Laptop diletakkan kembali di atas nakas kecil setelah Katya membaca paragraf terakhir bab lima yang ditulis Pangeran Langit. Membekas betul di sudut otak kecil Katya kalimat yang penuh penekanan emosi bertautan itu. Rasanya seperti mengemut permen asam manis yang penuh sensasi rasa keterkejutan yang tak menentu.
Biar satu noktah merusak belanga berisi madu yang telah terkumpul dari hasil jerih payah. Noktah hitam itu, yang nantinya akan membusuk di makan waktu fana, akan menguarkan bau anyir yang menciptakan goncangan di seluruh bumi. Maka, sang cerpelai dan bedebah-bedebah itu akan menikmati hasil permainannya.
Huh, rasanya sangat melelahkan membaca novel sastrais dengan bahasa yang cukup berat bagi Katya. Sebagai seorang lulusan Sastra Indonesia, Katya tidak memungkiri bahwa penulis sastrais adalah salah satu kunci keberhasilan dunia kepenulisan di Indonesia. Artinya masih ada yang peduli dengan sastra dan bahasa Indonesia, masih ada yang membudiluhurkan diksi indah yang menari-nari, masih ada yang mencoba mengenalkan bahasa berat nan indah pada pembaca.
Mata Katya beralih pada jam dinding yang menunjukkan pukul 02.35, tidak ada suara bising musik atau orang menyanyi seperti pasien rumah sakit jiwa yang kabur. Aman. Tetangga sebelah itu memegang kata-katanya dengan baik, meski sang kakak sangat menyebalkan dan melebihi mesin pembuat es. Katya heran, bagaimana bisa seseorang memelihara seekor reptil di dalam apartemen.
Memang tidak ada peraturan yang mengulas tentang kepemilikan hewan peliharaan di apartemen ini, mereka hanya diminta untuk menjaga ketenangan dan keamanan apartemen apabila memiliki seekor hewan. Cukup Momon, kucing Nadine, yang membuatnya geli luar biasa, ini seekor kadal bisa hinggap di tubuhnya tanpa permisi dan tanpa sepatah ucapan. Dia bergidik ngeri, seperti masih merasakan tubuh keparat kecil itu bertengger di bahu.
Bangkit dari sofa, Katya mengambil segelas susu hangat yang sengaja dia siapkan sebelum membaca naskah Pangeran Langit. Ditenggaknya susu tersebut hingga tak bersisa, merasakan degup aliran kehangatan yang menjalar sampai ke perutnya. Susu cokelat hangat di pagi hari memang tidak pernah salah. Kantuk tak kunjung datang, karena bosan, Katya menyambar kembali laptopnya.
"Gue coba ngehubungin dia, deh." Jemari lentik Katya yang dihiasi kuteks hijau sage mengetik sederet kalimat mengenai ajakan bertemu untuk diskusi mengenai naskah. Katya harap, Pangeran Langit berkenan untuk mengobrol di kafe atau tempat nyaman lain. Pesan surel itu terkirim, tinggal menunggu balasan dari Pangeran Langit.
Mendadak dia teringat dengan Brian yang belum menghubungi atau memberi kabar di grup. Keadaannya tadi pagi begitu mengenaskan. Segera saja, Katya membuka ponsel dan mengklik aplikasi WhatsApp untuk mengirim sebuah pesan di grup. Biasanya, anak-anak editor masih ada yang belum tidur karena sama pusingnya dengan Katya mengurus naskah penulis dengan berbagai macam gaya.
Pramesti Katyala
Guys, kalian dah pada tidur belom?
@Brian, lo baik-baik aja, kan?
Mirella Olivia
Oit, napa, Kat?
Gue masih ngurusin naskah si Hamzad anying
Pramesti Katyala
Brian ke mana dah
Gue mau kasih tau sesuatu
Yakin lo gak pengen ngerti?
Mirella Olivia
Yeh, gosip yak? Spill the tea buru!
Si Marco udah ketangkep? Kasian anak orang dibuntingin terus kabur, emang dasar mokondo
KAMU SEDANG MEMBACA
Manuskrip Tanda Tanya | [END]
ChickLit🏆 TOP 10 TINLIT WRITING MARATHON 2023 Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui kar...