Manda memeluk kedua dengkulnya yang ia lipat di depan dada. Matanya menatap ke langit melalui jendela kamar kos. Langit sedang cerah, tetapi tidak dengan hatinya. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada pikiran dan perasaannya yang terus menerus memutar memori bersama Tresna semasa SMA.
Ternyata, dari dulu Tresna emang peduli. Tapi, bukannya sahabat emang gitu? Nggak mungkin, kan, Tresna punya rasa sejak dulu? Lagian, aku juga sering pacaran sama cowok lain dan Tresna baik-baik saja.
Namun, Manda kemudian ingat bahwa setiap kali dirinya menjalin hubungan baru dengan laki-laki baru, wajah Tresna selalu berubah muram. Ia pikir, kemuraman dari wajah Tresna adalah bentuk respons skeptis sahabatnya itu terhadap hubungan yang ia jalin.
"Nanti putus lagi, lo sakit hati lagi?" sindir Tresna saat Manda mengenalkan pacar barunya di SMA dulu.
"Itu urusan nanti. Namanya juga coba-coba buat ngenal berbagai macam karakter cowok," jawab Manda ringan.
Saat itu, Tresna pernah menatap Manda dengan tajam sembari memegang kedua pundaknya. "Manda, jangan main-main sama hubungan, sama perasaan. Kalo lo yang malah dimainin, lo yang bakal sakit."
"Karena aku tau aku lagi main-main, jadi nggak bakal sakit, Res. Santai aja."
"Gimana kalo di antara cowok yang jadi pacar lo ada yang beneran suka sama lo? Kalo lo putusin dia dan bikin dia sakit hati, apa lo nggak takut di masa depan malah lo yang ada di posisi itu?"
Saat itu, Manda hanya tertawa dengan rasa khawatir Tresna yang berlebihan. "Tenang. Aman terkendali, Res."
Mungkin, kata-kata Tresna saat itu menjadi nyata. Kini, sepertinya Manda memang sedang berada di posisi yang disebut sahabatnya itu. Meski saat ini, bukan orang lain yang mempermainkan perasaannya, melainkan perasaannya sendirilah yang mempermainkan dirinya.
Bisa-bisanya Manda terus berandai-andai tentang kemungkinan jika ia tidak menolak Tresna. Bisa-bisanya Manda terus menyebut jika tentang hubungannya dengan Tresna dan juga Hanan. Manda tidak tahu kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaannya. Ia hanya tahu bahwa pikirannya terus mengulang skenario di kafe—saat ia bertemu Tresna berdua terakhir kali—dan bermain dengan skenario jika ia tidak bersama Hanan, apakah calon istri Tresna adalah dirinya?
Perandaian Manda buyar saat ponsel perempuan dengan baju tidur berwarna merah muda itu berbunyi. Nama Hanan hadir di layar ponselnya.
"Oh, ya, sebentar. Aku keluar."
Kedatangan Hanan ke kos Manda bukanlah suatu hal yang aneh. Apalagi dengan kondisi Manda yang sedang kurang sehat. Hanya saja, perhatian pacarnya itu justru kembali membuat dadanya sesak. Bukankah ia seharusnya bersyukur karena memiliki pacar yang begitu perhatian? Mengapa ia tidak bisa fokus pada saat ini saja dan masih terbayang-bayang dengan Tresna?
"Gimana, Man? Udah baikan?" sapa Hanan saat Manda menghampirinya di teras kos.
Bukannya menjawab, Manda malah meletakkan kepalanya di dada Hanan. "Maafin aku, Han," lirihnya pelan dan tiba-tiba saja air matanya sudah tak terbendung lagi.
Hanan pun membantu Manda untuk duduk di salah satu kursi teras. Laki-laki itu tidak berbicara sepatah kata pun selama Manda menangis dan hanya mengelus, serta menepuk pelan pundak pacarnya itu.
Manda sebenarnya beruntung memiliki pacar yang sabar menunggunya menyelesaikan tangisan. Apalagi ia sudah menangis hampir 15 menit. Ia berusaha mengatur napas dan menghentikan tangisannya setelah menyadari bahwa sepertinya, kaos Hanan basah kuyup karena air matanya.
"Maafin aku, ya, Han." Manda mengulangi permintaan maafnya.
Hanan mengelus pelan rambut Manda yang terurai. "Emang kamu salah apa sampe minta maaf terus gitu?" tanya Hanan lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love's Overdue ✔
RomanceTidak ada akhir bahagia untuk rasa yang selalu dipendam. Apalagi mengabaikan rasa yang hadir sejak pertama. Tidak ada akhir bahagia untuk rasa yang dipaksakan. Apalagi terpaksa karena takut pada kepastian. Tresna menyadari hal itu justru saat batas...