Part. 10, Miss U

17 1 0
                                    


***


Setengah jam berlalu, aku masih memandangi pria yang kini duduk di sebelahku.

Keheningan tetap setia mendampingi kami, dua manusia yang dulu sedekat nadi tapi kini saling canggung.

Matahari kini meninggi, rumah sakit pun ikut terbangun dan menunjukkan banyak orang yang telah memulai aktivitasnya.

A

nsel, tidak banyak perubahan yang terjadi padanya.

Rambutnya yang lurus masih dibiarkan panjang itu tetap melambai cantik saat tersapu angin.

Bibirnya yang berwarna merah muda tetap terangkat sedikit ketika mendapat sesuatu yang menarik untuk ditulisnya di buku harian yang selalu ia bawa kemana-mana.

Matanya yang hitam kecoklatan tetap menatap tajam hingga bisa menembus ke dalam hati dan jiwa seseorang.

Aku perhatikan kembali sosok laki-laki yang kini jadi satu-satunya sumber kebahagiaanku yang kini duduk di sampingku ini.

Semuanya masih terasa seperti mimpi saat Ansel muncul di hadapanku. Bahkan sampai saat ini.

Sampai-sampai aku tidak berani barang untuk menyentuh tangannya lagi.

Aku takut.

Aku takut kalau akhirnya ini sama seperti halusinasiku seperti sebelum-sebelumnya.

Aku takut jika aku menyentuhnya barang secuil, dia akan menghilang lagi.

Bagian paling menyakitkan dari halusinasi adalah ketika kamu sadar kehadiran hal yang sangat kamu inginkan itu ternyata tidak nyata.

Kadang aku berpikir, apa jangan-jangan dulu aku kena pelet Ansel.

Atau memamg jatuh cinta bisa membuat seseorang jadi segila dan putus asa begini?

Mataku tidak mau beranjak dari Ansel yang sekarang sedang sibuk menulis sesuatu di buku hariannya.

"Kamu menontonku di taman kan kemarin?" tanyanya masih terus menulis.

Aku membuka mulutku, namun tidak ada suara yang keluar.

Lalu aku hanya mengangguk tak bersuara. Lidahku masih tidak mau bergerak.

"Empat tahun gak ketemu sekarang lu bisu?" protesnya dengan ekspresi khasnya sambil menoleh ke arahku.

Aku membuka mulutku lagi, namun lagi-lagi tiada satu pun kata mampu terucap.

Padahal banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya.

"Iya, suaramu selalu jadi favoritku," jawabku akhirnya setelah memaksakan tenggorokanku ini melakukan tugasnya.

"Kan aku udah bilang, aku terlahir sebagai penyanyi," balasnya begitu bangga dan tersenyum cerah.

Ah Tuhan, kumohon jika Engkau hendak memanggilku. Saat ini aku siap Tuhan.

Aku sangat siap, aku sudah mendapat senyuman yang aku dambakan bertahun-tahun ini.

Senyuman yang hangat seperti matahari musim semi.

Tanpa sadar, sudut bibirku pun ikut terangkat dengan sendirinya.

Petrichor For NyxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang