November 2014
Tinggal satu kelas terakhir yang perlu didatangi oleh para calon ketua OSIS untuk menyampaikan visi-misi dan meyakinkan para kelas 12 dalam proses kampanye akbar. Tresna, Manda, Hanan, dan pengurus OSIS kelas lainnya, kelas 10 maupun 11, hanya bisa menunggu di luar kelas selama calon ketua OSIS berseteru dengan kelas 12 di dalam. Mereka tidak diizinkan masuk, kecuali ada hal darurat yang berkaitan dengan bencana alam.
Dari empat kelas sebelumnya, Tresna mulai bisa memahami keseruan proses kampanye akbar. Tidak sekali dua kali ia mendengar teriakan dan bentakan dari dalam kelas. Mungkin memang ini menjadi ajang balas dendam dan menunjukkan senioritas kakak kelas tersebab saat orientasi sekolah dulu, aturan aneh terkait penampilan dan barang bawaan sudah tidak lagi diberlakukan.
"Gimana, seru, kan?" Manda tiba-tiba berbisik di telinga Tresna dan membuat lelaki berseragam putih abu itu hampir terloncat. "Kamu orangnya kagetan, ya."
"Ya, siapa yang enggak kaget kalo tiba-tiba ada bisikan makhluk halus di kuping?"
Manda memukul pundak Tresna.
"Manda, bisa-bisa lo menimbulkan luka mendalam di punggung gue kalo setiap gue ngomong digeplak terus."
Bukannya minta maaf, perempuan yang rambutnya dikepang ke belakang itu malah tertawa meledek.
Gurauan keduanya terpaksa harus berhenti karena suara panggilan dari dalam kelas membuat seluruh pengurus OSIS di luar mendadak tegang. Manda, sebagai ketua divisi acara, dan Helmi, perwakilan kelas 11, langsung membuka pintu kelas. Jantung Manda serasa hampir berhenti saat ia melihat di depannya ada salah satu calon ketua OSIS yang terserang asma.
"Inhaler! Inhaler!" teriak Manda pada pengurus OSIS lain.
Mereka sudah mengantisipasi kejadian tersebut dan memang sudah dititipkan oleh Asma, calon ketua OSIS yang terserang asma, untuk berjaga-jaga dengan inhalernya jika saat beradu dengan kelas 12 penyakitnya kumat.
Tresna yang tidak ditugaskan apa-apa mengamati dari luar kelas sambil memegang pintu. Dahinya berkerut dan mulutnya tidak bisa terkatup karena ikut merasakan ketegangan yang ada di sana. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, kalau sudah tahu ada kemungkinan asma kumat, kenapa Asma memaksakan diri ikut adu mekanik dengan kelas 12? Lagi pula, apa yang dilakukan kelas 12 hingga asmanya Asma kumat?
Tresna menggelengkan kepalanya, merasa aneh karena nama kakak kelasnya itu sama dengan nama penyakit yang diderita. Namun, di tengah kegaduhan kampanye kelas, laki-laki yang memiliki tahi lalat di bawah mata kiri ini menatap perempuan dengan rambut kepang yang memangku Asma dan membantu calon ketua OSIS itu untuk kembali bernapas.
Raut wajah Manda yang tetap tenang, instruksinya yang diberikan dengan perlahan, dan tangan kecilnya yang terus mengelus pundak Asma, menyemangati agar calon ketua OSIS itu kembali mendapatkan ritme napasnya. Tanpa sadar, senyum terlukis di wajah Tresna.
"Bisa-bisanya lagi panik, lo malah senyum? Mikirin apa, lo?"
Tresna lupa kalau Hanan berdiri di daun pintu sebelahnya. "Siapa yang senyum? Salah liat kali lo."
Hanan terkekeh. "Manda keren, ya."
Tentu saja pernyataan itu tidak bisa ditolak. Manda memang keren sejak pertama kali Tresna mengenalnya. Kejadian hari ini membuat Tresna semakin tertarik untuk mengenal perempuan yang kini selalu pulang-pergi ke sekolah bersamanya naik bis.
"Lo anak PMR?" tanya Tresna setelah situasi mulai mereda. Asma sudah kembali normal, tetapi rekan-rekan OSIS memintanya untuk tetap ke UKS agar bisa memastikan kestabilan kondisi dan emosinya.
"Papaku dokter. Aku udah khatam sama hal-hal P3K kayak gini."
"Nyombong, nih, ceritanya?"
Manda tertawa kecil. "Sebenernya cuma ngejawab pertanyaanmu aja. Tapi kalau itu bikin kamu sebel, anggep aja aku nyombong."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love's Overdue ✔
RomanceTidak ada akhir bahagia untuk rasa yang selalu dipendam. Apalagi mengabaikan rasa yang hadir sejak pertama. Tidak ada akhir bahagia untuk rasa yang dipaksakan. Apalagi terpaksa karena takut pada kepastian. Tresna menyadari hal itu justru saat batas...