan orang lain yang siap. Tidak salah memang, tetapi hati nuraninya masih menolak untuk menerima.
"Kayaknya, emang gue yang bikin ribet sendiri," gumam Tresna sambil menyeruput ice americano yang ia beli di kafe dekat fakultasnya.
Sambil mengembuskan napas panjang, Tresna mengedarkan pandangannya ke seluruh bagian amfiteater. Banyak mahasiswa yang duduk-duduk sambil membuka laptop, asyik dengan jemari yang menari di atas keyboard. Ada pula yang memakai earphone dan membaca buku, serta sekelompok mahasiswa yang asyik mengobrol dengan memegang minuman masing-masing.
"Yah, masa-masa kuliah emang asyik buat hang out sama temen-teman. Bentar lagi realita jadi makanan sehari-hari pasca lulus." Tresna mengobrol dengan dirinya sendiri.
Setelah lama duduk bersila, laki-laki dengan jaket dan celana jeans itu meluruskan kakinya ke tingkatan tangga yang lebih rendah. Ia meregangkan kedua lengannya ke belakang, lalu menatap langit yang mulai menggelap. Mendung. Tampaknya, setelah berhari-hari panas terik, hari ini akan hujan.
Saat menurunkan titik pandangnya, Tresna melihat seorang lelaki dengan postur tubuh yang ia kenal sedang berjalan dengan memegang papan jalan. Tatapan lelaki itu berfokus pada kertas-kertas yang dibolak-balikkan di papan jalan dan beberapa kali menggerakkan pena di atas kertas.
Panggil, enggak. Panggil, enggak. Kalo dipanggil, kita bisa ngobrol dan gue bisa nanyain hal kemarin. Kalo enggak, ya, gue nyesel nggak, ya?
Konflik batin Tresna pun diakhiri dengan lisannya yang memanggil sosok itu dengan lantang. "Hanan!"
Si pemilik nama menengok dari kejauhan. Tresna melambaikan tangannya sambil membaca situasi, apakah Hanan sibuk dan akan berlalu begitu saja sehingga ia yang perlu menghampiri atau Hanan akan menghampirinya sendiri?
"Oh, ngapain lo, Res?" sahut Hanan dengan teriakan juga.
"Lagi mikir. Kalo lo lagi mau mikir juga, sini."
Ternyata, laki-laki yang membawa papan jalan itu dengan segera menghampiri Tresna dan duduk di sebelahnya.
"Masih sibuk aja?" tanya Tresna sambil mencuri pandang ke kertas-kertas yang ada di papan jalan milik Hanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love's Overdue ✔
RomanceTidak ada akhir bahagia untuk rasa yang selalu dipendam. Apalagi mengabaikan rasa yang hadir sejak pertama. Tidak ada akhir bahagia untuk rasa yang dipaksakan. Apalagi terpaksa karena takut pada kepastian. Tresna menyadari hal itu justru saat batas...