20.

18.3K 2.5K 63
                                    

Pagi yang cerah...




















Vano berada di atas bukit di belakang Mansion pamannya. Karena letak Mansion tersebut berada dataran paling tinggi maka gampang sekali untuk Vano berlari ke sini.

Vano tengah duduk dengan wajah bertumpu pada kedua lengannya. Kedua kakinya tertekuk. Vano menatap luas hamparan bangunan dan perumahan sejauh matanya memandang.

Angin sepoy sepoy yang membuat udara sejuk dari panasnya matahari siang.

"Sagara.. Gw tetep jadi orang egois." Vano bergumam. Dia mengeratkan pegangan tangannya di lengan atas. "Gw takut.. Gw takut di remehin Gara. Gw ga mau di kasihani. Gw butuh lo." Vano membiarkan air matanya mengalir sendirinya.

"Gw ga bisa terima. Kejadian di luar ini sampai kapanpun. Gw rindu lo, gw pengen pulang."

"Gw juga rindu ayah sama ibu. Mereka ingat ga ya sama gw?" Vano terkekeh. Kedua orang tuanya memiliki kehidupan masing masing, mana mungkin mereka ingat padanya.

Kehidupannya menyedihkan. Jika dia Vano, maka dia adalah sosok yang ingin kuat. Ingin memberitahu pasa semua orang bahwa dia bisa hidup tanpa kedua orang tuanya. Ingin membuktikan pada ayah ibunya, bahwa masa depannya cerah tanpa campur tangan mereka.

Tak gampang menyembunyikan perasaannya yang asli. Dia harus menahan tangis dengan sikap yang tak tau aturan.

Lalu jika ia Stevano, kehidupannya lebih menyedihkan. Perlakukan keluarga Stevano membuat Vano terkadang ingin menyerah.

Tatapan penuh hina yang jarang dia dapat saat menjadi Vano, perlakuan yang tak adil yang juga jarang di dapatkan oleh Vano.

Tak ayal, dia kadang mendapatkan kekerasan fisik untuk sesuatu yang tidak dia perbuat. Itu sebabnya dia benci Alfa. Dia tak semena mena membenci seseorang.

Dia bersyukur bisa menjauh dari keluarga itu. Karena jika itu dirinya, ia akan pergi dari dunia. Dia Vano, bukan Stevano. Vano tak sekuat Stevano.

Vano hanya tak ingin menceritakannya. Bagaimana kisah hidup Stevano yang jauh dari kata baik. Dia tak ingin mengingat sesuatu yang membuat hatinya berdenyut sakit.

Vano tak ingin di kenal lemah. Jadi, dia membawa kebiasaannya dulu. Kebiasaan dirinya menjadi tak tau aturan dan egois. Hanya untuk bertahan hidup.

Katakan dia salah. Tetapi, bayangkan jika seseorang menjadi dirinya. Apa orang itu akan kuat?  Karena yang tidak merasakan tak akan pernah tau sesakit apa yang dia rasakan.

"Gara, gw pengen pulang." Vano merebahkan tubuhnya di tebalnya rumput. Tubuhnya meringkuk dengan isakan tak tak bisa ia tahan.

Biarlah dia menangis hari ini. Katakan jika dia tengah lemah.

Vano melihat pergelangan tangannya. Terdapat sebuah luka disana.

Bohong jika dirinya mengatakan jika dia hanya main main. Karena sejujurnya, dia mencoba bunuh diri. Entah itu di sekolahan, ataupun di Canada saat dirinya melompat dari atas menuju kolam.

Menyakiti Alfa, menyakiti orang terdekat keluarganya. Itu bukanlah karena dirinya orang yang gampang emosi. Tetapi itu pancingan, itu adalah rencananya. Supaya keluarga William semakin membenci dirinya, termasuk kakek dan pamannya.

Dia ingin pergi tanpa penyesalan. Dia ingin pergi tanpa ada yang peduli hingga ia tak perlu memikirkan perasaan orang-orang yang peduli dengannya.

Sikap yang selama ini Vano tampilkan itu agar dia bisa menerima keadaan tanpa harus membenci kenyataan.

Dia tak ingin bertumpu pada siapapun. Dia tak ingin percaya pada apapun. Vano ingin hidup dimana dia tak membebani orang lain.

Namun kenyataannya hal itu sangat susah.


***


"Kak apa kabar." suara sapaan yang rianglah yang menyambut kedatangan Vano.

'Ayolah kenapa harus sekarang' batin Vano. Dia di kondisi tak ingin melakukan apapun karena emosinya yang tak stabil.

"Baik, tetapi menjadi buruk setelah ngeliat lo" jawabnya acuh. Dia menoleh dimana di sofa itu terdapat Kavin yang tengah berbincang dengan pamannya.  Alfa mengepalkan tangannya. Dia bergumam "Sialan."

Gumaman itu terdengar oleh Vano, tetapi dia  mengabaikan Alfa dan menuju Tom yang sedang berdiri seolah menunggunya. Vano melangkah ke arahnya, dan memeluk Tom m, "Tom, maafin gw."

Tom membalas pelukan sang tuna, "Lupakan itu. Anda dari mana saja tuan muda. Anda membuat saya khawatir." bisa Vano rasakan jika tubuh Tom bergetar.

Vano tersenyum tipis, sangat tipis. Dia tersenyum dengan air mata yang mengalir. Air mata yang bahagia di khawatirkan oleh Tom.

"Tom." dia memeluk Tom dengan erat. Hangatnya tubuh pria itu membuat dia ingat dekapan hangat Sagara.

Tom menyembunyikan wajah Vano. Dia tau, jika tuannya sedang terisak. Jadinya, dia membawa Vano ke atas tanpa di ketahui oleh Jarrel maupun Kavin.

"Tak apa. Semua baik baik saja." Tom menenangkan sang tuan. Dia mengelus penggung Vano yang bergetar.

Inilah alasan kenapa dia tak bisa marah pada Tuan kecilnnya. Alasan dia membentak sang tuan karena kejahilan yang dia lakukan tadi. Karena Vano menyangkut pautkan dengan kesehatan Tom.

Tom sangat khawatir, dia tak ingin terjadi apa apa dengan tuan kecilnya.

Namun dia kelewat marah sampai berani membentak.

"Gw lelah tom hiks, gw lelah terus berpura pura seolah gw baik baik saja. Gw pengen teriak, gw pengen melampiaskan segalanya. Tapi gw tak mampu, gw merasa gw yang lemah karena seperti ini saja gw tak sanggup. Gw capek terus terusan bersikap dan menutupi segala rasa sakit gw dengan topeng. Gw coba nutupin itu semua, tapi semakin hari rasa sakit lah yang malah terasa sangat nyata. Apa yang salah tom? Hikss.. Gw capek."  tubuh Vano meluruh di dekapan Tom.  Hatinya pedih ketika ayah 'Stevano' bahkan tak menoleh ke arahnya hanya untuk sekedar menyapa.

Padahal ini sudah lama sejak pertemuan terakhir Kavin dengan putranya. Seolah Stevano sama sekali tak pernah hidup atau bahkan bukanlah putranya.

Dia menumpahkan segala kesedihannya dihadapan Tom.

Tom tetap mengelus, kata yang selalu dia ucapkan hanya "Semua akan baik baik saja."  sembari mendekap erat tuan.
























Typo? Tandai..

Thanks.












Tbc.



Bad Antagonis. ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang