"Petugas Sasan, anda datang tepat waktu."
"Sebenarnya apa yang terjadi di sini?"
Aku menjelaskan secara singkat. Agacia menambahkan satu dua kata, sedangkan Cielo pergi memeriksa cctv sebelum forensik datang. Bagaimanapun, kami membutuhkan orang dewasa untuk mengurus mayat di ruang CEO.
"Begitu, ya. Saya pikir Auristella mulai terdesak karena kalian agresif mencungkil jejaknya.""Tentu saja!" seru Aga. Kami sudah bertekad takkan menyerah sebelum menangkap Auris.
"Petugas, saya minta tolong perbaiki citra almarhum Buk Ardena. Beliau bukan bunuh diri tapi dibunuh Auri menggunakan racun."
Opsir Sasan mengangguk. "Aku akan berusaha mengubah pandangan publik mengenai itu."
"Senon! Aga! Aku nemu something nih."
Membiarkan Opsir Sasan bersama kelompok timnya memeriksa TKP, aku dan Aga meluncur ke tempat Cielo berada. Ruang keamanan. Cielo duduk di kursi dengan ekspresi puas.
"Ngapain kau, Dyra? Menang lotre?"
What? Aku memutar kepala, menatap Aga tak percaya. Anak ini benar-benar pandai merusak suasana serius. Belajar dari siapa coba.
"Auristella kentara gegabah kali ini. Dia bahkan tidak sempat menghapus rekaman cctv dan buru-buru kabur karena dikejar waktu. Aku curiga nih, preman-preman yang kita temui tadi mungkin adalah keronco suruhannya."
Benarkah? Aku dan Aga menonton rekaman.
Seseorang ber-hoodie hitam datang ke kantor CEO. Kami tak bisa melihat wajahnya karena dia mengenakan masker. Menutup seluruh mukanya. Ditambah kualitas kamera jelek.
Kulihat korban menyambut dengan baik. Si pelaku mengajak korban minum kemudian menyuntikkan cairan ke gelas minumannya ketika korban lengah. Obatnya bereaksi cepat. Di saat korban jatuh pingsan, baru lah pelaku menghunuskan pisau ke dada korban dan kabur tanpa mempedulikan kamera CCTV.
"Apa dia Auris atau cuman bawahannya?"
Aku mengedikkan bahu tidak tahu. "Entahlah."
*
Oke. Mari kita putar sudut pandangnya ke tim Hanya. Coba tebak di mana mereka saat ini. Ketua Tim, Hanya, sekali pun tidak diberitahu oleh Abigail dan Serena ke mana mereka pergi.
"Ayolah, kita mau ke mana woi?" Itu sudah pertanyaan kesekian yang Hanya ucapkan.
"Nanti kau juga tahu," sahut Serena cuek.
"Cih! Dasar woman!" Hanya bersungut-sungut. Tahu dia akan dianggap manusia transparan, mending dia tak usah ikut dengan mereka.
Karena tidak mau bersebelahan dengan Serena dan Abigail yang membuatnya jengkel, Hanya pun melangkah cepat, berjalan lebih dulu. Tapi begitu tiba di penyebrangan, tiba-tiba muncul seseorang dari samping kanan yang sedang berlari tak memperhatikan jalan, fokus melihat ke belakangnya. Dia pun menabrak Hanya.
Sialnya, Hanya terjerembab sebab terkejut oleh kehadiran mendadak orang itu. Keseimbangan cowok itu hancur. Tubuhnya oleng akan jatuh.
"Haah..." Helaan napas yang terdengar pasrah.
Pluk! Bukannya menghantam aspal keras, Hanya justru bertemu penyangga yang empuk. Dia menelan ludah, menoleh ke Abigail. Benar. Gadis itulah yang membantunya. Dia berlarian kecil ke belakang Hanya menjadikan badannya sebagai penopang supaya Hanya tidak jatuh.
"Kau nggak apa-apa?" tanyanya.
"Oh." Hanya langsung bangkit. "M-makasih."
Ekhem. Abigail berdeham. "Lain kali hati-hati."
Cowok itu beralih menoleh ke sosok yang menabraknya pergi tanpa minta maaf. "Woi! Lihat-lihat dong, kambing! Jalan ini bukan milik nenek moyangmu! Berdosa banget dia."
Abigail bersedekap. "Kau ini lebay amat dah."
"Kalian sadar nggak sih?" Hanya dan Abigail menoleh ke Serena. "Pakaiannya absurd. Ada gitu pake hoodie dan masker hitam-hitam di siang terik begini? Dia nggak kepanasan?"
"Mungkin dia sampu?" cetus Hanya polos.
*
SMA Binar Emas. Itulah tempat tujuan Abigail dan Serena membuat tanda tanya di kepala Hanya semakin besar. Kenapa mereka ke sana?
"Sungguh, kalian nggak mau kasih tahu aku apa pun? Abigail, Serena, kalian tidak punya adik. Kakaknya Abigail kuliah. Kakak Serena sudah kerja. Jadi untuk apa kita kemari?! Apa ada kenalan kalian sekolah di SMA ini, heh?"
Serena sudah di atas kejengkelannya. Dia berhenti melangkah, menoleh sinis ke Hanya. "Itu semalam, Abigail meminta biodata Arelin padaku. Dia mencurigai sesuatu. Ck, beritahu dia, Lilith. Aku payah dalam menjelaskan."
Atensi Hanya pindah ke Abigail yang terlihat enggan. "Ayolah, ayolah! Beritahu aku."
Abigail mendesah panjang. Ilustrasi kuping anjing muncul di telinga Hanya. "Arelin murid pindahan, kan? Dia berasal dari SMA ini—"
"Tunggu dulu." Hanya si kampret itu malah memotong di saat Abigail serius-seriusnya. "Kenapa tiba-tiba memastikan kepindahan Arelin? Lilith, kau jangan bilang... percaya pada omonganku mengenai Arelin bukan Auristella?"
Dan dia pun diam. Serena mengernyit melihat Abigail salah tingkah. Kenapa pula gadis itu?
"Y-yah, kau terus bersikeras bilang dia bukan Auris. Mau gak mau aku ingin membuktikan dari mana kepercayaan dirimu itu berasal."
"Hehehe." Hanya cengengesan. "Terima kasih, Abigail. Kau berbeda dari Alsenon dan yang lain. Mereka menganggapku angin lalu, hiks!"
"Oi. 'Yang lain' maksudmu itu aku termasuk ke dalamnya?" Sayangnya Hanya lupa, masih ada Serena di sebelahnya. Dia bergidik Serena mengeluarkan aura yang meruncing-runcing.
Gawat, gawat. Serena bakal mengirim pukulan!
"O-Oviya! Kau membawa personalia Arelin, kan? Coba berikan padaku. A-aku ingin baca," ucapnya mengalihkan pembicaraan.
Sebenarnya Serena masih kesal, tapi baiklah. Dia mengeluarkan selembar kertas yang mengusut latar belakang Arelin dari tasnya.
"Guru yang mengurus kepindahan Arelin bernama Berry Hade. Aku juga menyelidiki masa lalunya dan mendapatkan informasi bahwa dia dulu susah menjadi guru karena..."
Abigail tidak melanjutkan. Serena dan Hanya bersitatap. "Kenapa diam? Karena apa?"
"Dia punya banyak utang."
Yeah. Itulah yang Hanya dengar. Serena juga mendengar omongan Abigail dengan jelas. Dan Abigail sendiri yakin pada hipotesisnya. Berry adalah seorang wanita yang punya segudang utang yang tak memungkinkan dia jadi guru. Terlebih lagi reputasi Berry sangatlah jelek.
Tetapi, mengapa? Kenapa Berry Hade yang ada di hadapan mereka menjabat kepala sekolah?
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Auristella is Dead
Mystery / Thriller[Thriller, Friendship & Minor Romance] Aku menemukan sebuah pesan yang kuyakini seorang murid di SMA-ku akan melakukan tindak bunuh diri. Masalahnya, aku atau siapa pun di sekolah ini tidak tahu siapa dia sebenarnya. Aku tidak mau ada tragedi terja...