12. Martabak Terang Bulan

19 6 0
                                    

Sejak masih duduk di bangku sekolah, kesenian tidak pernah lepas dari hidup Katya. Selain sastra, dia juga mencintai keindahan dan segala hal yang berbau estetika serta karya seni. Menurutnya, merangkai sebuah karya sama saja seperti menulis sebuah untaian kalimat menjadi paragraf utuh. Namun, dibanding menulis, Katya lebih senang membuat kerajinan.

Toko peralatan kantor dan sekolah adalah surga kedua setelah toko buku. Warna-warni perlengkapan yang duduk berjejer di rak, krayon dan spidol yang bertengger membentuk pelangi, hingga tumpukan kertas Manila yang beragam begitu memanjakan mata. Bisa-bisa, Katya kalap membeli semua hal yang begitu menarik mata. Jangan sampai dia juga ikut-ikutan membeli barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan, pengeluarannya bulan ini akan membengkak.

Untuk membuat sebuah scrapbook, Katya memerlukan sebuah binder kosong tanpa motif dan gambar. Kemudian, dia butuh beberapa kertas dekoratif dengan corak yang beragam. Jangan lupa pulpen dan spidol, serta stiker yang biasa digunakan untuk menambahkan manik-manik di sekitar buku yang akan dipakai. Katya menjinjing sebuah keranjang dan berjalan di antara rak-rak tinggi dengan berbagai isi. Matanya dengan awas berkeliling, mencari hal-hal penting yang sudah dicatat sebelumnya.

Di dalam keranjang, sudah ada binder, satu pak spidol, stiker bertema Yunani kuno, dan pita dekoratif. Katya masih butuh lem dan juga kertas corak koran untuk ditempel di scrapbook buatannya. Saat sampai di lorong kertas, Katya mendesah, melihat tumpukan kertas yang diletakkan di bagian paling atas rak. Kenapa toko selalu meletakkan hal penting yang Katya butuhkan di sisi paling tinggi. Tubuhnya yang tidak terlalu semampai sulit untuk menggapainya! Sialan memang, tidak mungkin dia harus memanjat rak seperti Spiderman yang mengejar musuh.

“Aduh! Kurang ajar emang yang naruh barang penting di rak paling atas!” desisnya seraya mengangkat tangan, mencoba meraih plastik berisi tumpukan kertas motif koran. “Ini kalau sampai jatuh nimpa pala, gue bakal teriak asli!”

Meskipun sudah loncat dan merogohkan tangannya setinggi mungkin, Katya tetap tidak bisa mendapatkan apa yang dia ingin. Justru, tumpukan kertas itu mundur, menjauh akibat terdorong tangan Katya secara tidak sengaja. “Hah! Kok, malah mundur, sih?”

“Makanya, kalau butuh sesuatu itu minta tolong, tetangga.”

Dengan gusar, Katya menoleh ke arah Sabrang yang tengah mengamati dirinya yang kesulitan mengambil kertas. Ujung matanya menyipit, merasa sebal ketika Sabrang memanggilnya dengan sebutan “tetangga”, entah mengapa terdengar seperti cibiran yang menyentil telinganya. “Aku bisa sendiri, tahu!”

“Serius? Kamu udah berdiri di sini 15 menit,” timpal Sabrang, melipat kedua tangan di depan dada seraya mengetuk arloji hitam di tangan kirinya.

Eh? Betulkah itu? Berarti sejak tadi Katya meloncat-loncat seperti monyet hanya untuk menggapai kertas motif koran? Malu sekali rasanya, mendadak kedua pipi Katya memerah, panas akibat tertangkap basah oleh Sabrang. Lelaki itu terkekeh pelan, menyeringai dan menjulurkan tangannya, mengambil tumpukan kertas di rak paling atas tanpa banyak energi dikeluarkan. Keuntungan menjadi orang tinggi! Kadang Katya suka sekali iri dengan mereka yang memiliki tinggi di atas 165, tiba-tiba Katya merasa menjadi seperti tuyul cebol.

Kertas motif itu disodorkan kepada Katya, Sabrang menaikkan kedua alisnya, menegakkan dagunya kembali. Katya langsung meraih kertas tersebut dan mengambil beberapa lembar untuk dibawa pulang. “Sama-sama, tetangga,” ujar Sabrang pragmatis, secara tidak langsung menyindir dan mematok ucapan terima kasih dari mulut Katya.

“Iya, iya, makasihhh. Dah, kan?” Katya mendorong tumpukan kertas tadi kepada Sabrang untuk dikembalikan. Mereka langsung menuju kasir untuk membayar semua peralatan yang sudah dibeli untuk membuat scrapbook.

Manuskrip Tanda Tanya | [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang