Jika biasanya dua sahabat yang lama tak bertemu akan banyak berbincang panjang, Tresna dan Manda justru kebalikannya. Sudah hampir 15 menit berlalu dan keduanya hanya mengaduk minuman masing-masing dengan canggung, saling bertanya apakah butuh gula tambahan atau tidak, dan tetap diam dengan menyeruput minuman masing-masing. Saat roti pesanan keduanya datang pun, dua sahabat ini hanya bertukar pendapat soal enak atau tidak, suka atau tidak, lalu kembali diam.
Tresna sendiri bingung harus memulai dari mana. Apakah ia harus mulai dengan memberi pernyataan bahwa dirinya akan berbicara serius dan tidak ada lagi gurauan yang akan terlontar hari ini? Atau haruskah ia menunggu Manda yang mengangkat topik lebih dulu? Hanya saja, rasanya kurang pas jika ia harus menunggu Manda. Toh, yang mengajak bertemu, kan, dirinya sendiri. Dengan penuh percaya diri, yakin akan membahas hal serius bersama Manda.
Ah, tapi mengapa memulai itu sulit?
Jantung Tresna sudah berdebar cepat jauh sebelum ia sampai ke kafe tempat keduanya bertemu. Ia beruntung saat sampai, belum ada tanda-tanda kehadiran Manda sehingga dirinya bisa menenangkan jantungnya terlebih dulu. Namun, kedatangan Manda kembali membuat jantungnya berdebar. Laki-laki berjaket navy ini kesulitan membedakan apakah ini debar karena rindu, karena suka, senang, atau justru takut yang menjadi tanda ia harus memilih antara fight or flight?
"Kayaknya dari tadi kamu bingung mau mulai. Perlu aku duluan yang tanya?" Akhirnya Manda tidak sabar untuk membuka obrolan ini. Wajar saja. Di sana ia sudah diam tanpa pembicaraan jelas dari Tresna.
"Oh, sorry. Gue emang bingung mau mulai dari mana."
Manda menghela napas panjang. "Kalo gitu, mungkin aku yang mulai dulu. Nggak apa-apa?"
Tresna menatap sahabatnya itu dengan sayu. "Gue nggak minta lo buat cerita soal pertanyaan waktu itu. Gue nggak mau lo malah nginget hal buruk karena kekepoan gue atas menghilangnya lo beberapa tahun ini."
"At least, aku bisa cerita kalo itu ke kamu. Inget, kan, dari dulu kita selalu ngebagi keluh kesah kita? Dan aku bersyukur kamu selalu mau dengerin tanpa menghakimi aku."
Laki-laki yang memang dihantui rasa penasaran itu akhirnya mengedikkan bahunya dan mempersilakan Manda untuk memulai. Setidaknya, ia sudah menyatakan bahwa dirinya tidak memaksa sahabatnya untuk bercerita dan selama diam-diaman ini, memang Tresna-lah yang bingung untuk memulai percakapan.
"Kamu pasti inget gimana kondisi aku waktu kamu temuin di salah satu sudut wahana dulu." Manda memulai dengan berusaha membuat suaranya terdengar senormal mungkin. "Bajuku sobek nggak karuan dan ada luka di beberapa wajahku. Jujur, waktu aku liat kamu, aku seneng banget. Artinya, aku masih selamat. Masih bisa hidup setelah orang nggak bertanggung jawab itu berlaku seperti itu ke aku."
Tidak perlu dijelaskan, Tresna paham seluruh kata ganti itu yang disebutkan Manda. Tentu saja ia pun ingat kondisi Manda yang tak karuan saat ditemukan saat field trip kelas 12 SMA dulu. Baju dan celana sobek di beberapa tempat, seolah sahabatnya ini berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan agar dirinya tetap berbusana. Beberapa luka di lengan dan wajah. Bahkan setelah dicek oleh tim medis, ada darah yang keluar dari pelipis serta belakang kepalanya.
Awalnya, Tresna tidak mau menyimpulkan apa-apa. Namun, saat ia ingin menghampiri Manda, sahabatnya itu memalingkan wajah, memundurkan tubuh, dan tangan serta seluruh badannya gemetar hebat. Tidak hanya Tresna, tetapi reaksi Manda itu juga terlihat saat ada tim medis laki-laki, guru laki-laki, penjaga taman bermain laki-laki, bahkan ayahnya sendiri pun mendapat reaksi yang sama. Hanya pada perempuan lain Manda tidak bereaksi demikian.
Asumsi-asumsi bahwa Manda menjadi korban kekerasan dan pelecehan mulai tersebar. Saat itu, Tresna berusaha tidak mempercayai gosip dan asumsi yang beredar, hingga orang tua Manda mengizinkannya menjenguk sahabatnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love's Overdue ✔
RomanceTidak ada akhir bahagia untuk rasa yang selalu dipendam. Apalagi mengabaikan rasa yang hadir sejak pertama. Tidak ada akhir bahagia untuk rasa yang dipaksakan. Apalagi terpaksa karena takut pada kepastian. Tresna menyadari hal itu justru saat batas...