8. Dari Balik Lensa Kamera

34 8 0
                                    

Langkah kaki lelaki itu berhenti, mematuhi teriakan Katya yang merambat di udara. Namun, dia sama sekali tidak menoleh, bahkan memutar badannya saja tidak. Hanya terpaku pada satu titik seolah kakinya menjalar hingga inti bumi. Katya meremas tas jinjingnya, bersiap melayangkan pukulan apabila lelaki tadi berbuat nekat, dia tidak bisa diperlakukan seperti ini.

Zaman sekarang, sudah banyak sekali orang dengan pemikiran di luar nalar yang kerap berbuat nekat untuk mendapatkan sesuatu. Terutama di kota besar seperti Jakarta, tidak ada yang tahu pasti mengenai pemikiran tiap individu yang menetap di sini. Karena itulah, Katya tidak bisa diam, sesuatu yang membahayakan nyawanya atau membuatnya risih harus segera ditindak tegas, tidak peduli ada orang yang membantu atau tidak.

Mengambil gambar seseorang secara diam-diam tanpa mengatakan sesuatu adalah sebuah tindak kriminal yang menyebabkan ketidaknyamanan. Si lelaki tadi memiringkan kepalanya, dari ujung dua bola mata hitam kecokelatan itu menatap Katya dengan tatapan tajam mengiris, seperti mata pisau yang telah diasah berkali-kali.

Mereka berdua seperti berada di dalam film koboi klasik yang di mana dua tokoh utama sedang bertarung dan siap melayangkan tembakan lewat selongsong peluru. Bedanya, Katya hanya berbekal sebuah tas jinjing dan semprotan cabai di tangan dan lelaki tadi berbekal kamera, tidak tahu pasti juga apakah dia membawa senjata tajam di balik hoodie hitamnya.

Si lelaki akhirnya membalikkan badan, sadar dengan orang-orang di sekitar yang memperhatikan secara intens. Tak ingin membuat keributan, dia berjalan mendekat ke arah Katya yang bersiap menyemprotkan cairan cabai pedas yang selalu dibawa sebagai perlindungan utama.

"Mau ngapain lo?" Katya berjengit, mundur selangkah. "Jangan deket-deket atau gue semprot pake ini!"

Ultimatum itu seolah tak ada gunanya, si lelaki semakin mendekat. Hampir tidak ada jarak dengan Katya, saat wanita itu akan melayangkan semprotan pertama, masker hitam yang dikenakan si lelaki dibuka, membuat Katya melongo dan terkejut bukan main saat melihat sosok yang membuatnya kesal bukan main.

"SABRANG?" Mulutnya masih membulat, seperti akan menelan mentah-mentah tubuh Sabrang yang berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin. Berengsek! Dia sudah membuat Katya ketakutan setengah mati!

"Kan saya udah bilang, jangan keras-keras, saya malu." Sabrang menggamit lengan Katya untuk menepi dari jalanan utama halte, menuju ke tempat duduk yang tidak berpenghuni.

"LO UDAH BIKIN GUE JANTUNGAN SIALAN!" Katya meledak seraya membuka masker yang selalu dia kenakan ketika menumpang bus. Memaki Sabrang yang hanya menghela napas dalam-dalam dan memejamkan mata. Membiarkan Katya menyumpah serapah dan menahan wajah merah padam yang timbul di kedua pipi bercambangnya. "SETAN! GUE UDAH DEG-DEGAN! NGAPAIN KEK GITU?"

"Maaf," ujar Sabrang dengan segera, tanpa memandang kedua mata Katya. "Saya kira, objek foto tadi orang random yang lagi kelelahan. Ternyata kamu."

Setelah mengetahui lelaki bermasker tadi adalah Sabrang, Katya merasa sedikit tenang, setidaknya bukan orang asing betulan yang belum pernah dia temui sebelumnya, meski sebenarnya Sabrang juga bukan orang yang terlalu dekat dan sekadar tetangga saja. Tunggu sebentar, tadi Sabrang bilang apa? Kelelahan? Memang Katya terlihat semenyedihkan itu, ya? Pulang bekerja, memakai masker, menyandarkan tubuh ke kursi dan menatap jendela dengan pandangan kosong terlihat kelelahan?

"Kamu kelihatan capek," timpal Sabrang seolah mengetahui pertanyaan Katya yang tersimpan dalam benak. Ah, Katya masih kesal dengan Sabrang yang tidak segera membuka maskernya dan membuat dirinya terlibat dalam drama mini di tengah halte serta menjadi tontonan gratis orang-orang. "Nih."

Sabrang mengangsurkan sebuah botol air mineral yang masih utuh dari dalam tas selempang yang dikenakan. Katya memandang botol tersebut, kemudian beralih ke Sabrang, sedetik kemudian tanpa ragu botol tersebut sudah berada di tangannya. "Makasih." Katya menenggak botol tersebut hingga setengah habis. "Lo ngapain, sih, foto-foto orang random kek gitu?" tanyanya tak peduli dengan sebutan yang berubah, Katya sudah keburu kesal.

Manuskrip Tanda Tanya | [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang