_________________________________
Begitu serbuan datang, kakiku berputar menendang salah satu pengemudi. Dia terjungkal ke tanah, dan motornya jungkir balik hingga menabrak temannya tanpa sengaja. Dari sisi kiri aku meninju seseorang yang nyaris mencekikku dari belakang. Dia oleng, tapi sebelum jatuh kujambak bajunya agar terlempar ke pengendara lain.
"Arrrghh!!"
Oh, bagus. Tumbang empat berarti masih banyak yang harus diurus.
Aku pun menghajar seseorang yang melempar tali tampar dari belakang. Dia nyaris memberangusku layaknya hewan. Hanya saja aku lebih cepat menariknya. Dia pun kaget, tapi takkan kubiarkan lepas begitu saja. Orang ini kuseret dari atas motor hingga jatuh meski aku kewalahan.
Bukannya apa. Perkelahian ini memang kalah jumlah, tapi kata-kata Ibu dulu ada benarnya. Beliau mengingatkan gaya tak penting jika ada serangan mendadak, kecuali kau ahli bela diri tertentu. Namun untuk aku yang hanya bisa tawuran, jelas harus berkelahi sesuka hati asal mereka babak belur. Mau kupukul kepalanya, dadanya, rusuknya, atau bagian mana saja, semua itu tak ada urusan lagi denganku. Mereka wajib tumbang, meski harus kuhajar berkali-kali. Apalagi jika ada yang kemarin berdiri. Itu kulakukan dengan tamparan kencang saat orang berdatangan. Ada yang kena bahunya. Ada yang kena lehernya, tapi alurnya tidak mulus karena aku ditabrak motor dari belakang.
"Arrrghhhh!"
"HA HA HA HA HA!"
"MATI KAU!"
"HA HA HA HA HA!"
Aku pun tersungkur ke tanah dengan jari terluka, tapi langsung berbalik karena ada bayangan orang ingin menghancurkan kepalaku dengan tongkat kayu. Benda itu terkena bahuku. Langsung memar, dan mereka tertawa lagi karena badanku ditabrak dari sisi kiri. "ARRRGGGHHH!" raungku karena dijadikan bulan-bulanan. Aku pun menghantam dinding grafitti merah pekat. Kerahku dijambak. Wajahku ditinju hingga tiga kali, tapi bukan aku jika tak membalas tinjuannya sampai mimisan. Dengan cepat aku pun berdiri sebelum orang-orang menyerbu datang. Lalu kuambil tongkat itu dari tanah sebagai senjata. "MUNDUR!!!" teriakku, lalu naik mobil Porsche hadiah Mile karena mereka seperti kerumunan zombie. Aku menendang kepala mereka satu per satu dari atas. Kupukul di bagian ubun masing-masing, tapi aku tumbang ke belakang saat seseorang merangkul pinggangku dadakan.
"BAGUS!! TURUNKAN DIAAAAA!!" teriak salah satunya dari kejauhan.
Aku yang kesakitan pun ditindih satu orang. Dihajar lagi, tapi kesadaranku bertahan karena suara Gabby terdengar melengking nyaring. "MAMAAAAAAA!!! Hiksss, MAMAAAAAA!!" Dia benar-benar mengenaliku sebagai sosok ibunya, walau diriku memang bukan wanita. Bisa kulihat bocah kesayanganku digendong perempuan bertato pipi. Dia turun, tapi sengaja membiarkan Gabby melihatku ditendangi dari berbagai arah. Mungkin menurutnya bagus jika Gabby punya ingatan Mama-nya berdarah sampai mati, dan dia sengaja menanamkan trauma agar anakku tahu peristiwa ini gara-gara dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐉𝐔𝐒𝐓 𝐀 𝐋𝐀𝐁𝐎𝐑𝐄𝐑 𝐂𝐎𝐍𝐒𝐓𝐑𝐔𝐂𝐓𝐈𝐎𝐍 ✅
Fanfic𝐁𝐎𝐒 𝐗 𝐊𝐔𝐋𝐈 || 𝐇𝐀𝐏𝐏𝐘 𝐄𝐍𝐃𝐈𝐍𝐆 || 𝐀 𝐌𝐚𝐧 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐇𝐢𝐬 𝐃𝐢𝐠𝐧𝐢𝐭𝐲 Apo Nattawin merupakan seorang kuli bangunan di Pyongdai, Huahin. Dia lelaki yang selalu berjuang di atas kedua kakinya. Dan Apo takkan pernah membiarkan seora...