37. Kemampuan yang Disembunyikan

122 47 38
                                    

Aku dan Cielo memutuskan gencatan senjata, fokus pada pencarian Auristella dahulu. Maka dari itu aku memberitahu informasi yang kudapatkan dari Minele pada teman-teman.

"Kalau begitu tunggu apalagi? Mari kita ke pabrik pembuatan topeng kulit itu sekarang!"

Awalnya aku ingin mengambil kartu nama yang disembunyikan Minele di kediamannya untuk mencari alamat 'pabrik' yang akan kami tuju. Tapi lagi-lagi Cielo satu langkah di depanku.

Lihatlah wajah sombongnya itu! Aku lebih kompeten darimu. Demikian raut wajahnya. Kalau saja Serena tidak memelas kepadaku menemaninya ganti password rumahnya, pasti aku dulu yang mendapatkan alamat pabrik itu.

Baiklah. Sebagai laki-laki aku harus mengalah. Lagi pula Serena telah ditandai oleh Auris. Aku khawatir terjadi apa-apa jika dia ditinggal sendiri. Aku menyarankan supaya Serena memakai sandi angka kombinasi, tapi dia...

... Malah memakai tanggal ulang tahunku.

"Sen, kenapa mukamu merah? Kau demam? Kalau iya, biar kami saja yang pergi ke sana."

Aku mengibaskan tangan. "Nggak kok!"

Beuh, aku tidak percaya memikirkan hal seperti itu di genre seperti ini. Fokuslah, Alsenon. Aku harus menangkap Auristella lalu membunuh...

TIDAK! Aku tidak boleh jatuh terlalu jauh. Ayo sadar, Senon. Jangan mau dikendalikan.

Tapi mereka kan pantas dibunuh? Malaikat maut pasti berterima kasih padaku karena aku mengurangi pekerjaan mereka yang numpuk...

Aku menampar pipi sendiri. Sudah kubilang jangan mau dikendalikan hasrat membunuh!

"Kami nggak ikut," celetuk Abigail dan Serena serempak. Aku berhenti mengetuk kepala, menoleh ke mereka begitupun yang lain. "Ada yang harus kami selidiki. Ya kan, Ser?"

Yups. Serena mengangguk cepat.

"Lho, kalian mau ke mana?" tanya Aga.

"Ada deh. Kalau nemu sesuatu, langsung aku kirim chat. Kalian juga! Jangan menyimpan petunjuk. Langsung share ke grup. Oke?"

"Aku akan ikut kalian." Hanya mengusulkan diri sebagai pengawal Serena dan Abigail. "Fufufu, tidak baik melepas dua gadis sendirian entah ke mana. Setidaknya harus ada satu cowok buat jadi bodyguard yang siap melindungi."

Aku mendengus. Aku yakin nih, justru Hanya yang bakal dilindungi Serena dan Abigail. Anak itu bisa apa selain tidur? Mana dia masang tampang pede lagi. Pengen kujitak sumpah.

Dan mereka bertiga berlalu. Kami terpisah jadi dua tim. Yah, semoga mereka baik-baik saja. Karena ada Hanya di sisi Serena dan Abigail, aku ragu Auris menyerang mereka. Secara...

... Aku menduga Auristella terobsesi pada Hanya. Tapi aku butuh lebih banyak petunjuk untuk menguatkan hipotesisku yang satu ini.

Tersisa aku, Cielo, dan Aga. Tanpa banyak bicara, kami pun segera meluncur ke Industri Kerajinan menelusuri jejak Auristella.

*

Ck. Kenapa bisa begini sih?

"Adik-adik sekalian, kalau mau lewat jalan ini, kalian harus bayar ke om-om dulu. Sejuta per orang. Itu termasuk bayaran rendah lho."

Apes. Kami kena palak. Padahal pabrik yang hendak kami tuju berada tepat di seberang jalan, kenapa ada preman menghadang sih? Mana mereka tinggi-tinggi lagi dari kami.

Aga bersembunyi di belakang Cielo yang merungut jengkel. "Sejuta per orang? Gila ya? Kalau mau malak, paling nggak minta dengan nominal yang kecil! Kita mesti gimana nih?"

Salah satu dari preman itu mendekat ke arahku karena aku berdiri paling depan, meloloskan pisau lipat dari saku. "Denger nggak?!"

"Kami nggak punya uang," jawabku setengah hati. "Kalian salah memalak orang."

Mana mau dia mendengarku. Aga berseru tertahan melihat preman itu menarik paksa tanganku kemudian mengarahkan pisaunya ke leherku. Sorot mata Cielo berubah serius.

"Serahkan uang kalian kalau kalian nggak mau teman kalian terluka," ancamnya, menyeringai.

Hah? Dia serius mau menyanderaku?

"K-kami benar-benar nggak punya uang—" Kalimat Aga menguap karena Cielo memegang lengannya, putar balik. Mereka pun kabur ke arah berlawanan. "DYRA?! KOK KITA PERGI?! ALSENON MASIH DI SANA!" tutur Aga panik.

Aku menggelembungkan pipi. Ternyata Cielo cukup paham mengenai kondisiku. Baguslah. Dengan begini, tidak ada orang lain lagi di sini.

"Wah, kau ditinggal teman-temanmu tuh—" Ucapannya tersumpal. Aku mengangkat tinggi tanganku dan mendaratkan siku ke perutnya.

Aku bebas dengan mudah, menatap mereka yang sigap memasang kuda-kuda berkelahi.

"Baiklah, ayo kita bersihkan dalam 5 menit."

*

Saat kembali ke tempat semula, Aga melongo tak percaya. Tiga preman yang memalak kami sudah terkapar di tanah dengan berbagai luka lebam ungu di wajah. "Apa yang terjadi?!"

Cielo berkacak pinggang. "Firasatku nggak salah. Kau menyembunyikan kemampuanmu."

"Bagaimana kau tahu?" kataku ketus.

"Dari perkataan Hanya. Kau suka menahan diri, waswas melihat sekitar memastikan nggak ada manusia yang menonton. Kau ini PMK, ya?"

Aga menatap Cielo intens. "PMK itu apa?"

"Pria yang menyembunyikan kekuatannya." Cielo menunjuk mukaku sambil terkekeh. "Si Senon ini kalau ada orang lain bersamanya, dia jadi banci. Kalau dia sendiri... Yah, kau lihatlah mahakaryanya. Dia memermak wajah mereka."

"Pantas Hanya nggak bisa melawan Senon!"

"Hanya memang udah lemah dari sana, Ga..."

Wajahku menghangat. "S-sudahlah! Berhenti menggodaku. Kita harus pergi ke tokonya."

Mereka diam membuatku makin malu. "A-apa sih?! Kenapa kalian menatapku seperti itu?"

"Sen, ternyata kau ini punya sisi imut juga."

Baiklah, baiklah. Skip soal yang di atas. Aku terlalu malu melanjutkannya. Kami buru-buru menyebrang, seketika mengernyit melihat toko topeng itu tidak buka. Spanduk 'close' menempel di pintu kaca. Jam berapa bukanya?

Aku iseng memutar gerendel pintu. Cklek! Eh, tidak dikunci. Kami bertiga saling tatap, mengangguk bersamaan, melangkah masuk.

"Firasatku nggak enak nih," gumam Cielo, lari ke kantor CEO. Menendang pintunya.

"Tunggu, Dyra! Kita harus waspada—"

Aku membulatkan mata kaget. Aga menutup mulut. CEO toko topeng ini... duduk di kursinya dengan pisau bersarang di dada. Ada segelas teh yang tersisa setengah di atas meja.

"M-mungkinkah Auristella sudah tahu?"

Cielo tak menjawab, mencium aroma di gelas. "Nggak salah lagi. Baunya persis dengan yang kucium di cangkir Buk Ardena. Aurisinting menggunakan trik pembunuhan yang sama."




[END] Auristella is DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang