41. Ceramah Singkat dari Hanya

127 46 5
                                    

Auristella... Arelin Alundra...

Mereka adalah satu orang yang sama. Auris berpura-pura menjadi Arelin supaya kami keliru menebak identitasnya. Tapi karena kami mulai dekat dengan kebenaran, dia pun membunuh semua orang yang mengetahui kenyataan bahwa Arelin tidak pernah ada, hanya tokoh buatan untuk menyempurnakan penyamarannya.

Haah. Sampai kapan teror ini berlanjut? Aku tidak bisa menikmati kehidupan sekolahku.

Seharusnya aku mendengarkan Hanya.

Barusan aku memastikan sekali lagi daftar kehadiran Arelin pada hari kematian Buk Ardena dan benar, dia hadir sampai akhir.

Bukankah itu terdengar aneh? Anak yang tidak peduli dengan sekolah tiba-tiba bersikap disiplin yang kebetulan itu hari kematian seorang guru.

Sepertinya ada yang tidak beres.

Maka dari itu aku berangkat ke kelas Arelin.

Yeah, sebenarnya kelas Arelin itu kelas lamaku sebelum dipindahkan oleh Buk Ardena. Kak Hoshia pernah bilang kalau kami dan Arelin berada di kelas yang sama. Itu menjelaskan banyak hal mengapa dia tahu banyak soal kami.

Dan menjelaskan kenapa waktu itu di hari itu dia mematahkan pena. Fufufu! Arelin, bukan, maksudku Auristella pasti naik pitam karena Buk Ardena memindahkan Hanya dan dia jadi tak bisa memandangi target obsesinya lagi.

Aku benar-benar lupa tentang petunjuk yang diberikan Kak Hoshia. Dan teman-temanku tidak menyadarinya, terutama Aga yang tetap tinggal di kelas lama. Apakah ingatan serapuh itu?

Jika mendengar ceramah Hanya...

"Pada tahun 2010, para peneliti di Universitas New York di Amerika melakukan eksperimen. Mereka meminta sukarelawan memilih satu dari dua buah foto. Sukarelawan yang polos memilih foto kedua. Lalu, penguji pun menyodorkan dua lembar foto lagi dan menyuruh sukarelawan mengingat wajah foto yang dia pilih. Relawan itu pun dengan pede mengambil foto kedua.

"Menariknya, lebih dari 90% para sukarelawan yang mengikuti eksperimen itu tidak menyadari bahwa fotonya telah ditukar oleh penguji."

"Lho? Kok bisa begitu?" kata Abigail, tertarik dengan topik percakapan aku, Aga, dan Hanya. "Bukankah dia mengingat baik-baik bagaimana karakteristik dan rupa foto yang dia pilih? Seharusnya dia tahu bahwa fotonya diubah."

"Inilah yang dinamakan 'Pilihan Buta'. Keadaan dimana tidak menyadari hasil yang dipilih. Kalian tau, Fusiform Gyrus (bagian otak nan berfungsi mengenali wajah) kita itu sedikit sensitif."

Aku merinding mengingat obrolan itu. Kupikir dia bergurau, nyatanya kami mengalaminya.

*

"Benar kok. Si Arelin itu, entah kesambet jin apa, hadir tanpa membolos seharian. Sekarang gua yang nanya ke elu, belakangan ini ngapain sih lu sama teman-teman lu nanyain dia?"

"Nggak ada kok. Kepo ente." Aku berdeham. Bisa gawat kalau aku dicurigai yang tidak-tidak. "Tapi kau pernah lihat dia ngelakuin hal aneh? Apalah semacam bicara dengan orang lain."

Mantan ketua kelasku itu menggeleng. "Kurang tahu ane. Tapi seingat saya, dia gemar tukar sepatu deh. Semua sepatu yang dia pakai pasti tinggi. Apa dia takut disebut pendek, ya?"

Nih orang aneh banget. Tadi 'gua', kini 'ane' dan 'saya'. Apa dia sering begitu? Aneh-aneh saja.

Aku menggelengkan kepala. "Thanks infonya."

*

Aku berpapasan dengan Aga, Serena, dan Cielo di lorong koridor. Langsung saja kuhampiri mereka. "Kalian mau ke mana?" tanyaku.

"Cari si Lilith. Dari semalam dia gak bisa dihubungi." Aga mendesah panjang. Kemarin dia ingin menemani Abigail, namun anaknya nolak.

"Ah, benar juga. Abigail gak datang hari ini. Apa terjadi sesuatu padanya, ya?" Gadis itu harus dimarahi sesekali supaya jangan bermain seorang diri. Musuh kami itu psikopat yang tak takut membunuh. Abigail bisa terjerat bahaya.

"Lalu, kalian mau ke mana ini?"

"Itu tadi tuh, Buk Calina nyuruh kami manggil Hanya. Osis bilang dia sedang di klub memanah bersama Kak Hoshia. Nambah pekerjaan ae."

"Anggota osis tuh banyak, Ser. Mana tahu si hari senin siapa yang kau maksud," cibir Cielo. "Dia cuma tahu cara menyembunyikan power."

"Sen, kau aslinya Power Rangers?!" cetus Aga.

Ara-ara, lihat cewek tak sopan ini. Sekarang dia meledekku terang-terangan. Sepertinya aku harus menampol atau menabok punggungnya. Lalu, kenapa Agacia percaya semudah itu sih.

"Ya udah. Tunggu apalagi? Kita langsung ke klub panah aja," kataku merengut jengkel.

Tanpa ABCZ lagi, kami pun meluncur ke klub tersebut. Suatu saat nanti, aku akan balas dendam pada Cielo. Bisa-bisanya si kampret itu mempermalukanku di depan Serena. Awas saja!

Lima menit kemudian, kami tiba di depan klub.

"Serahkan padaku, Hanya."

DEG! Aku tertegun mendengar celetukan itu.

Tunggu, tunggu. Itu... kan mirip suara Auris? Bukan mirip, tapi memang suara Auristella!

Cielo, Aga, dan Serena kebingungan melihatku menerobos masuk tanpa mengetuk pintu. Ada Kak Hoshia, Hanya, dan lima anggota klub memanah. Mereka serempak menoleh padaku.

"Hai, guys! Apa yang membuat kalian datang ke sini? Jangan-jangan kalian rindu denganku—"

Bugh! Satu pukulan penuh cinta dari Cielo.

"Jangan sembarangan ngomong ya anda."

Aku menoleh kiri-kanan. Tidak ada yang tampak mencurigakan. Masa aku salah dengar barusan. Aku takkan pernah melupakan nada suara cewek psikopat! Aku kenal sekali bentuk suaranya.

"Kenapa, Sen?" Serena bertanya.

"Ah, tidak. Aku... Bukan apa-apa."

[END] Auristella is DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang