36. Setidaknya Beri Aku Satu

123 49 17
                                    

Aku keliru berpikir aku sendiri yang marah atas perlakuan Zidan dan Minele. Aku tidak tahu di saat aku menghampiri dua manusia brengsek itu, Cielo sudah ada di sana lebih dulu...

... Juga sedang menanti kedatangan mereka.

Marilah kita ber-flashback sebentar.

"T-tolong jangan bunuh aku, Sen... Kumohon, biarkan aku hidup... A-aku akan melakukan apa pun yang kau suruh... Ampuni aku..."

Aku menatap datar. Lihatlah ekspresinya yang putus asa itu. Aku penasaran, mengapa mereka membuat mimik menyedihkan seperti itu setelah apa yang mereka lakukan pada Noura dan tidak mendapat hukuman setimpal. Lolos dengan mudah. Lalu mereka masih punya nyali memelas padaku? Betapa hebatnya manusia.

Jasad Noura pasca ditabrak kereta tidak lagi berbentuk manusia. Satu tangannya putus, kakinya remuk, organ-organnya berhamburan bagai hujan, kepalanya terputar ke belakang, tulangnya terlihat, dan ususnya berserakan.

Bagaimana cara aku membunuh gadis ini ya?

Aku selesai menggantung Zidan, mencomot linggis yang bercucuran darah di tanah. "Siapa orang yang menyuruh kalian?" tanyaku datar, beralih mengeluarkan pisau dari ransel.

"D-Demi Tuhan, aku nggak ingat, Sen..."

"Manusia biadab sepertimu masih ingat Tuhan rupanya, heh." Aku beranjak berdiri. "Nggak bisa gini. Kau nggak boleh mati begitu saja," gumamku beralih melepaskan ikat pinggang.

Tubuh Minele bergetar hebat. Air matanya mengalir lebih deras. "A-apa yang mau kau lakukan? Maafkan aku... Tolong ampuni aku..."

Aku tersenyum di bawah mata yang terus berputar dalam kegelapan. "Sedikit penyiksaan mungkin membuat ingatanmu kembali."

Plak! Plak! Plak!

Aku mengikat tangan Minele dan membungkam mulutnya sekuat mungkin supaya tidak ada yang mendengar jeritannya akan cambukanku.

"Jangan mati dulu," kataku datar sambil menjambak rambut Minele yang terkulai lemah. "Apa kau masih tidak ingat? Atau kau ingin mencoba eksperimenku yang lain? Aku bawa banyak mainan untuk menghukum kalian. Jika keadilan bisa dikalahkan oleh uang, maka aku akan melawan uang sialan itu dengan darah."

Mata Minele melotot melihatku mengeluarkan lilin. Dia tahu apa yang akan aku lakukan.

"AKU INGAT! AKU INGAT SEKARA—Hmph!"

"Ssst, pelankan suaramu. Bagaimana kalau ada yang dengar?" Aku membekap mulutnya. "Jika kau mengatakan kebohongan..."

Minele menggeleng kuat-kuat. "Aku ingat. Dia memakai hoodie hitam, sepatu kets hitam, masker bahkan topi hitam seolah tidak ingin mencari perhatian siapa pun. Tapi waktu itu... dia menjatuhkan sesuatu dari saku celananya."

"Apa itu?" kurasa dia tidak sedang berbohong.

"Sebuah kartu nama Industri Kerajinan. J-jika kau tak percaya, aku menyimpannya di tasku. Itu berada di rumahku. Aku akan antar—"

"Tidak perlu karena aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan. Kau... mati saja di sini."

Aku melilit leher Minele memakai ikat pinggang lalu terdengar bunyi krek pelan, tanda lehernya patah. Hufft! Pembasmian selesai. Aku harus membereskan TKP dan merekayasa kematian.

Tapi aku tidak tahu, Cielo melihat semuanya.

*

"Sudah selesai flashback-nya?" Cielo cekatan melepaskan gunting yang terpancang di papan. Jarum jam terus berbunyi mengisi ketegangan.

"Minele mengatakan sesuatu soal kartu nama, kan? Industri Kesenian... Mungkin hipotesis Hanya ada benarnya Arelin bukan Auristella. Bisa jadi kan, Arelin rupanya cuma karakter."

Tanganku terkepal. "Kau... ngapain di sana?"

"Hmm? Tentu saja menunggu mereka pulang lantas melakukan apa yang kau lakukan. Oh, Alsenon, apa kau pikir kau sendiri yang punya tekad untuk membunuh mereka?" Cielo memutar-mutarkan gunting tersebut di jari telunjuknya. Senyumnya hilang. "Dua manusia sialan itu tertawa selepas masa pendisiplinan mereka berakhir. Siapa yang nggak dongkol."

Berhenti mengoceh tak jelas, Cielo melangkah ke arahku. "Kau mengembat keduanya. Paling tidak sisakan satu untukku dong. Jujur, aku agak kesal. Saking kesalnya," dia berbisik,

"Aku ingin membunuhmu sekarang juga."

Pintu kantor guru terbuka, menampilkan Guru Matematika. Kami tersentak. "Alsenon! Cielo! Apa yang membuat kalian begitu lama—"

Entah apa yang dipikirkan Cielo, dia melempar gunting di tangannya sekuat tenaga ke CCTV sebelum pintu terbuka sepenuhnya. PRANG! Buk Guru terlonjak kaget. Pun aku, menatap Cielo tak percaya. Apa yang dia rencanakan?

"Astaga! Apa itu barusan?"

Cielo tersenyum miring padaku sembari menempelkan jari ke bibir, lalu menghampiri beliau. "Bukkk! Barusan ada maling masuk!"

"APA?! Ya ampun. Kalian gak terluka, kan? Dyra, tolong cepat panggilkan sekuriti."

"Siap, Buk!" Dan Cielo pun ngacir ke luar.

Brengsek. Aktingnya terlihat alami. Sejak kapan Cielo punya sisi munafik begitu? Dia menyembunyikannya? Aku malas mengakuinya, tapi dia lumayan jeli dan licik. Instingku bilang Cielo akan merepotkan untuk ke depannya.

Haruskah aku membunuhnya?










[END] Auristella is DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang