9. Sebalik Tabir Seorang Remaja

28 7 0
                                    

"Kok, enggak ada, sih?"

Jari telunjuk menari anggun di atas mousepad laptop putih milik Katya. Layar menampilkan beberapa sosial media seperti Facebook, Instagram, hingga Twitter. Bak elang yang terbang di angkasa, mata Katya dengan awas menelisik setiap bagian jelajahan internet yang dicari. Namun, yang diinginkan tidak kunjung ditemukan, semuanya nihil. Pangeran Langit tidak memiliki media sosial apapun.

Katya tidak mengerti, hidupnya tidak bisa lepas dari ponsel, bahkan dalam kurun waktu 24 jam, ada sebagian kecil yang digunakan untuk merapikan kolom postingan Instagram agar terlihat estetik. Bahkan, sesekali dia menyempatkan untuk mengunggah sebuah InstaStory yang ditujukan kepada para pengikut untuk sekadar memberi tahu bahwa dirinya masih aktif dan sedang melakukan kegiatan menyenangkan.

Contohnya saja ketika beberapa hari yang lalu, saat Katya memenuhi undangan Bara Adiguna untuk datang ke acara tahunan Lumbung Sastra Jakarta. Di sana, dia duduk sejajar dengan editor ternama berskala nasional yang sering menangani naskah-naskah penulis besar Indonesia. Kesempatan ini tentunya tidak bisa dilepaskan begitu saja untuk diunggah ke media sosial, belum lagi dandanan yang sengaja dia pasang agar tampak mewah dan sesuai tema acara.

Memang banyak yang mengatakan jika hal seperti itu adalah contoh manusia yang sering pamer atau kasarnya ada yang mengatakan kurang perhatian. Padahal sejatinya, media sosial adalah ruang publik secara daring yang bisa diakses oleh siapa saja dan menjadi tempat untuk mengemukakan apapun dengan bebas selagi masih taat pada norma dan aturan yang berlaku. Katya sendiri tidak ambil pusing, orang iri dengannya, mereka yang merasa terbakar dengan apa yang dipamerkan, itu bukan urusan Katya.

Tetapi anehnya, ada orang seperti Pangeran Langit yang tidak memiliki media sosial untuk memamerkan hasil karya yang meledak di pasaran. Dua novelnya sering bertengger di rak best seller toko buku dan mendapat penghargaan di acara tahunan Lumbung Sastra Jakarta. Harusnya ini menjadi momen yang pas untuk memajang postingan di Instagram. Antara terlalu tertutup atau Pangeran Langit tidak punya teman sehingga memilih untuk tidak membuat media sosial.

Mencari artikel atau informasi di internet pun juga menghasilkan hal serupa, hanya ungkapan-ungkapan penasaran para penulis artikel berita mengenai kehebatan Pangeran Langit dan novelnya yang menggelegar. Katya mendesah, mengacak rambutnya frustrasi, menutup ulasan novel Rembulan Temaram di Rimbun Jenggala yang tidak menghasilkan apa-apa. Sial sudah, bayang-bayang wajah Emmi R. yang menyebalkan melambai di hadapan.

"Tunggu sebentar," gumamnya ketika teringat sesuatu. Dia mengetik novel Rembulan Temaram di Rimbun Jenggala dan mencari tahu penerbit mana yang berhasil meminang karya tersebut. Berhenti di sebuah situs, Katya mengamati baik-baik di bagian sampul depan, informasi terkait editor, illustrator, dan segala macam tetek-bengeknya tertera di sana. Katya tertegun, termangu pada nama Tarisya Sibarani dari Penerbit Rumah Kata.

Oh! Dia ingat! Beberapa kali saat mengikuti acara penghargaan atau kumpul seminar editorial, Katya bertemu dengan perempuan bernama Tarisya Sibarani. Masih ingat betul saat tahun lalu dirinya bersemuka dengannya pada acara boot-camp editorial yang dilaksanakan Penerbit Medionda. Ternyata dia pernah menjadi editor Pangeran Langit?

"Kayanya gue masih punya nomor Tari, deh." Buru-buru Katya merengkuh ponsel yang tergeletak di samping, membuka aplikasi WhatsApp dan mencari nomor Tarisya. Ketemu! Ternyata masih aktif meski tidak terlalu banyak obrolan terjadi dengannya.

"Halo, Katya? Kenapa?"

"Hai, Tar! Maaf banget gue ganggu lo malem-malem," ujarnya. "Lo lagi sibuk gak? Gue mau ngobrolin sesuatu soal editorial."

"Enggak, sih. Emangnya mau ngobrolin soal apaan?"

Katya berdeham, menjeda sekejap sebelum kembali berbicara. "Emm, gini. Barusan gue baca Rembulan Temaram di Rimbun Jenggala punya Pangeran Langit. Waktu gue baca bagian sampul depan, ternyata yang jadi editornya itu lo?"

Manuskrip Tanda Tanya | [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang