23. Epilog Naskah Sabrang

49 8 0
                                    

Keluar dari ruangan tadi, Sabrang berjalan sedikit terseok karena energinya sedikit tersedot. Dia tidak bisa seperti ini atau nantinya akan berbahaya jika kehabisan seluruh kekuatan yang dimiliki. Ternyata, ajudan Gesang cukup kuat, buktinya mampu membuat Sabrang seperti ini. Dengan langkah agak gontai dan masih berpikir untuk masuk ke ruangan mana, Sabrang melongok dari dalam, menunggu sekiranya sudah aman untuk pergi dari ruangan itu.

Tidak ada siapa pun, mungkin tidak ada yang mendengar suara keributan dari dalam ruangan tadi. Berhati-hati, Sabrang menutup pintu, memilih ruangan berikutnya yang sekiranya ada Bening di dalam. Dia menjatuhkan pilihan ke sebuah ruangan yang tertutup rapat di ujung timur, ruangan itu adalah ruangan yang paling jauh dari jangkauan sinar matahari dan sangat gelap. Bisa dipastikan, Gesang menggunakan tempat itu untuk menyembunyikan Bening dari dunia luar.

Maka, setelah memantapkan hati, Sabrang berlari kecil menuju ruang yang sudah dia incar. Ketika hendak membuka, ruangan tersebut dikunci. Sudah jelas, pasti Bening berada di dalam sini, karena tidak mungkin Gesang bertindak ceroboh membiarkan ruangan terbuka begitu saja sementara di dalam sana ada sandera yang menjadi umpan. Sabrang menarik sebuah bobby pin yang dia pakai untuk mengikat beberapa surai yang biasa terlepas ketika mengikat rambutnya dalam bentuk man bun. Pin itu dia gunakan untuk membuka pintu yang terkunci, memang terdengar khayal dan tidak realistis, tetapi Sabrang pernah mencobanya.

Sebenarnya ini terinsipirasi dari film barat yang di mana tokoh utamanya sering membuka pintu terkunci menggunakan bobby pin. Beberapa kali Sabrang mencoba memutar pin, sesekali pintu dia tarik agar kunci terbuka. Ketika putaran keempat, terdengar bunyi klik yang langsung menjadi jackpot utama. Sabrang membuka pintu tersebut, ruangan sangat gelap, jendela ditutup oleh koran dan bau pengap khas kayu tua langsung menginvasi hidung. Mata Sabrang dengan awas menelisik ke seluruh penjuru ruangan, mencari keberadaan Bening.

Ketika ekor matanya terkunci ke salah satu sudut, dia memicing. Melihat seorang gadis sedang duduk dengan mulut diisolasi, tangan dan kakinya diikat. Tersadar jika itu adalah Bening, Sabrang langsung mendekatinya. Bening tampak menyedihkan, dia lesu dan tidak berdaya dengan baju yang sangat kotor.

“Bening! Bangun, Nduk! Ini Mas Sabrang!” Sabrang menepuk pelan pipi adiknya itu agar tersadar. Perlahan, kesadaran Bening timbul, gadis itu membuka matanya dan langsung terkejut. Suaranya tertahan akibat lakban yang masih menempel di mulut. “Sshh, tenang-tenang. Mas Sabrang di sini, Ning,” ujar Sabrang seraya memeluk erat tubuh Bening, dengan cekatan, Sabrang mengeluarkan pisau belati dari saku celana cargo miliknya, memotong tali yang disimpul mati, kemudian melepas lakban dari mulut Bening.

“Kak, aku takut ....”

“Gak apa, Mas Sabrang bakal bawa kamu keluar dari sini. Kamu bisa lari?”

Bening menggeleng, sepertinya kondisi gadis itu sangat lemah. Gesang memang berengsek, pasti adiknya ini tidak diberi makan apa-apa dan dibiarkan begitu saja di ruangan pengap seperti ini. Alhasil, mereka tidak bisa bergerak cepat, Sabrang meminta Bening untuk berjalan saja, tetapi dalam tempo cepat.

“Wah, bagus! Ternyata kamu datang ke sini.”

Seorang lelaki bertubuh tambun dengan kemeja putih dan celana cokelat berjalan santai sembari bertepuk tangan. Mendekat ke arah Sabrang dan Bening yang sudah mencengkeram erat kakaknya. Wajah lelaki tambun itu tampak bahagia, seolah menangkap basah dua maling yang sedang diincarnya sejak lama. “Aku sengaja gak matiin hape Bening biar bisa kamu lacak, ternyata kamu masuk perangkapku,” cibirnya disertai tawa yang berderai-derai. Dua ajudan bertubuh besar yang waktu itu mengintai di perumahan berjalan mendekat, berhenti di belakang lelaki bertubuh tambun tadi.

Manuskrip Tanda Tanya | [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang