Tidak ada yang menarik dari langit-langit kamar yang sedari bangun dipandangi oleh Tresna. Efek mahasiswa yang tinggal menanti wisuda, ia belum ada kegiatan apa pun untuk dilakukan selain menunggu tanggal wisuda tiba. Mungkin inilah mengapa banyak yang bilang agar selalu mengisi waktu luang dengan kegiatan-kegiatan berfaedah, supaya tidak terjebak dalam pikiran berlebihan seperti yang sedang Tresna lakukan.
Beberapa kali lelaki dengan celana pendek bermotif batik Pekalongan itu melempar-tangkap bola kasti dengan tetap dalam posisi telentang. Bibirnya maju beberapa senti seperti bebek, dahinya terus berkerut seolah tak bisa diluweskan. Setiap jeda dari melempar bola kasti, Tresna menghela napas panjang nan berat dari mulutnya. Matanya melirik jam dinding di samping kiri, lalu menggumam, "Dari tadi masih jam 2 aja."
Jam dua dini hari, Tresna masih belum bisa memejamkan mata. Merasa tidak ada kewajiban untuk bangun pagi—selain untuk salat subuh—ia membiarkan dirinya terlarut dalam heningnya malam dan riuhnya pikiran. Barulah setelah tangannya pegal karena terus bermain dengan bola kasti di udara, ia meletakkan lengannya ke kasur, memiringkan badan ke kanan, mengatur napas perlahan, dan akhirnya berusaha untuk terpejam.
Entah dunia berpihak pada Tresna atau tidak, keinginannya untuk tidak beristirahat seperti terwujud. Ingatan tentang tragedi field trip beberapa tahun lalu yang membuat Manda harus pergi jauh darinya, untuk pertama kali, berkunjung dalam mimpi.
Pemandangan yang Tresna lihat adalah taman bermain dengan berbagai wahana di sekitar. Pohon-pohon yang rindang, paving block yang berwarna-warni sebagai pijakan kaki, serta perempuan berkucir kuda yang tengah berlari di depannya.
"Tresna! Ayo, foto dulu!" teriak perempuan itu.
Tresna tersenyum dan menghampiri Manda, si perempuan berkucir kuda. Keduanya berpose di depan wahana roller coaster dan jempol Manda menekan sebuah tombol yang berfungsi untuk menangkap gambar mereka. Beberapa kali kedua sahabat itu berganti pose dan berakhir di antrean untuk naik wahana roller coaster.
"Lo bukannya takut ketinggian, Man?" tanya Tresna yang bersedekap di belakang Manda.
"Takut, sih. Tapi, ini beda."
"Bedanya?"
"Ada pengamannya. Udah jelas nggak bakal jatuh."
Tresna mengangguk-angguk. Biasanya, Manda mencengkeram lengan Tresna dengan sangat kuat kalau harus naik eskalator ke lantai tiga. Ketakutan perempuan itu terhadap ketinggian dimulai di lantai tiga dari segala bangunan yang didatangi. Mungkin karena roller coaster dimulai dari 'lantai 1' dan terus naik dengan kondisi pengaman menjaga erat penumpangnya, rasa takut itu tidak hadir dalam diri Manda.
"Lagian, ada kamu juga. Jadi, aku pasti aman."
Pernyataan itu tidak salah. Manda dan Tresna menaiki wahana roller coaster dengan aman tanpa kurang apa pun. Tresna yang sudah mengenal keluarga Manda ini sering dititipkan untuk menjaga Manda yang petakilan. Titip menitip ini sudah mulai terjadi sejak keduanya sering pulang bersama naik bis.
Hanya saja, tragedi itu terjadi saat Tresna meninggalkan Manda sejenak ke toilet. Tres keluar dari toilet dan tidak melihat Manda menunggu di tempat keduanya berpisah. Tresna menghubungi ponsel Manda, tetapi tidak ada jawaban. Ia pun menghubungi guru-guru dan beberapa teman untuk mengabarinya jika melihat Manda. Sayangnya, sampai petang, Manda masih tidak terlihat batang hidungnya.
Tepat ketika Tresna menemukan Manda, Tresna kembali ke realita.
Mimpi barusan begitu nyata. Seolah mengulang kembali ingatan menyakitkan yang tampaknya ingin Tresna hapus dari memorinya. Tubuhnya basah kuyup karena keringat, jantungnya pun berdebar cepat seolah habis berlari sprint di lintasan lari. Sayup-sayup telinganya mendengar suara alarm yang berbunyi dan menunjukkan bahwa sudah waktunya salat subuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love's Overdue ✔
RomanceTidak ada akhir bahagia untuk rasa yang selalu dipendam. Apalagi mengabaikan rasa yang hadir sejak pertama. Tidak ada akhir bahagia untuk rasa yang dipaksakan. Apalagi terpaksa karena takut pada kepastian. Tresna menyadari hal itu justru saat batas...