***
Satu demi satu foto lawas di galeri kupandangi.
Fotoku bersama dengan Mama di momen ulang tahun Oscar, foto saat kami bertiga berlibur ke rumah oma, foto kelulusan SMA Oscar, dan beberapa momen bahagia lain yang tertangkap oleh kamera Mama sudah selesai kupandangi.
Kemudian aku beralih membuka folder di sebelahnya.
Folder ini, kumpulan fotoku saat bersama Ansel.
Ada foto saat kami makan ayam penyet di depan kampus, foto partitur lagu baru Ansel, foto candid yang diambil Ansel saat kita janjian di burjo belakang gedung praktek teknik sipil, hingga foto saat aku dan Ansel berada di sebuah kebun teh saat liburan.
Kini semakin dekat dengan waktu kematianku, semakin aku menyadari sesuatu.
Masa-masa hidupku yang aku habiskan bersama Ansel merupakan saat yang penuh senyuman.
Walaupun hanya beberapa tahun, lebih banyak hari kuhabiskan dengan senyuman saat bersamanya.
"Senyum lo aja cerah bikin nagih gini, gak mungkin gue gak suka sama lo Sel," lirihku setelah puas memandangi setiap lekuk wajah Ansel yang tampak di layar ponselku.
Sekali lagi, sensasi sesak disertai setruman halus di tulang dadaku mulai menunjukkan eksistensinya.
Kutepuk pelan dada kiriku dengan harapan bisa mengurangi rasa sakitnya.
Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit, waktu berlalu secara perlahan.
Tidak terasa semburat kuning mulai muncul di ujung langit.
Hah.. lagi-lagi terjaga sampai pagi.
Cahaya cerah dari langit itu kemudian sedikit demi sedikit mulai merambat memasuki ruangan dimana aku terbaring.
"Udah ganti hari aja," aku bergumam lalu mencoba bergelung merapatkan selimut untuk tidur.
Mataku sudah terpejam, selimut sudah menutup badan hingga leherku, tapi tetap saja otak dan telingaku justru semakin aktif
Sudah dipastikan aku tidak akan bisa tidur lagi.
Bosan berada di dalam ruangan serba putih dengan layar monitor jantung yang berdenting tak berhenti, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di area taman rumah sakit.
Udara pagi masih begitu segar saat aku mulai berjalan di dekat deretan pohon dan tanaman yang rindang.
Warna biru dan jingga perlahan-lahan mulai berlomba untuk menguasai langit.
Matahari pun merayap pelan-pelan, menunaikan tugasnya untuk menyelesaikan rotasinya.
Sedangkan aku, duduk di sebuah bangku taman saat jantungku mulai merasa nyeri dan lelah.
Kupasang earphone di telinga lalu memutar lagu dari ponselku.
Kubiarkan sinar matahari pagi menyapu kulitku yang beradu dengan angin segar pagi hari.
Matahari dan angin pagi memang sangat sesuai dengan hatiku, dingin.
Begitu terhanyut dengan lagu dan juga pemandangan langit lagi yang menawan membuatku tak menyadari suara langkah kaki yang kian mendekat.
When you walk away
I count the steps that you take
Do you see how much I need you right now?When you're gone
The pieces of my heart are missin' you
When you're gone
The face I came to know is missin', too
When you're gone
The words I need to hear
To always get me through the day
And make it okay
I miss youTak lama kemudian, ada seseorang yang sengaja mencabut earphone dari telinga kiriku saat lagu ketiga baru saja sampai di bagian refrain pertama.
Di rumah sakit ini, hanya Mikha yang berani melakukan itu padaku
Aku menoleh merasa kesal karena gangguan Mikha.
Namun bukan dokter muda itu yang kulihat saat ini, melainkan orang lain.
Seakan waktuku mendadak berhenti berputar, tubuhku pun mematung sampai lidahku kelu.
Duniaku yang awalnya sudah berhenti berputar kini seakan menemukan kembali porosnya saat seseorang tersebut ternyata adalah orang yang sangat kurindukan saat ini.
Laki-laki itu menghempaskan badannya tepat di sebelahku sambil masih menghadap ke depan.
"Kamu gak banyak berubah ya, Nyx," ujarnya setelah menaruh earphone yang lepas itu ke telinganya.
Apa ini? Apa efek samping serum pak tua itu juga menimbulkan halusinasi? Atau karena aku begadang semalaman jadi mataku pun ikut rusak?
Aku memandang sosok itu mematung, bahkan tanpa bisa mengedipkan kelopak mataku.
"Ngeliatinnya gitu amat, aku bukan hantu," ujarnya dengan sengaja menambah kekehan kecil yang selalu aku dengar dulu.
Rasa tidak percaya masih meliputi otakku, namun hatiku seakan mengatakan sebaliknya.
Dengan usaha keras, aku mencoba memegang tangannya. Pelan-pelan.
'Tuhan, aku mohon, jika ini mimpi, aku tidak ingin terbangun lagi'
Aku berhasil menyentuhnya! Kulitnya lembut dan hangat seperti dulu.
"Ansel?" lirihku tak percaya.
Laki-laki itu pun menoleh dan menyuguhkan senyuman indahnya padaku, senyuman yang membuat siapa saja menjadi terpesona padanya.
Tanpa aba-aba, air mata mulai menyeruak di mataku seakan mendesak untuk keluar dan ingin ikut bertemu dengannya.
"Nyx, kamu gak amnesia trus lupa sama aku kan?" jawabnya menggenggam tanganku.
Aku kehilangan kontrol diriku, badan dan hatiku langsung meraihnya dan memeluk pria yang kini duduk di sampingku dengan erat meski otakku menolak.
Lidahku kelu dan mulutku tidak bisa mengatakan apapun selain menangis.
Aku merindukannya. Aku begitu merindukannya hingga saat bertemu aku hanya bisa menangis dan memeluknya erat.
Tuhan apakah ini hadiah terakhir sebelum kematianku? Karena itu hadiah ini begitu berharga sampai melebihi nyawaku sendiri?
Bersambung~
Halo semuanya,
Terima kasih sudah ikut nemenin Nyx sampai sekarang udah ketemu lagi sama Ansel.
Maafin aku ya ceritanya tidak sesempurna yang dibayangkan.
Tolong tinggalkan dukungan juga untuk Nyx, Ansel, atau untukku di kolom komentar.
Sampai jumpa di part selanjutnya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor For Nyx
General FictionPetrikor, angu, atau ampo (bahasa Inggris: petrichor) adalah aroma alami yang dihasilkan saat hujan jatuh di tanah kering. -Wikipedia Charlotte Nyx Hartono Abu-abu, gelap, penuh kabut, dan menyesakkan. Inilah hidupku. Kehadiranmu memberiku sedikit o...