11. Mari Kita Beri Dia Panggilan

167 57 79
                                    

<Divisi I Kejahatan Remaja>

"Ketua! Bagaimana bisa anda menetapkan kasus Graciana sebagai insiden bunuh diri? Apa anda tidak sadar ada yang aneh dari kematian anak itu? Anda tak bisa menutup kasusnya! Kita harus menyelidiki ulang!"

Perkenalkan, polisi wanita yang punya ambisi dalam kasus Gracia itu bernama Sasan Derara. Dia amat terkejut, terkekeh tidak percaya mendengar Ketua Timnya main tutup kasus tanpa mencari kebenaran. 

"Pak, saya melihat ada lubang kecil di kepala korban. Dia pasti ditembak oleh seseorang dengan pistol. Pelakunya salah satu—"

"Detektif Derara, kau pikir sekarang bulan apa, hah? Masa-masa promosi. Apa kau mau pangkatmu diturunkan karena kasus bunuh diri yang sepele? Berpikir positif lah. Tidak sedikit remaja SMA yang membuang nyawa karena tekanan sekolah. Termasuk anak itu."

Sasan menggeram jengkel, namun tak bisa membantah lagi. Jika Ketua Tim dan rekan-rekannya tidak mau membantu, maka tidak masalah. Wanita itu bisa solo kok.

Menyelidiki kematian Graciana.

*

Abigail menyerahkan surat bertuliskan 'Kemarin Hidup Hari Ini Mati' dua eksemplar sekaligus padaku. Aku refleks menatapnya.

"Ini milikku dan Aga. Aku menemukannya terselip di buku favoritku di perpustakaan. Lalu Aga mendapatkannya di kotak sepatu."

Aku manyun. "Kenapa melapor padaku..."

"Kan kau MC-nya," celetuk Mimosa.

"Ngomong-ngomong membicarakan tentang surat teror laknat itu, kau di mana dapetinnya?" Cielo teringat sesuatu. Atau mungkin lebih tepatnya terpikirkan sesuatu.

"Kau nanya sama siapa? Aku?" Mimosa menunjuk dirinya. Cielo mengangguk. "Hmm... Ah, di kotak surat TK Seshat."

"Hah? Kok nggak nyambung?" bingungku.

Soalnya masing-masing kami yang menerima surat teror, pasti kami temukan di tempat favorit kami (aku suka menyimpan barang di loker). Aku melirik Mimosa yang anteng.

"Karena aku sering ke sana tiap berangkat ke sekolah. Melihat anak laki-laki," jawabnya dengan mimik bangga. "Surga anak-anak."

Kami menatap Mimosa horor. Si shotacon ini suatu hari nanti pasti ditangkap FBI.

"Kau sendiri bagaimana, Dyra?"

"Di vending machine." Cielo menjawab. "Aku suka beli cemilan dan minuman isotonik."

Dengan kata lain, si penulis surat telah memata-matai keseharian kami sampai hafal tabiat kami. Apa dia berbakat stalking? Entah kenapa ini membuatku merinding.

"Kita harus memberinya panggilan," usul Aga. "Tidak mungkin kita panggil dia Si Penulis Surat Teror Bajingan, kan? Dosa kita bisa bertambah karena sering mengumpat."

"Auristella." Serena berkata tiba-tiba.

Kami menoleh. Serena tersenyum. Mungkin itu senyum pertamanya setelah pemakaman Gracia. "Karena semua hal berhubungan dengan bintang dan bintang itu berwarna emas, kita panggil saja dia Auristella."

Aku menelan ludah. Perasaanku saja atau aura Serena memang sedikit... berbeda?

"Eh, benarkah bintang warnanya emas?" celetuk Noura. "Bukannya warnanya putih."

"Kau ini merusak atmosfer saja."

"Btw, di mana Chausila dan Hanya? Kita harus bertanya juga pada mereka, di mana mereka mendapatkan surat Auristella."

"Keduanya di ruang OSIS," sahut Mimosa.

*

Benar kata Mimosa. Hanya dan Chausila berada di ruang OSIS, sedang diinterviu oleh petugas kepolisian. Awalnya Hanya mengernyit, tidak menyangka masih ada polisi yang punya niat dalam kasus Gracia.

Tapi setelah Sasan Derara memperlihatkan kesungguhannya terhadap kematian Gracia yang seperti diabaikan, Hanya pun berubah pikiran. Dia akan bekerja sama dengannya.

"Jadi, ada yang meneror kalian? Peneror yang sama dari surat kematian Graciana?"

Hanya dan Chausila mengangguk.

"Aku sudah menduganya, kalau-kalau ada yang tidak beres dari tewasnya Graciana. Maafkan Ketua Timku tidak becus. Kematian teman kalian dinodai dengan titel bunuh diri." Sasan minta maaf sebagai perwakilan.

"Tak masalah. Mereka amat mudah ditebak."

"Kurasa ke depannya akan sulit, Petugas," kata Hanya serius. "Apa anda yakin mau terlibat terlalu dalam? Nyawa anda bisa—"

"Aku seorang polisi, Nak. Aku tidak bisa tinggal diam di saat kebenaran terkubur."

Hanya tersenyum. "Baiklah kalau begitu."

*

Sepulang sekolah, aku mampir ke rooftop. Tempat Graciana dibunuh. Menginjakkan kaki ke sini membuat hatiku kembali sesak.

Kenapa ya, Auristella melakukan teror pada kami? Apa kami punya salah padanya? Bahkan kami tidak kenal dengannya. Sampai niat stalker seolah sudah merencanakan pembunuhan Graciana sejak lampau hari.

Aku terdiam. Pembunuhan berencana...

Mungkinkah Auristella akan membunuh lagi? Firasatku tidak tenang karena aku dan teman-temanku mendapatkan suratnya.

Ada satu yang mengganggu pikiranku.

Apa yang Gracia lakukan di rooftop? Apa dia dipancing pelaku kemari? Tapi, dia tidak didorong melainkan ditembak. Lalu, kenapa kami tidak mendengar suara tembakan?

Mungkinkah pelakunya memakai silencer?

Aku menoleh ke sekitar. Pasti ada jejak bubuk mesiu jika pelaku menembak di sini.

Auristella. Kau pasti akan kami temukan!




[END] Auristella is DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang