44. Jangan Sampai Hanya Tahu

123 47 16
                                    

Aku duduk di pojokan Rumah Duka, tidak sanggup menyambut para pelayat lebih lama. Selain sudah capek berdiri tiga jam dari pagi, batinku juga tidak dalam kondisi yang sehat.

Ini semua salahku.

Seharusnya... seharusnya aku berpikir lebih cepat. Ketika Abigail menerima panggilan Hanya, seharusnya kami menanyakan dia ada di mana dan sedang apa. Seharusnya kami inisiatif menyusulnya, bukan membiarkannya sendirian. Seharusnya kami ada di sana.

Tapi, cuma karena Abigail memberi pesan di grup chat untuk tidak menyusulnya karena dia baik-baik saja dan akan segera pulang, kami menjadi super lengah tanpa memikirkan pesan itu boleh jadi dikirim oleh Auristella.

"Bodoh..." gumamku lemah, mengantukkan kepala ke dinding yang semakin lama semakin cepat. Mataku memanas. "Bodoh! BODOH!"

Seseorang menempatkan telapak tangannya ke belakang kepalaku, menahan kepalaku agar tidak lagi melaga dinding. Adalah Serena.

Wajah Serena sama lemasnya denganku.

"Menyakiti diri sendiri gak akan membuat Abigail hidup kembali, Sen. Berhentilah."

Aku mengusap wajah. "Ini salahku, Ser. Gail mati karena aku kurang peka dengan pesan palsu yang Auri kirim di grup. Dia di kandang musuh. Bagaimana mungkin dia bisa baik-baik saja? Andai... andai aku sedikit sensitif."

"Kalau begitu kita semua juga bersalah karena kau bukan satu-satunya yang menerima pesan itu, Sen, melainkan satu grup," katanya lugas.

Serena duduk di sebelahku. "Tapi yang tidak kumengerti adalah perkataan Dokter."

Aku menatapnya. Apa yang tidak dia pahami?

Sebelum Serena membuka mulut, Opsir Sasan datang melawat. Beliau datang sendiri, bersalaman dengan keluarga korban, kemudian berdiri di depanku dan Serena. Ekspresinya terlihat ingin menyampaikan sesuatu.

Kami bertiga pindah ke tempat yang lebih sepi. Cielo dan Aga sibuk membantu orangtua Abigail menerima tamu, sesekali melihat kami. Hanya entahlah ada di mana saat ini.

"Kenapa, Opsir? Wajah anda serius sekali."

"Kami akhirnya menemukan Alpha Astara. Berkat keberanian dan pengorbanan Abigail, seseorang yang sudah menghilang beberapa bulan lalu berhasil ditemukan. Dia tewas."

Aku dan Serena ber-ah pelan, menundukkan kepala. "Kami turut berduka cita..."

Sejujurnya aku sudah punya firasat kalau Kak Alpha telah meninggal. Auri membunuhnya. Dia kehilangan perasaan cintanya pada Kak Alpha karena hatinya berganti ke Hanya.

Tentu itu baru dugaanku semata.

"Alpha ditemukan di tempat Abigail dibunuh Auristella, persembunyian si psikopat itu. Dengar anak-anak, musuh kalian sudah bukan manusia normal. Dia itu monster."

Kami menahan napas. "Apa maksud anda?"

"Kalian takkan percaya, Auris memakamkan Alpha di sebuah peti yang telah dia hias seindah mungkin. Dia juga melumuri badan Alpha dengan pengawet hingga jasad Alpha tidak menimbulkan bau busuk bangkai."

Tubuhku dan Serena menegang. "A-apa...?"

"Dia menyusun rangkaian bunga di sekeliling peti dan melingkarkan tali penjerat di leher Alpha. Forensik menduga besar kemungkinan Nak Alpha tewas karena tercekik."

"Itu mengerikan," kata Aga. Dia dan Cielo ternyata diam-diam mendengarkan obrolan.

Opsir Sasan mengembuskan napas, tersenyum tipis. "Keluarga Alpha sangat berterima kasih pada kalian dan Abigail. Mereka sudah ikhlas sejak lama apakah Alpha masih hidup atau tidak. Yang penting kerangka anak mereka pulang ke mereka. Itu sudah lebih dari cukup. Mereka akan datang untuk melayat Abigail setelah proses kremasi Alpha selesai."

Ah, sepertinya Kak Alpha Kristen. Tapi syukurlah dia sudah kembali ke keluarganya.

Sebelum pergi, Opsir Sasan menoleh ke kami berempat yang muram. "Oh, kami memeriksa kembali ponsel Abigail dan benar, terdeteksi sidik jari tak dikenali selain milik Abigail."

"Yeah. Itu pasti sidik jari Aurisinting. Dia memakai sarung tangan," ucap Cielo malas.

"Apa kalian tidak merasa ganjil? Abigail berjuang habis-habisan memegang ponselnya sampai akhir hayatnya. Bukankah itu artinya dia mendapatkan sesuatu tentang Auris?"

Aku menggeleng lemah. "Percuma, Opsir. Auri sudah membajak ponsel Abigail, mengirim pesan palsu kepada kami... Dia pasti telah menghapus semua bukti yang Gail dapatkan."

"Tapi paling tidak periksalah dahulu. Siapa tahu ada yang terlewat oleh Auristella," katanya, menyerahkan ponsel Abigail dalam kantong plastik transparan yang sering digunakan untuk menyimpan barang bukti.

Opsir Sasan pun meninggalkan Rumah Duka.

Kami berempat saling tatap resah, kepikiran. Benar juga, ya. Kenapa Abigail sebegitunya melindungi hapenya? Aku menatap benda di atas meja, menelan ludah gugup.

Cielo lebih dulu mengambilnya. "Seperti kata Opsir Sasan, gak ada salahnya memeriksa."

Kami berempat saling beringsut. Semua foto di galeri terhapus. Tidak ada satu pun video di file manager. Data ponsel terhapus.

"Eh, bentar, ada sesuatu di Brankas Pribadi."

Masukkan kata sandi.

Sekali lagi kami bersitatap. Kata sandi? Password jenis apa yang digunakan Abigail?

"Coba tanggal ulang tahunnya," usul Aga.

Cielo menggeleng. "Salah. Bukan itu. Tanggal ultah orangtuanya juga salah. Apa, ya? Tidak mungkin tanggal ulang tahun Hanya, kan?"

"Mungkin tanggal dia bertemu kita?"

YES! Password benar. Insting polisi Opsir Sasan tidak bisa diremehkan. Kami jadi tahu kalau Auristella buta teknologi karena dia tidak tahu ada yang Abigail sembunyikan di ponsel, juga tidak merestart ulang data hape.

"T-tunggu dulu, apa ini?"

Puluhan foto Hanya dipajang di dinding, tak lupa foto keseharian kami. Terdapat tanda silang di foto Gracia, Mimosa, Chausila, dan Noura dengan coretan 'berhasil disingkirkan'. Fotoku juga ada di sana. Target utama.

Serena dan Aga merinding dahsyat. "J-jadi benar Auristella terobsesi dengan Hanya?"

Jemari Cielo terkepal. "Dasar psikopat!"

Rahangku mengeras. "Jangan sampai Hanya tahu soal ini. Kita harus merahasiakannya—"

"Apa yang gak boleh kuketahui, huh?"

Kami berempat terkesiap. Menoleh. Hanya!








[END] Auristella is DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang