46. Kematian Hanya Adalah Happy Ending

130 48 10
                                    

Aku, Cielo, Aga dan Serena berada di rumah sakit. Kami menunggu kedatangan Kak Ingin-

Panjang umur. Sosok yang kami tunggu-tunggu muncul bersama topi toga dan jubah. Aku ingat. Hanya bilang beberapa hari lagi kakaknya akan wisuda. Tapi yang menyambut pesta wisudanya...

... adalah berita adiknya bunuh diri.

Aku mengalihkan perhatianku. Tidak sanggup melihat Kak Ingin yang melangkah ke arah kami.

Kak Ingin akhirnya tiba. "Itu tidak benar, kan?"

Kami berempat diam. Mulut kami terkunci rapat seakan ada lem tak kasat mata menutupi. Kak Ingin memang terlihat tenang, namun intonasi suaranya berkata lain. Aku tidak bisa menatapnya.

"Aku tidak percaya ini." Kak Ingin menggeleng. "Hanya itu penakut. Mana mungkin dia nekat..."

Dokter Fath keluar dari ruangan. "Apakah anda Ingin Annavaran, wali Hanya Annavaran? Saya butuh persetujuan anda untuk proses pemakaman-"

Kak Ingin mengabaikan ucapan Dokter Fath, menyelonong masuk ke kamar mayat. Kami berempat berdiri, menyusul Kak Ingin, tetapi tidak berani melangkah masuk. Kami berdiri di ambang pintu.

"Kenapa kau tidur begini, Adik? Kita kan sudah janji liburan saat kakak selesai wisuda..." Kak Ingin memegang tangan Hanya yang terasa dingin. "Kakak kan sudah bilang... bilang pada kakak kalau ada masalah... Kenapa kau tidak bicara apa pun?"

Cielo sepertinya tidak sanggup lagi mengintip. Dia pergi entah ke mana dengan tangan terkepal.

Kak Ingin memeluk Hanya. "Bangun, Hanya... Bangun... Kakak mohon... Jangan pergi seperti ini..."

Kali ini aku yang pergi. Serena sempat menahan lenganku, namun aku melepaskannya. Belum dua hari kami kehilangan Abigail, sekarang kami telah kehilangan teman lagi. Siapa sih yang bisa bertahan rasa sakit hati berkali-kali? Aku tidak.

Aku masuk ke toilet, sengaja menyalakan kran meski aku tidak menggunakannya. Suara bising air yang mengalir sedikit menjernihkan pikiranku.

"Bunuh dia. Bunuh gadis itu. Bunuh."

Aku menatap pantulan diriku di cermin, perlahan menutup kedua telinga. Dengung bisikan 'bunuh dia' memekakkan telingaku. Kepalaku pusing.

"Bunuh brengsek itu. Atau temanmu yang mati."

PRANG! Segenap tenaga, aku mengayunkan tinju ke depan. Cermin tersebut berkeretak keras. Pantulan diriku terbelah menjadi delapan bagian.

Benar juga, ya. Untuk apa aku terus menahan diri? Auristella bukan lah sosok yang bisa dihadapi dengan kesabaran. Dia seorang iblis yang tidak mengenal belas kasihan ataupun empati.

Darah menetes dari tanganku. Aku tidak peduli.

"Persetan dengan batasan. Aku akan membunuh orang itu. Tidak... Aku pasti membunuh Auristella."

*

Aku berpikir terlalu jauh. Seminggu setelah kematian Hanya, tidak ada tanda-tanda Auris menyerang kami. Dua minggu, tiga minggu, sebulan.

Apa ini? Apakah semuanya sudah berakhir? Apa kematian Hanya membawa happy ending untuk kami lantaran Auristella berhenti membunuh? Jadi... jadi benar, dia cuma menginginkan Hanya.

Aku mengepalkan tangan. Marah luar biasa. Aku tidak menerima ending sampah seperti ini!

Harus kutemukan dia. Orang yang meneror kami selama ini, aku mesti menemukannya. Auristella tidak bisa kabur dari permainannya begitu saja.

BRAK! Semua orang terlonjak, termasuk aku yang ketiduran. Adalah Cielo yang menggebrak meja.

"Kenapa, Dyra?" tanya Aga.

Cielo tidak menjawab, malah melirikku. Aku tahu betul arti tatapan itu karena aku juga merasakan perasaan itu. Marah, sedih, stres, frustasi, ingin berteriak sekencang mungkin. Jawaban yang kami cari adalah 'kematian Hanya ending untuk kami'.

Aku menggaruk pipiku. Gatal. Gatal. Gatal.

Apa yang harus kami lakukan? Hatiku, hati kami semua sungguh terasa hampa. Kosong. Tidak fokus pada pelajaran padahal UAS makin dekat. Ayolah, Auristella. Muncul lah kembali supaya aku bisa-

"Alsenon!" Lamunanku buyar mendengar teriakan Cielo yang nyaring. Dia berdiri di depan mejaku.

"Kenapa?" balasku dingin. Mood-ku tidak bagus.

"Ikut aku nanti malam. Kita ke kuburan Hanya."




[END] Auristella is DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang