23. Pencarian yang Sia-sia

162 53 121
                                    

"Argh, sialan! Ini namanya membuang waktu!"

Aku memakai headphone, lanjut mengerjakan tugas. Biarkan saja Cielo sumpah serapah, duet dengan Noura yang juga sama emosinya. Aku harus fokus menyelesaikan tugasku dulu.

Aga memijat pelipis. "Bagaimana bisa tidak ada yang mencurigakan dari mereka berlima?"

Singkat cerita, Noura, Serena, Aga, dan Cielo telah menuntaskan tugas mereka: menyelidiki 5 murid yang absen di hari Buk Ardena tewas. Coba tebak apa yang mereka dapatkan.

Alibi yang sempurna. Kelimanya memiliki alibi tanpa cacat dan masing-masingnya punya saksi untuk memverifikasi pernyataan mereka. Noura, Cielo, Aga, dan Serena bahkan juga menginvestigasi lebih dalam saksi-saksi lima murid itu dan tidak ada bau kebohongan.

Berarti Auris bukan salah satu dari mereka.

Lalu siapa? Bukankah murid yang tidak hadir adalah kandidat kuat tersangka pembunuhan Buk Ardena? Auris sialan, bikin pusing saja.

Aku melirik Hanya yang membaca buku absen, tampak tak tertarik akan keluhan Noura dan Cielo seakan tahu lima murid itu punya alibi.

Atau mungkin penyebab dia malas begitu...

Seperti yang Hanya katakan kemarin, ada kemungkinan sisa-sisa tubuh Mimosa masih tersembunyi di TKP. Kami bergegas menuju rumah Mimo. Memeriksa, mempereteli, merusak ini-itu, memakai segala cara untuk menemukan 'ruang rahasia' atau rubanah, tempat yang memungkinkan untuk menyurukkan mayat.

Dan tidak ada hasil. Pencarian kami sia-sia.

"Hufft. Kalau saja polisi kampret itu tidak menangkapku, waktu kita takkan terbuang. Auris pasti telah memindahkannya." Begitu kata Hanya. Berpikir positif meski desahan jengkel berpadu kecewa lolos dari mulutnya.

Demi melihat teman-temanku frustasi karena Auristella, aku menghela napas, berhenti menulis. Nanti saja kulanjutkan di rumah.

"Bagaimana soal Kak Alpha, Ser?" tanyaku.

Serena menggeleng. "Sampai sekarang Kak Alpha masih dinyatakan orang hilang oleh kepolisian, Sen. Jejaknya tak ketemu-ketemu. Beberapa murid menduga dia sudah tewas. Ada juga yang menduga Kak Alpha diculik, lalu disekap entah di mana hingga saat ini. Orangtuanya sudah putus asa mencarinya."

Sebenarnya Kak Alpha ada di mana? Apa benar dia ada hubungan dengan Auristella?

"Ngomong-ngomong, kau sudah interogasi bendaharamu, Han? Perihal di mana dia membeli dupa itu." Cielo bersedekap. "Tidak menutup kemungkinan kan dia lah Auristella."

Noura mengangkat tangan. "Kurasa tidak, Dyra. Bendahara OSIS sedang disibukkan oleh perlombaan panah antar sekolah. Tak seperti manusia yang menjabat sebagai ketos. Lebih berguna bendaharanya daripada ketuanya."

Hanya diam saja <- manusia yang dimaksud.

Anak itu sepertinya capek. Apa mentalnya down ya karena diborgol oleh polisi? Yah, siapa juga yang suka dibawa ke kantor polisi.

"Han! Kau dipanggil guru ke ruang OSIS. Ini soal pertukaran kepala sekolah yang baru."

Wajah Hanya menjadi pucat. "S-sekarang?"

"Tidak, tahun depan. Ya sekarang lah coeg."

"Baiklah. Aku ke sana." Hanya melambaikan tangan pada kami. "Kalau begitu ketos kalian ini pamit dulu. Sampai jumpa nanti siang."

Apa-apaan itu? Aku bersedekap. Hanya terlihat enggan ke ruang OSIS. Apa ada yang dia sembunyikan dari kami? Hm, mencurigakan.

*

Rapat OSIS selesai pukul 2 siang.

"Haah..." Hanya menghela napas panjang.

"Akhirnya kau keluar juga, Han," gumamku, bersandar di dinding sembari melipat tangan ke dada. "Aku sudah menunggumu dari tadi."

"ASTATANG! Senon sialan! Aku kaget, njir!"

"Apa aku terlihat peduli? Jawab saja pertanyaanku. Apa ada yang mengganggumu, heh? Kau terlihat tidak nyaman dari pagi. Apa kau masih trauma masuk kantor polisi?"

"Aku? Trauma? Impossible." Hanya tertawa datar. "Sudahlah, kita fokus ke Auris saja—"

"AKU SEDANG SERIUS, ANNAVARAN!"

"Apa sih? Kenapa kau membentakku?"

"Kau selalu saja bersikap baik-baik saja, tapi sebenarnya menyimpan semuanya dalam hati. Kita ini masih 15 tahun. Mau sampai kapan kau sok bersikap dewasa begitu? Kita melihat mayat berkali-kali, mental kita terkuras karena tidak berdaya menolong teman kita, lalu diintimidasi seorang polisi. Dan kau tetap bersikeras pura-pura tidak ada masalah."

"LALU AKU HARUS BAGAIMANA?! Kau hanya pandai berbicara saja! Jika kita menunjukkan kelemahan kita, Auristella akan makin puas!"

Aku tersenyum miring. "Keras kepala. Berkata sok keren padahal lenganmu gemetaran. Katakan padaku unek-unekmu. Atau tidak aku akan menghajarmu sampai kau mengakuinya."

Hanya menepis peganganku. "Aku... takut masuk ke ruang OSIS belakangan ini. Karena setiap aku bangun, aku merasa sangat lelah."

Lah? Aku memanyunkan bibir. Dia menurut? Ternyata Hanya tidak mau kutumbuk.




[END] Auristella is DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang