Dari sekian banyaknya lautan manusia di hadapanku saat ini, kenapa harus aku yang jadi tokoh utamanya? Tsk! Padahal aku ingin menikmati peranku sebagai figuran, roda keberuntungan tidak berpihak padaku rupanya.
Aku tak punya pengalaman jadi tokoh utama sebelumnya. Sebut ini anugerah yang tidak kuinginkan. MC itu segalanya diawasi. Diperhatikan. Diberi harapan akankah memenuhi ekspetasi mereka atau tidak. Makanya aku malas jadi MC.
Meski demikian, bubur sudah jadi nasi... Eh, kebalik. Nasi sudah menjadi bubur. Aku tak punya hak mengeluh dan harus memainkan peranku sebaik yang kubisa. Toh, aku tak punya kekuatan mengubah bubur cair kembali utuh jadi nasi.
Tetapi, ini tetap membuatku khawatir. Jika karakterku tak memuaskan, semua orang akan cepat bosan terhadapku.
Aku hanya bisa menjadi diriku sendiri.
"Kau kenapa deh, Sen? Masih pagi mukamu udah kayak mahasiswa ketiban revisi. Tidurmu gak nyenyak semalam?"
"Gak apa-apa. Cuman deg-degan ntar praktek basket. Bukan rahasia lagi aku payah dalam dribbling." Dalam hati aku merutuk: kenapa tidak main sepak bola saja. Aku kurang suka olahraga basket.
"Apa kau akan baik-baik saja? Mau kuminta izin sama Pak Guru ke uks?"
Kan uji praktek. Mana bisa aku absen.
Mudah membedakan yang mana yang karakter betulan dan yang mana yang cuman NPC. Salah satunya orang di sebelahku ini. Kulirik nametag-nya.
Lilitha Roxanne Abigail. Si gadis yang memiliki rasa empati berlebihan. Dia memang tipe altruistis. Tabiat mungkin.
"Tidak usah. Lagi pula aku sehat."
"Sungguh? Aku tak keberatan nganter kok, Sen. Ayo sini kubantu papah."
Kebiasaan memang menyebalkan. Aku menghela napas. "Lebih baik khawatirin dirimu dulu. Kau pingsan kan tadi pas upacara? Apa kau kuat olahraga?"
"Aman mah," katanya, acung jempol. "Kau yang harus istirahat ke UKS."
Kenapa dia jadi memaksaku?
Untungnya ketua kelas beraksi. Dia tak punya nametag, berarti cuman tokoh sampingan. "Teman-teman, segera ganti baju dan pergi ke gimnasium. Pak Dwayne udah nunggu kita di sana."
Apes sih kelasku. Penjas di hari senin. Setelah upacara bendera lagi. Hadeuh. Tak heran beberapa cewek mengeluh tubuh mereka bau keringat nantinya.
"Yang merasa dirinya laki-laki, gih, ganti baju di toilet!" usir kaum hawa.
Kadang-kadang aku heran, mengapa mereka para cewek lebih suka menukar seragam mereka di kelas dibanding di toilet. Bukan di WC lebih leluasa? Kalau di sini, mereka harus waswas memantau kaca, memastikan tak ada pengintip.
Lalu akhirnya, Pak Dwayne kesal karena mereka terlambat seperempat jam.
Sebelum Abigail membuka mulutnya lagi, aku langsung mengambil seragam olahragaku di tas, keluar dari kelas.
*
Aku mengutuk ketidakberuntunganku yang terpilih menjadi tokoh utama. Tadi pagi, aku sadar begitu saja ketika spotlight menyorotku. Tak mungkin kan yang kulihat itu cahaya ilahi dari langit.
Tapi kurasa, ini tidak seburuk yang kupikirkan? Pasalnya, sepertinya aku menjadi tokoh utama cerita bergenre sekolah. Kehidupan sehari-hari remaja.
Baguslah. Aku takut tadinya cerita ini mempunyai tema berat, lebih-lebih ada bumbu romansa. Aku anti begituan.
Kalau tidak salah nama genrenya, slice of life, kan? Aku tersenyum puas. Jika begitu, aku takkan terlibat hal konyol.
"Si Senon kenapa dah senyam-senyum gajes begitu? Kesambet sesuatu?"
Abigail mengedikkan bahu. "Tadi aku juga sudah suruh dia mending rehat di uks, tapi anaknya ngotot bilang gpp."
"Mungkin sakitnya di dalam kali, ya?"
Aku dengar itu, para ciwi-ciwi! Dasar. Tuman ngegosip di depan orang yang digosipin. Aku tahu Abigail seorang karakter, namun tidak dengan sosok di sampingnya. Tak ada nametag soalnya.
"Woi, Farrand. Giliranmu tuh."
Beginilah nasib punya inisial A. Nomor absenku adalah 6. Ada 5 orang (tidak menghitung aku) berinisial A di kelasku...
Tidak, tunggu. Bukankah ada satu lagi? Aku menoleh ke sekitar. Apa si pemilik nama A ke-5 tidak masuk sekolah?
"Alsenon, kenapa kau melamun? Segera dribel bolanya dan lakukan shoot."
Ah... Aku tersentak. "Baik, Pak."
Situasi sekarang amat bagus untukku. Tidak ada bencana, tidak ada variabel tertentu, tidak ada katalisator, tidak ada apa pun yang bisa kukerjakan sebagaimana tokoh utama di luar sana.
Ini kan cerita sekolahan. Aku hanya perlu bertindak sebagai MC yang baik.
Sesuai dugaan. Baru juga mendribel dua kali, aku kepeleset antara lantai licin atau aku mengail kakiku sendiri. Ya ampun malunya! Lihatlah, Abigail sampai menatap sedih aku yang jatuh.
"Farrand, kau ngapain cium lantai? Payah!" Anak-anak lain ikut tertawa.
Seharusnya aku kesal, namun suasana ricuh ini membuatku tenang. Aku takut aku menjadi MC di kisah yang rumit. Syukurlah, ini hanya drama SOL biasa.
Awalnya aku berpikir begitu. Tapi—
Aku mematung berdiri di depan lokerku. Terdapat secarik kertas menempel di dinding loker dan sederet kalimat yang ditulis pakai... apa ini cat? Atau darah?
[Kemarin hidup. Hari ini tiada.]
Haa, aku terlalu cepat senang. Ini bukan SOL. Aku menjadi MC... cerita thiller.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Auristella is Dead
Mystery / Thriller[Thriller, Friendship & Minor Romance] Aku menemukan sebuah pesan yang kuyakini seorang murid di SMA-ku akan melakukan tindak bunuh diri. Masalahnya, aku atau siapa pun di sekolah ini tidak tahu siapa dia sebenarnya. Aku tidak mau ada tragedi terja...