Fyi, sekolahku sebenarnya tergolong sma baru. Dulunya hanya terbentang hutan luas di sini, lalu Gunung Purasta berada tepat di belakang hutan. Jaraknya sekitar 600 meter. Tapi karena sudah tidak ada pepohonan yang menghambat mobilitas yang telah diganti jadi lapangan, tidak sulit untuk kami mendaki menuju titik GPS hp Mimosa. Kami harus menemukannya hari ini.
Masalahnya, semalam hujan turun membuat jejalanan menjadi becek. Aga berkali-kali tergelincir dan ditolong oleh Abigail. Hanya si cowok beban yang harusnya membantu cewek, malah digotong oleh Noura plus Cielo.
"Perhatikan langkahmu, Ser," kataku tertinggal di belakang. Aku harus memperhatikan Serena. Dia sempat terpeleset. Betisnya membentur batu dan mulai bengkak. "Gak bisa begini nih."
Serena mengernyit melihatku jongkok di depannya. "Kau ngapain deh? Kebelet berak?"
"Akan kugendong. Ayo cepat naik. Kita akan ketinggalan oleh yang lain," kataku. Sebenarnya aku malas menyentuhnya, tapi hatiku tak tega.
Serena bersedekap. "Apa kau lagi modus? Di pandanganku, kau yang tampak suka padaku."
"Laki-laki macam apa membiarkan seorang cewek menanjak gunung dengan kaki terluka? Jangan samakan aku dengan si Beban Hanya. Ayo naik ke punggungku. Kita harus memeriksa sinyal GPS ponsel Mimosa sebelum maghrib."
"Baiklah, baiklah." Serena mengalah. Dia pun mendekat ke punggungku, sedikit malu. "Aku akan menghajarmu kalau kau sentuh yang lain."
Tumbuklah aku dapat duit aku.
Walau pergerakanku jadi lamban, setidaknya aku berhasil menyusul teman-temanku yang sudah duluan tiba di sebuah pondok kayu tua.
Aku melihat Hanya melakukan hal ganjil. Dia fokus mengamati jalan setapak yang berlumpur karena hujan deras semalam. Dia ngapain dah?
"Sen, pintunya gak kekunci!" seru Cielo.
"Tunggu apalagi? Kita langsung terobos saja!" usul Noura sudah tak sabar meninju Auris—itu pun jika ada kemungkinan Auris di dalam.
"...." Aga no comment, memperhatikan teras pondok yang penuh oleh lumpur. Anehnya, sudah ada jejak kaki di sana. Punya siapa?
Belum sempat aku menjawab, Cielo, Noura, Abigail, dan Serena sudah menyelonong masuk ke dalam pondok. Serena seolah lupa kakinya terkilir karena semangat mendapat petunjuk.
Aku... aku merasa ada yang aneh. Tapi baiklah, lupakan perasaan tak enakku dulu. Aku pun melangkah masuk, menyusul teman-teman. Rumah kayu ini tidak terlalu besar. Jadi kami--
"KYAAAA!!!"
Demi apa Tuhan. Baru juga masuk selangkah, suara teriakan Abigail menusuk gendang telingaku. Noura dan Cielo menyembulkan kepala dari kamar yang mereka periksa, saling tatap denganku. Aku menganggukkan kepala.
Aku, Noura, Cielo, berlarian kecil ke tempat Abigail. Seketika terbelalak. Aku menutup hidung karena bau yang amat tajam. Perutku mual, serasa dipilin. P-pemandangan apa ini?
Lihatlah, potongan tubuh Mimosa, dibentuk menjadi Bintang Bersudut Empat. Ratusan lalat dan ulat mengerubungi sisa badan Mimosa. Mesin gergaji tersandar di dinding, juga sebuah senapan yang kuyakini senjata pembunuhan Graciana. Pondok ini adalah markasnya Auris!
Noura berlarian keluar, muntah. Lutut Serena lemas. Dia terhuyung hendak pingsan, namun Cielo cekatan menahannya supaya tidak jatuh.
Aku mengepalkan tangan, menyambar ponsel Mimo di atas meja. Batang baterainya tersisa satu. "Brengsek. Apa Auri memancing kita ke sini untuk menemukan potongan tubuh Mimo?"
Kau benar-benar sudah kelewatan, Auristella.
"Hanya, Aga, cepat telepon Opsir Sasan... Huh?"
Kedua orang itu tidak ada. Benar juga. Aku tidak lihat Hanya dan Agacia masuk ke pondok. Ke mana mereka pergi? Sial! Tanganku merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel. Jariku bergerak cepat mencari kontak Petugas Sasan.
Cielo memandang tangan dan kaki Mimosa di permukaan lantai kayu, mendesis "Sialan..."
*
"Kenapa kau terus mengikutiku, Aga?"
"Aku tidak mengikutimu. Kebetulan saja arah tujuan kita sama." Aga membela diri. Lagian, siapa pula yang mau membuntuti manusia amit-amit macam Hanya? Kurang kerjaan deh.
Hanya mengembuskan napas panjang. Ya sudahlah, biarkan saja Aga bersenang-senang sesukanya. Nanti dia juga yang capek sendiri.
"Apa kau memikirkan apa yang kupikirkan, Han?" tanya Aga tiba-tiba, menolong Hanya menyingkirkan rimbun sulur tanaman.
"Tentang pintu pondok yang terbuka?" Melihat Aga mengangguk, Hanya tersenyum miring. "Sepertinya iya. Kita punya pemikiran sama."
"Aku rasa Auristella teledor kali ini. Bukankah karena itu kau memperhatikan jalan selama kita mendaki gunung? Ada jejak kaki asing selain kita." Aga mengelus dagu, mengingat-ingat kondisi pondok tua. "Aku melihat jejaknya di teras. Tapi aku khawatir sudah tercampur oleh jejak kaki kita dan itu bukanlah runut milik Auris."
Aga benar. Salah satu poin yang membenarkan keteledoran Auristella adalah pintu pondok yang terbuka. Dia seperti terburu-buru ke markasnya untuk menyalakan GPS ponsel Mimo. Dengan kondisi jalan becek dan Auristella yang lupa menutup pintu pondok, ada kemungkinan dia masih ada di sekitar gunung. Melarikan diri.
"Aku curiga satu hal, Han."
"Apanya?" Hanya menatap Aga.
"Alasan Auris terburu-buru ke sini, mungkin karena dia ingin mencegahmu ke rumah sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Auristella is Dead
Mystery / Thriller[Thriller, Friendship & Minor Romance] Aku menemukan sebuah pesan yang kuyakini seorang murid di SMA-ku akan melakukan tindak bunuh diri. Masalahnya, aku atau siapa pun di sekolah ini tidak tahu siapa dia sebenarnya. Aku tidak mau ada tragedi terja...